TAJ - Tragedi di Balik Tanda Cinta Abadi - BAB 7








BAB 7

Kisah Cinta
(1018/1608 Masehi)



--Arjumand--

Duk, duk, duk, duk, duk, duk, duk. Derap kaki kudaku, teredam debu, menghantam tanah seirama dengan detak jantungku yang membosankan. Aku merasa sesak, bukan karena udara yang berdebu, tetapi karena rasa sakit di hatiku. Betapa kilatnya racun itu sudah sampai di telingaku. Para perempuan, orang-orang kasim, para prajurit, budak, dan pelayan, semua tahu apa yang telah terjadi bagaikan mereka berada seruangan dengan Jahangir dan Shah Jahan, serta bisa mendengar setiap kata yang dibicarakan antara ayah dan anak tersebut.

Sudah tak terhitung berapa kali hal ini dibicarakan-dengan keprihatinan palsu, kesedihan tetapi penuh kepuasan, rasa iba yang berpura-pura-dan setiap kali, peristiwa itu mengalami sedikit penambahan cerita. Aku masih hidup, berharap dengan teguh, hanya karena aku tahu dia mencintaiku. Dia telah mengatakan itu dengan jujur, kepadaku dan kepada ayahnya. Aku memimpikan kata-katanya, membisikkan dengan lembut kepada diriku, membayangkan bagaimana dia memikirkan kata-kata itu; membayangkan juga, dengan melepas kekuasaannya sebagai pangeran, selubung perlindungannya, dia akan menampakkan kerapuhannya kepadaku.

“Kau harus naik tandu, Agachi.”

“Begitu pengap di sana.” Aku sedang menunggangi seekor kuda poni berbulu cokelat tua, sementara Isa, yang bersenjata lathi berujung perak, berjalan di sampingku. Dia tidak menyetujui keterbukaanku, yang bertentangan dengan martabatnya. Para perempuan di istana berselonjor di tandu-tandu yang tertutup, bergosip, bermain kartu, minum-minum, bahkan kadang-kadang menghibur seorang pria secara diam-diam; hanya para prajurit, budak, dan pelayan-pelayan rumah yang berjalan.

“Bagaimana dengan debu? Di luar sini lebih berdebu. Di dalam, udara akan lebih bersih ..”

“Diamlah, Isa.” Aku berkata dengan tajam. Bahkan jika aku merasakan ketidaknyamanan, aku tidak akan menuruti sarannya. Debu yang berwarna kemerahan dan jernih tergantung bagaikan awan mengepul dari ujung cakrawala ke ujung satunya, di utara, selatan, timur, dan barat. Debu juga mengaburkan matahari dan langit, kemudian menempel dengan lembut di pepohonan dan semak-semak, membuat kusam hijau daun mereka yang terang.

Jahangir bergerak, dan kesultanan mengikutinya. Kami sudah dua hari keluar dari Agra. Pada hari ketiga, kelompokku akan meninggalkan iring-iringan kesultanan dan akan berbelok ke selatan, ke arah Bengal. Aku akan mengunjungi Mehrunissa dan menyambut bebasnya aku dari Agra dan formalitas berlebihan kaum bangsawan. Dari tempat aku menunggangi kudaku, aku bisa melihat pangkal hingga ujung barisan. Entah di mana, jauh di depan, Shah Jahan bergerak bersama ayahnya. Di antara kami ada arus manusia dan hewan.

Aku memanggil Isa agar mendekat dan membungkuk untuk berbisik: “Dia harus tahu jika aku berada jauh di belakangnya. Jika dia tidak datang kepadaku segera, Isa, kau harus menunggangi kuda dan memberinya ini.” Aku melepaskan sebuah cincin perak dan Isa menyembunyikannya di dalam lipatan pakaian. “Jangan kau hilangkan.”

“Aku akan menjaganya dengan nyawaku.”

Para penunggang kuda berderap ke depan dan ke belakang, ke atas dan ke bawah barisan, tetapi tidak ada yang mendekati kami.

Jahangir dan Shah Jahan memimpin iring-iringan. Mereka diikuti oleh sembilan gajah, masing-masing membawa panji-panji Mughal bergambar singa yang merunduk, siap menerjang di depan matahari terbit; kemudian empat gajah lagi yang membawa bendera-bendera hijau bergambar matahari. Setelah itu, ada sembilan kuda jantan putih tanpa penunggang yang memakai sadel, sanggurdi, dan tali kekang emas, dan di belakang mereka ada dua penunggang kuda. Salah seorang membawa panji yang bertuliskan gelar Jahangir, “Penakluk Dunia”, yang lain membawa dundhubi yang dia tabuh secara teratur untuk menandai kedatangan Mughal Agung. Tiga puluh lelaki berlari di belakang mereka, mencipratkan air wangi sehingga sang Sultan akan menapaki jalan yang harum dan tidak berdebu. Di kedua sisi sang Sultan ada hazari dengan panji-panji mereka yang terpisah, masing-masing memimpin ribuan penunggang kuda mereka.

Sedikit di belakang Jahangir, ada empat wazir yang membawa tumpukan kertas. Kertas-kertas ini berisi seluruh informasi penting bagi sang Sultan tentang daerah yang sedang dia lalui. Jika dia bertanya, mereka akan memberi tahu kepadanya nama desa dan siapa nama kepala desanya, penghasilan desa tersebut, tanaman ladang, buah-buahan, dan bunga-bunga, dan karena Jahangir adalah penguasa yang sangat ingin tahu tentang segala hal, mereka terus-menerus mencatat informasi yang ingin dia masukkan ke dalam Jahangir-nama. Sedikit di belakang beberapa orang ini, ada dua orang lagi. Mereka membawa tali, dan dari Gerbang Lal Quila, mereka mulai mengukur jarak perjalanan Jahangir. Lelaki yang di depan membuat tanda; yang di belakang berjalan ke arahnya dan meletakkan ujung talinya sebagai penanda, ketika yang pertama berjalan menjauh lagi. Di belakang dua orang ini, ada orang ketiga yang memegang bukunya, terus-menerus mencatat jarak perjalanan ini. Jika Jahangir bertanya, “sudah seberapa jauh kita berjalan?” pria ini bisa menjawabnya. Orang keempat membawa sebuah jam pasir dan gong perunggu. Setiap jam sekali, dia menabuh gong.

Beberapa langkah dari Jahangir ada dua penunggang kuda dengan elang bertengger di lengan mereka. Lalu, sepuluh penunggang kuda mengikuti: empat orang membawa jezail-jezail kerajaan yang dibungkus dalam kantong-kantong kain keemasan, yang kelima membawakan tombak Jahangir, yang keenam membawakan pedangnya, yang ketujuh membawakan perisainya, yang kedelapan membawakan belatinya, yang kesembilan membawakan busurnya, dan yang kesepuluh membawakan sebuah wadah berisi anak panah miliknya. Setelah para pembawa senjata, di belakangnya ada Ahadi, para prajurit yang dikomandoi langsung oleh sang Padishah. Mereka diikuti oleh tiga tandu kesultanan, semua terbuat dari perak dan dihiasi mutiara dengan indah. Di belakang mereka ada dua puluh empat penunggang kuda, delapan orang membawa terompet, delapan orang membawa seruling, dan delapan orang membawa genderang. Kemudian, di belakangnya ada lima gajah kesultanan yang membawa howdah-howdah emas dan perak. Gerakan gajah yang berayun-ayun lembut dan tak teratur membuat sang Sultan tertidur. Rasanya bagaikan dininabobokan dalam buaian.

Di sisi gajah-gajah berhias megah ini masih ada tiga gajah lagi. Gajah yang di bagian tengah membawa tiga buah perabotan perak terbaik, dipasang di atas sebuah landasan perak dan diselubungi oleh beludru. Benda itu melambangkan bahwa Jahangir adalah seorang “Pengawas Iman terhadap Muhammad”. Seekor gajah lagi membawa simbol yang sama, melambangkan bahwa dia adalah “Penjaga dan Pemelihara Iman”. Gajah ketiga menampilkan pelat tembaga yang diukir dengan kalimat “Allah Yang Maha Esa memberkahi Muhammad”.

Empat gajah lagi mengikuti, howdah-howdah mereka dihiasi oleh lambang-lambang penting lainnya. Salah seekor gajah membawa sebuah timbangan yang berarti bahwa sang Sultan memerintah dengan adil, seekor lagi membawa sehelai bendera besar, yang jika ditiup oleh angin, menampakkan sulaman gambar buaya pada kain putih bersih yang tampak seakan hidup, menggeliat, dan memperlihatkan taringnya, yang ini melambangkan bahwa Jahangir adalah “Raja Sungai”. Seekor gajah membawa bendera berukuran sama, namun bergambar kepala seekor ikan, melambangkan bahwa Jahangir adalah “Raja Lautan”, sementara seekor gajah lagi membawa sebuah tombak emas tinggi di udara, “Simbol sang Penakluk”. Gajah-gajah ini diikuti lagi oleh dua belas ekor gajah yang membawa para musisi.

Semua kemegahan ini ada di antara diriku dan kekasihku. Tampaknya dia berada di ujung dunia yang satu, sementara aku berada di ujung dunia yang lain. Aku tak mampu lagi menahan beban kebisuannya. Sudah lewat tengah hari, dan aku turun dari kudaku.

“Isa, bawalah kudaku dan pergilah ke Shah Jahan. Katakan kepada .” aku tidak bisa mengatakannya, kalimat itu tercekat di kerongkonganku karena ketakutan, . “kekasihku, aku ada di sini. Dia harus menemuiku. Aku harus mengetahui apa yang akan terjadi kepadaku. Apakah cintanya padaku sudah berakhir? Haruskah aku menunggu? Aku akan menunggu jika dia memerintahkanku begitu. Aku membenci perempuan yang akan menjadi pengantinnya dengan rasa pedih sebesar rasa cintaku.”

“Agachi, aku tidak bisa memberi tahu hal-hal seperti itu kepadanya.”

“Kalau begitu, jemput dia dan ajaklah kemari, dan aku akan mengatakan kepadanya. Naiklah.”

Isa menatap kakinya, kemudian memandang kuda di dekatnya dengan ketakutan. Orang-orang dan hewan-hewan melewati kami bagaikan arus sungai yang terbelah di bebatuan.

“Agachi, aku tidak bisa menunggang kuda. Aku akan berlari.”

“Jaraknya terlalu jauh, dan aku akan menunggu terlalu lama. Naiklah sekarang dan segera pegang kendalinya. Dia akan langsung membawamu ke kekasihku, dan segeralah kembali ke sini dengan jawaban darinya.”

Dengan gugup Isa mematuhi perintahku, meskipun wajahnya terlihat tidak bahagia karena

menghadapi lonjakan kuda yang berderap. Aku hanya menunggu hingga posisi Isa seimbang dan mengarahkan kepala kuda ke arah yang benar, kemudian menampar paha belakangnya dengan keras. Kuda itu mencongklang dengan Isa berpegangan erat ke lehernya. Isa akan mengetahui pentingnya saat itu. Pada waktu-waktu lain, aku akan merasa iba dan geli karena penderitaannya, tetapi saat ini kedua perasaan itu sudah menguap dari diriku.

Sebuah tandu menunggu dan dengan lega aku masuk ke dalamnya untuk menyembunyikan air mataku dari beribu-ribu mata yang mengamatiku. Aku bergerak bersama harem, di belakang rombongan Permaisuri Jodi Bai. Dia duduk di atas seekor gajah, di dalam sebuah pitambar, singgasana beratap yang dibuat dari emas tempa dan dilapisi batu-batu mulia. Dia sedang menderita karena suatu penyakit aneh yang parah, dan lebih memilih untuk tetap tinggal di istana, tetapi Jahangir bersikeras ingin Jodi Bai menemaninya dalam perjalanan ini. Gajah tunggangan Jodi Bai diikuti oleh seratus lima puluh prajurit perempuan Uzbek yang bersenjata tombak, dan di kedua sisinya orang-orang kasim berjalan sambil membawa lathi-lathi berujung emas yang akan mereka lecutkan jika ada seorang pria yang bertindak tolol dengan mendekati rombongan. Di belakangnya ada gajah-gajah yang tak terhitung jumlahnya, membawa para perempuan lain milik Jahangir, masing-masing ditemani oleh kelompok budak, pelayan, dan budak-budak kasim mereka.

Tentu saja, urusan negara tidak bisa dilupakan atau diabaikan sementara sang Sultan berpindah dari Agra ke Ajmer, atau ke mana pun dia memilih untuk melakukan perjalanan. Di belakang kami ada delapan puluh ekor unta, tiga puluh ekor gajah, dan dua puluh kereta yang penuh berisi catatan kesultanan. Di belakangnya, ada lima puluh unta yang membawa seratus kotak berisi sarapa milik Jahangir, tiga puluh gajah yang membawa perhiasan yang akan dibagikan sebagai hadiah kepada orang-orang yang kurang beruntung, untuk menarik simpati; dua ratus unta mengikuti di belakangnya dengan uang-uang rupee perak, seratus unta dengan uang-uang rupee emas, dan seratus lima puluh unta yang membawa jaring-jaring untuk memerangkap harimau atau nilgai-antilop-atau cheetah. Ada juga lima puluh unta yang mengangkut air untuk minum dan mandi, sementara kereta-kereta besar yang bercat warna-warni membawa hamam, tempat sang Sultan dan kami para perempuan bisa mandi tanpa terlihat orang lain. Di belakang kami semua, berjaga-jaga di bagian belakang, sang pangeran Rajput, Jai Singh, memimpin delapan ribu prajurit berkuda.

Satu kos di depan awal iring-iringan ada seorang lelaki penunggang unta yang membawa sehelai kain linen putih yang paling bagus. Jika dia melewati bangkai seekor hewan atau mayat seseorang, dia akan menutupinya dengan kain itu, lalu membebaninya dengan batu-batu berat. Ini dilakukan agar tidak mengganggu pemandangan sang Sultan, dan sepanjang dia tidak sedang terusik oleh keingintahuan, jika dia meminta orang-orangnya membuka kain sehingga dia bisa melihat apa yang terbaring di baliknya.

Siang berlalu begitu lambat. Aku menatap ke kejauhan, melihat bayangan bukit-bukit dan pepohonan yang merentang di sepanjang daerah ini. Aku belum melihat tanda-tanda keberadaan Isa. Saat ini aku menyesal karena sudah tidak sabar. Mungkin Isa terjatuh dan tewas, sehingga pesanku akan menghilang untuk selamanya. Dengan egois, aku berdoa agar Isa tetap hidup; dan agar dia bisa menjumpai kekasihku. Aku berdoa lebih khusyuk pada saat matahari terbenam, dan cahaya perkemahan mulai menyala di area luas di depan kami.

Sehari sebelum iring-iringan kami berangkat, ada sebuah prosesi besar lain yang dipimpin oleh Kepala Rumah Tangga Kesultanan. Hewan-hewan bawaannya membawa do-ashiyana manzil, peralatan memasak, makanan, dan keperluan-keperluan lain untuk kenyamanan sang Sultan dan pengikutnya. Sang Kepala Rumah Tangga akan memilih tempat yang nyaman, di dekat sungai jika mungkin, dan sepasukan kecil pelayannya akan mendirikan perkampungan tenda. Di bagian tengah akan menjadi tempat peristirahatan sang Sultan. Tenda bertingkat dua miliknya terdiri dari beberapa ruangan yang serasi dengan kemegahan istana sendiri, termasuk sebuah diwan-i-khas dan diwan-i-am. Di belakang tempat Sultan ada tenda-tenda untuk harem kesultanan, dan seluruh tempat tinggal ini tertutup oleh sehelai layar berwarna merah tua. Perencanaan perkampungan tenda ini tidak berubah sejak Timur-i-leng berkuasa. Setiap orang mengetahui di mana mereka harus bermalam, untuk makan, untuk mandi, dan mengandangkan hewan-hewan tunggangan. Hal ini mencegah kebingungan saat iring-iringan mencapai lokasi perkemahan pada malam hari. Sebenarnya, ada dua perkampungan seperti ini. Ketika yang satu sedang digunakan, yang lain bergerak maju agar siap untuk menyambut kedatangan sang Sultan pada malam berikutnya. Karena ini hanya sebuah perjalanan berburu, bala tentara Mughal masih berada di Agra. Sudah ditentukan bahwa iring-iringan Sultan akan tiba di lokasi yang ditentukan dalam setengah hari, dan sehari penuh jika bala tentaranya ikut bersama sang Sultan.

Aku menemukan tempat istirahatku di dalam tenda harem. Para perempuan menikmati perjalanan ini. Mereka tertawa dan berceloteh sambil menyiapkan diri mereka untuk hiburan malam. Aku masih memisahkan diri. Saat harus mandi dan berpakaian aku memilih untuk berbaring, menolak tawaran makanan dan yang ingin menemani. Aku tidak memerlukan apa-apa, penderitaanku sudah cukup menjadi makanan dan teman bagiku.

Isa menemukan aku, ketika wajahku menghadap ke tembok, dengan mata yang terpejam rapat.

“Agachi, aku tidak bisa menemukan Pangeran.

Setiap orang yang kutanyai menyuruhku bertanya kepada orang lain. Aku malu.”

“Kau sudah berusaha. Sekarang, tinggalkan aku sendiri. Pergilah.”

Aku tidak bisa memalingkan wajahku kepadanya dan hanya mendengar dia melangkah menjauh dengan perlahan. Saat ini ada suatu emosi baru yang membuncah di dadaku. Berani-beraninya Shah Jahan mengabaikanku Bahkan, jika dia datang kepadaku saat ini, aku akan menolaknya, mengusirnya pergi seperti yang kulakukan terhadap Isa.

Setelah beberapa saat, aku mendengar Isa kembali dan berbisik pelan, “Agachi, seorang pembawa pesan menunggumu.”

“Dari siapa?” Aku berusaha menampilkan ketidaktertarikan, tidak berani berharap.

“Dari sang Pangeran. Ayo ikut.”

Aku tidak bisa bergerak, tetapi masih meringkuk memunggungi Isa.

“Ambil saja pesannya. Katakan kepadanya aku akan membalasnya beberapa hari lagi.” Isa tidak bergerak untuk pergi, jadi aku duduk. “Aku menyuruhmu pergi.”

“Agachi, aku mengerti kemarahanmu, tapi kau tidak akan menumpahkannya kepadaku. Hanya kau yang bisa menerimanya. Tolong, ikutlah denganku. Kau akan menyesalinya nanti jika kau menolak.”

Isa masih berdiri di dalam bayangan, tetapi aku bisa melihat goresan-goresan dan memar di wajah dan lengannya.

“Maafkan aku karena menyuruhmu menunggang kuda.”

“Itu adalah suatu cara untuk belajar.”

Aku berdiri dengan cepat. “Aku akan menemui si pembawa pesan dan kuharap dia membawa berita yang lebih menyenangkan.”

Kami keluar, menuju udara malam yang sejuk. Perkampungan buatan ini terentang sejauh mata memandang, menutupi lembah-lembah dan bukit-bukit. Lentera-lentera kuning dan api-api yang terbuka berkelap-kelip dalam gelapnya malam yang hitam kelam. Besok, semua akan menghilang secepat datangnya iring-iringan ini.

Si pembawa pesan menunggu di dalam bayangan paling gelap, di salah satu sisi tenda, betul-betul tersembunyi dari prajurit-prajurit yang sedang berpatroli dan para perempuan Uzbekistan. Dia tampak seperti makhluk yang menyedihkan, terbungkus dalam sehelai jubah usang dengan ujung turban yang menutupi wajahnya.

“Kau membawa pesan untukku?” Dia mengangguk. “Dari siapa?”

“Dari diriku sendiri, Kekasihku.” Shah Jahan berbisik. “Mengapa kita harus selalu bertemu dalam kegelapan?”

“Mungkin Yang Mulia tidak mampu menatapku pada siang hari.”

“Mengapa kau marah kepadaku?”

“Jadi, apa yang harus kurasakan?” aku berkata dengan dingin, hanya berharap untuk menghindari tatapannya, melupakan bahwa dia dan aku

sama-sama ada di dunia ini. “Aku sudah menunggu berbulan-bulan. Sepatah kata, sepenggal bisikan, sebuah simbol kecil pasti bisa mengobati pedihnya hatiku. Tapi, yang kuterima darimu, saat aku mendengar kabar angin dan kebohongan yang lain, hanyalah kebisuan.”

“Aku telah membahayakan hidupku untuk datang kemari dalam samaran ini. Jika aku tertangkap, nasibku akan lebih buruk dibandingkan nasib pengemis.” Dia menoleh ke samping ketika seorang kasim lewat dan aku melangkah semakin mendekatinya, ke dalam bayangan yang semakin gelap. “Aku tidak bisa melepaskan diri dari sisi ayahku, dan pada malam hari aku duduk dan mendengarkan puisi-puisinya. Percayalah, satu-satunya yang kuidamkan adalah datang menemuimu.”

Aku merasakan diriku melunak, tetapi tidak bisa langsung mengenyahkan kemarahan yang membara dalam dadaku.

“Seorang pembawa pesan, kalau begitu?”

“Siapa yang bisa membawa pesan lebih baik daripada diriku sendiri?” Dia berlutut di kakiku dan menundukkan kepala. “Maafkan aku, maafkan aku.”

Hatiku meleleh. “Aku tidak bisa menahan rasa malu ini. Aku memaafkanmu, dan hanya bisa menyalahkan cinta untuk kemarahanku. Ini adalah rasa lapar yang tidak bisa kukendalikan. Jika cinta adalah makanan dan minuman, aku akan menjadi orang rakus dan tak akan pernah puas melahapnya.”

Dia meraih tanganku dan meletakkannya di dahinya, kemudian berdiri.
“Akulah yang layak kau salahkan karena menunjukkan pengendalian seorang pangeran terhadap hatiku.”

Tiba-tiba, aku merasakan selubung rasa malu tersibak dari hadapanku. Sebelumnya, aku belum pernah berdua saja dengan kekasihku, atau pria lain, dan pikiran serta impianku sekarang tampaknya tidak lagi menampilkan keberadaan mereka. Tetapi, jika aku mengatakan: “Aku mencintaimu”, jawaban apa yang akan dia katakan untuk membuatku nyaman?

“Kau telah mendengar .?”

“Ya.”

“Aku tidak bisa lagi menolak tanpa membangkitkan amarahnya. Aku harus tetap menjadi putranya yang patuh, dan sungguh kejam karena kita berdua harus terbebani oleh tanggung jawabku sendiri.”

“Apakah dia tidak akan berubah pikiran?”

“Bukan dia, tapi aku, Shah Jahan, yang tidak akan berubah. Aku bisa menikahimu sebagai istri kedua ..”

“Jika itu keinginanmu,” aku berbisik. “Bahkan menjadi selirmu. Aku bahagia hanya jika ada di sampingmu.”

“Bukan. Itu bukan keinginanku. Suatu hari, aku akan menjadi sultan, dan pasti anak kita yang akan mewarisi takhta.”

Dia membungkuk ke depan dan menciumku dengan lembut.“Betapa manis dirimu, bagaikan kelopak mawar.”

“Ini hanya untukmu. Orang lain akan merasa kepahitan bila berada di hadapanku.”

“Dan aku juga, bagi orang lain.”

Tiba-tiba kami terkejut karena teriakan Isa. “Agachi”

Orang kasim yang tadi lewat sekarang berdiri sambil menatap ke arah kami. Lathi yang dia pegang teracung dengan menakutkan, dan aku merasakan kekasihku merogoh untuk melepaskan belatinya di balik jubah. Aku menghentikan tangannya.

“Siapa itu?” suara tinggi orang kasim itu bertanya.

“Pelayanku. Aku akan menyuruhnya mengantar sesuatu. Pergilah.”

“Aku akan mengantarnya keluar. Ayo, ikutlah bersamaku.”

Dengan kasar dia menarik pangeranku dan Shah Jahan mengikutinya ke pintu dengan malu-malu. Aku mengawasi dan mengawasi, hingga dia sudah hilang dari pandangan, berharap dia akan menoleh kepadaku sekali lagi. Tetapi, dia sudah menghilang. Sentuhan bibirnya masih terasa sepanjang malam, hingga keesokan harinya. Rasanya dingin dan menyegarkan, tetapi tidak menyejukkan kesendirianku. Aku hanya menunggu, seperti yang dia perintahkan, tetapi janji yang dibuat ketika hasrat sedang menggelegak dapat dilupakan dengan mudah oleh para pangeran.

Betapa leganya bisa lepas dari kebingungan karena begitu banyaknya orang dan hewan dalam perjalanan. Kami menempuh perjalanan lebih cepat, memilih jalur sendiri, dan lebih mengikuti rute kami sendiri daripada yang diperintahkan oleh peraturan dan keinginan Jahangir. Lima ratus penunggang kuda mengawalku, demikian juga dengan selusin pelayan dan Isa. Tetapi, aku berusaha memisahkan diri semampuku. Aku tidak ingin melakukan percakapan penuh sopan santun atau berpura-pura gembira, dan aku merasa begitu kesepian. Kadang-kadang aku sedih, kadang-kadang marah, bahkan Isa pun mengkhawatirkan perasaanku yang berubah-ubah.

Setiap malam kami berkemah di serais, semacam tempat peristirahatan terlindung yang tersebar di seluruh kesultanan, yang biasanya digunakan oleh para pengembara. Para prajurit tidak diizinkan masuk ke dalamnya, dan, karena aku memilih perlindungan mereka dari orang asing, aku tidur di khargah. Di sini juga dingin. Hawa beku terasa melingkupi tepat di atas bayangan kegelapan, tertahan di teluk oleh malam yang dingin, hanya bisa membuat kita meneruskan istirahat kurang dari satu jam setelah matahari terbit.

Aku berbaring di khargah sambil membayangkan rasanya tidur seperti yang kuinginkan, dengan ditemani oleh kekasihku. Tetapi, setiap malam itu tidak pernah menjadi kenyataan. Aku akan memilih untuk tidur di tempat terbuka dan menatap langit luas yang bersih. Memikirkan jagat raya yang terentang jauh di luar batas imajinasi seorang manusia ternyata bisa mengalihkan pikiranku. Angkasa menggambarkan kebesaran Tuhan dan membuat kita merasa kecil dan tak berdaya, bahkan sang Mughal Agung sekalipun.

Hal ini memberiku kenyamanan dan harapan. Aku bisa menatap bintang-bintang di angkasa secara bergantian, meyakini bahwa pergerakan mereka yang halus benar-benar bisa mengendalikan nasib manusia, mendorong manusia memilih suatu jalan dan melakukan sesuatu, mengubah tujuan hidup mereka. Tetapi, bagaimana jika tidak ada yang terjadi? Jika bintang-bintang tidak mengendalikan hidup kita, apa yang melakukannya? Hidupku begitu menderita, hampa dalam kesia-siaan. Kuharap aku bisa menghindari perangkap kekuasaan dan kekayaan ini, dan menjelajah negeri seperti seorang sunyasi.

Siapa perempuan itu? Kalimat terakhir Jahangir yang dikatakan kepada kekasihku adalah: “Aku sudah memilihkan istri bagimu.” Diam-diam, aku telah mencari tahu, meskipun rasanya sakit. Tidak ada yang mengetahuinya, atau mereka tidak mau memberi tahu aku. Apakah dia benar-benar ada? Putri mana yang sepadan untuk dinikahi oleh seorang putra mahkota? Apakah dia Hindu? Muslim? Aku mencoba membayangkannya saat aku menatap langit-langit khargah yang bergaris-garis, merasa sesak karena aroma dupa. Di sekelilingku, seluruh pelayanku tertidur, dan Isa berbaring telentang di dekat pintu masuk. Di tengah malam ini, aku dikelilingi oleh para prajurit. Tetapi, tidak ada yang bisa menjaga pikiran burukku yang menyelinap.

Aku mendengar beberapa penunggang kuda datang ke perkemahan kami dan berbicara dengan petugas penjaga, kemudian terdengar gumam suara-suara pelan mendekat. Lalu, Isa terbangun dan berbisik kepada pria itu, sebelum memanggilku pelan ke dalam khargah: “Agachi.”

Aku pura-pura tertidur dan menunggu dia memanggilku lagi.

“Agachi, sang Padishah mengirimkan pembawa pesan. Dia hanya mau berbicara kepadamu.”

Seorang pelayan membawakan jubah untukku, yang lain menyalakan lampu. Aku menuju pintu masuk dan mengintip di antara kisi-kisi. Seorang pria berdiri dalam bayangan dan Isa mengangkat lampu sehingga aku bisa melihat wajahnya. Sang pembawa pesan bersenjata dan memiliki bekas luka yang menggores dari atas dahinya dan menghilang ke dalam turbannya. Dia mengenakan pakaian biasa di balik baju zirahnya.

“Siapa kau?” aku bertanya sambil berdiri, sehingga dia tidak bisa melihatku, hanya bisa mendengar suaraku. Dia mencoba memandang dari ujung satu ke ujung pintu yang lain.

“Pembawa pesan dari Sultan, Begum. Saya tergabung dengan Ahadi Sultan.”

“Tapi kau tidak mengenakan seragam kerajaan.”

“Yang Mulia tidak mau kedatangan saya diketahui,” dia berbisik dengan gugup.

Aku juga merasa tidak nyaman dengan kerahasiaan kunjungan ini. Seorang prajurit seharusnya mengenakan seragam merah tua khas kesultanan, tetapi dia tampak seperti seorang dacoit.

“Apa yang kau bawa? Berikan kepada Isa. Dia akan memberikannya kepadaku.”

Isa menyelipkan dua bungkusan melalui lubang pintu. Salah satu bungkusannya tipis, terbungkus kain sutra, yang lain ada di dalam tas beludru, yaitu sebuah kotak perhiasan yang rancangannya indah, dengan sosok yang menari di atasnya. Keduanya disegel dengan Muhr Uzak. “Benda-benda ini untuk Begum Mehrunissa, untuk diantarkan oleh Anda kepadanya secara pribadi. Itu hadiah dari Sultan.”

Mereka memanfaatkan diriku, Betapa sakit hatiku. Aku tidak berarti apa-apa bagi Jahangir, kecuali sebagai kurirnya. Aku tidak bisa menikah dengan anaknya karena aku sama sekali tidak penting, tetapi aku bisa membawa tanda cintanya ke selatan, ke Bengal, untuk Mehrunissa. Apakah dia tidak menyadari ironi ini? Aku bisa merasakan demam cintanya kepada Mehrunissa dalam benda yang kupegang; mengapa dia tidak bisa memahami rasa pedihku? Dia telah memerintahkan Shah Jahan untuk melupakanku. Bisakah perintah seorang sultan menghapus kenangan, melenyapkan cinta? Tetapi, dia tidak memerintahkan aku untuk melupakan Shah Jahan. Aku masih bisa terus mencintainya, sementara kekasihku harus melupakanku.

Si prajurit bergerak, seperti hendak pergi.

“Tunggu. Bagaimana kabar Permaisuri?”

“Dia . tidak membaik, Begum.”

Sebelum aku meninggalkan iring-iringan, aku mendengar kabar bahwa Jodi Bai semakin parah. Dia tidak mau makan ataupun minum; setiap makanan yang dia santap akan segera dia muntahkan lagi. Itu adalah penyakit yang tidak dapat disembuhkan oleh hakim, tabib kesultanan, meskipun telah mencoba semua ramuan herbalnya. Semakin hari, Jodi Bai semakin lemah. Sang hakim telah melarangnya bepergian lebih jauh bersama Sultan. Perjalanan ke Ajmer hanya akan semakin membuatnya lelah, tetapi anehnya, Jahangir bersikeras agar Jodi Bai tetap mendampinginya. Dia berkata apabila dia tidak bisa terus-menerus berada di sisi Jodi Bai, dia khawatir terjadi sesuatu padanya.

“Dan Pangeran Shah Jahan?” Membutuhkan usaha yang keras untuk bisa menyebut namanya keras-keras, untuk memperlihatkan kepedulianku kepadanya dengan begitu terbuka.

“Dia baik-baik saja, Begum.”

Aku menunggu sambil menahan napas. Dia tidak menambahkan apa-apa lagi, tetapi hanya berdiri di sana sambil menunggu dan membisu. Tidak ada pesan. Tidak ada kabar. Shah Jahan masih terus menjadi anak yang berbakti.

“Kapan kau akan kembali?”

“Saya tidak akan kembali hingga nanti. Sang Sultan telah memerintahkan agar saya bergabung dengan rombongan Begum ke Bengal.” Dia memalingkan wajah, tetapi tidak cukup cepat. Dia

masih menyimpan rahasia.

“Aku bersama lima ratus penunggang kuda. Berapa orang yang kau bawa?”

“Dua ratus.”

“Semua Ahadi?”

Dia tidak menjawab pertanyaanku ini, dan mulutnya menjadi rapat dan berkerut. Dia membungkuk, berbalik dengan terburu-buru, dan menghilang dalam kegelapan.

“Coba cari tahu mengapa mereka akan mengawal kita, Isa. Tapi hati-hati.”

“Aku akan sangat berhati-hati, Agachi, meskipun mungkin aku akan gagal. Para pengawal pribadi Sultan tidak akan membocorkan misi mereka kepada seorang pelayan rendahan.”

Isa menyerah, meskipun bukan karena tidak berusaha. Para penunggang kuda Ahadi masih terus berjalan bersama rombongan kami, melangkah sejauh satu kos di belakang, terus mengawasi kami, tetapi tidak pernah bergabung dengan iring-iringan kami. Semua prajurit mengenakan pakaian biasa, bagaikan para dacoit yang liar, bukannya pengawal pribadi Jahangir yang terpilih.

Mereka juga membuat komandan perjalananku merasa tidak nyaman. Dia adalah seorang Rajput yang masih muda dan tampan, anak bungsu Rana Jaipur. Para pangeran Jaipur telah bergabung dengan bala tentara Mughal sejak zaman kekuasaan Babur dan Humayun; Fateh Singh selalu mengikuti leluhurnya dalam bidang militer. Biasanya, dia menunggang kuda di sampingku untuk menunjukkan bangunan-bangunan yang menarik, dan sering harus berbalik untuk mengawasi para Ahadi, yang selalu jauh berada di belakang kami.

Bentang lahan yang kami lewati berbukit-bukit kecil dan hanya sedikit berubah. Semakin ke selatan, vegetasi tumbuh semakin subur, dan kami melalui hutan yang hijau dan menyenangkan, penuh burung-burung berwarna-warni dan beragam hewan. Di sini, bumi tampaknya tidak sekeras dan sekejam biasanya, dan setiap desa kecil dikelilingi oleh ladang gandum atau cabai, yang warna merahnya menyala terang, membara di samping warna kuning tanaman mostar yang berayun-ayun.

Kebanyakan penduduk desa bersembunyi dari kami. Hanya anak-anak yang mengintip dari balik pintu atau semak-semak, dan mengamati dengan mata lebar. Bangunan di desa-desa ini berdinding lumpur, beratap ijuk, dan dilindungi oleh pagar kawat berduri. Aku tidak melihat seorang perempuan pun, kecuali sekelebat kain sari yang berwarna terang. Bukan hanya bentang alamnya yang berubah, tetapi bahasanya, kebiasaan, dan mode pakaian. Segalanya tampak akrab-orang-orang, burung-burung, hewan-hewan-dan kami berjalan bagaikan di atas jalinan benang rapat yang warna dan teksturnya berubah, sepanjang jalur tersebut.

Suatu pagi, sebelum kami meneruskan perjalanan, Fateh Singh menawarkan apakah aku mau pergi beberapa kos ke Khajuraho untuk melihat-lihat kuil.

“Kuil-kuil itu dipahat dengan sangat indah,” dia berkata dengan sebuah senyuman sekilas. “Kau akan menikmatinya.”

Aku tidak mau semua prajurit menemani kami, kehadiran mereka sering kali menakutkan para penduduk. Aku melakukan perjalanan pada waktu fajar bersama Isa, beberapa pelayan, dan selusin prajurit yang dipimpin oleh Fateh Singh.

Dalam cahaya pagi yang lembut, sebuah kuil besar bagaikan tergantung di langit seperti perhiasan dari benang emas, dengan semburat warna cokelat yang benar-benar indah. Ada empat kuil yang terletak berdekatan, dan agak jauh di seberang bentang tanah yang menanjak, aku bisa melihat banyak kuil lain. Mungkin jumlahnya tiga puluh kuil. Kuil-kuil itu memiliki fondasi yang lebar dan berdiri sekitar tiga puluh meter di atas permukaan bumi. Hanya dibutuhkan perjalanan singkat melewati patung Buddha raksasa, kami sudah bisa melihat ladang-ladang gandum yang merentang ke arah tanjakan, dan kami sudah tiba di perkampungan. Pasti tidak akan ada lebih dari seratus jiwa yang tinggal di sana, dan sungguh aneh karena monumen-monumen yang sangat besar itu dibangun oleh segelintir orang saja. Sekelompok perempuan sedang berjalan menuju salah satu kuil; saat melihat kami, mereka ragu-ragu, kemudian setelah saling merapatkan diri, mereka terus berjalan, meskipun sama sekali tidak menatap para prajurit. Mereka membawa bunga-bunga, buah kelapa, dan pisang raja di atas baki kuningan, sementara dari kuil tersebut terdengar suara dentang lonceng perlahan.

“Kuil itu sudah berusia tujuh ratus tahun,” kata Fateh Singh. Dia tidak bisa menyembunyikan kekaguman terhadap keantikan mereka. Kuil-kuil itu tampak baru dipahat. “Ini adalah Kerajaan Hindu Jijhoti. Lihatlah betapa tolerannya kerajaan ini.” Dia menunjuk ke kanan dan ke kiri. “Ada para penganut Buddha, dan ada Jain.”

Setelah berkendara lebih dekat, aku menyadari bahwa ada banyak ukiran, masing-masing tersusun di sebuah panel seperti tangga menuju langit. Kami turun dari kuda dan berjalan menuju kuil, sementara para prajurit terus berjaga-jaga.

Ukiran-ukiran itu sangat cantik dan memesona; sosok lelaki dan perempuan di relief-relief kuil menunjukkan kemuliaan dan kecantikan abadi, saling bertaut dalam berbagai pose sensual. Entah bagaimana, bagiku, batu ini bagaikan telah berubah menjadi daging karena sentuhan sebuah pahat, dan saat ini, dagingnya dipenuhi oleh hasrat. Gambaran perempuannya sangat molek, dengan kaki-kaki panjang; para prianya tampan, tubuh-tubuh mereka yang berotot kekar bertonjolan, bagaikan sedang menahan napas sambil menunggu kami melintas. Betapa rumitnya pekerjaan itu, bahkan ukiran pakaian pun tampak seperti sutra. Begitu banyak sosok yang terekam dalam beragam pose, sehingga mereka bagaikan berputar dan menari di depan mataku, membuat batu dan daging berbaur membingungkan.

Pemandangan itu begitu menggairahkan dan mengguncang hasratku yang masih ranum. Aku membayangkan diriku sendiri bersama Shah Jahan ikut ambil bagian dalam tahan itu, membeku bersama dalam batu-batu pudar ini-tubuh kami selamanya bersatu dalam kebisuan. Aku merasakan hawa panas naik ke wajahku, dan bersyukur karena beatilha menyembunyikan pikiran nakalku.

“Sungguh aneh orang-orang Hindu menampilkan hal-hal semacam itu di tempat mereka melakukan pemujaan.”

“Hanya karena semua hal ini menampilkan kemuliaan dan keindahan anugerah Tuhan,” sahut Fateh Singh. Dia menunjuk beberapa patung yang dirusak dengan sengaja, kemudian berbicara dengan penuh amarah. “Lihat, bahkan Ghazi sekalipun, Dewa Penghancur, menghentikan tangannya sendiri dari penghancuran keindahan ini secara komplet.”

Ini memang benar, karena tidak ada penjelasan lain, mengapa kuil-kuil ini tidak benar-benar dirusak oleh orang-orang yang melewatinya. Mereka telah melihat pahatan-pahatan itu, dan telah memindahkan hasrat dan keindahan ukiran-ukiran tersebut. Di daerah lain, banyak kuil yang dihancurkan dan masjid-masjid didirikan di lokasi tersebut. Islam menutup wajah Hindustan bagaikan cadar yang menutupi wajahku. Di Agra, dikelilingi oleh istana, aku hanya bisa melihat sekilas kehidupan seperti ini, tetapi setelah di luar lingkaran kekuasaan, semua tampak bagiku. Untuk pertama kalinya dalam hidup ini, aku merasa bukan seperti

orang asing di negeriku. Tanah ini berbaring di bawah kakiku seperti seekor binatang liar, menyeruduk dan berbalik, tidak sepenuhnya terbangun dan tidak benar-benar menyadari keberadaan kami.

Para perempuan telah selesai melakukan pemujaan, dan karena melihat para prajurit yang berdiri di kejauhan, mereka melihatku. Mereka berdiri sambil membisu, malu-malu, tetapi nyata-nyata ingin tahu. Aku mendekat dan berbicara dengan mereka dalam bahasa Persia, kemudian Fateh Singh menerjemahkannya ke dalam bahasa Rajasthani. Mereka tidak mengerti, tetapi tertawa cekikikan, sambil memegang sari mereka untuk menutupi wajah, dan terburu-buru kembali ke perkampungan mereka.

Sang pendeta berdiri sambil mengamati kami dari puncak tangga kuil. Dia bertelanjang dada dan hanya mengenakan kain putih di sekeliling pinggangnya, yang ditarik di antara kakinya. Di dadanya, ada seuntai benang keramat dan di dahinya tergambar tiga garis horizontal lambang Siwa. Aku menaiki tangga, tetapi dia menghalangi jalanku. Dalam cahaya yang berkelip-kelip di belakangnya, aku bisa melihat sebuah patung dewa yang dihiasi rangkaian bunga.

Isa bergabung bersama rombongan kami setengah jam kemudian. Dia berkata, dia harus tinggal di belakang untuk memerhatikan pahatan-pahatan itu dengan saksama, tetapi aku melihat bahwa dahinya masih bernoda vibuthi. Kami tidak pernah membicarakan hal itu lagi.

Tiga puluh hari kemudian, kami tiba di Gaur. Para penunggang kuda Ahadi hilang dari pandangan kami di suatu jalan yang berkelok-kelok dan Fateh Singh mengira bahwa mereka sudah pergi untuk melapor ke Mir Bakshi. Wajah familier pertama yang kutemui adalah Muneer. Dia menyambutku dengan ramah, dan sambil mengatur pembongkaran barang-barang, dia terus-menerus memprotes tentang Gaur. Kupikir Gaur adalah tempat yang paling menarik. Tempat ini terentang empat belas kos di sepanjang Sungai Gangga, dan setiap pemimpin yang sukses pernah meninggalkan kenang-kenangannya di sini. Ini adalah sebuah kota suci; Kadam Rasul menyimpan tapak kaki sang Nabi. Gaur juga merupakan lumbung bagi kesultanan dan para penduduknya hidup berkecukupan.

Bibiku Mehrunissa tinggal di salah satu istana terbesar, sebuah bangunan luas dan lapang yang dikelilingi oleh beranda, dan dibangun di atas sebuah kebun besar penuh dengan pohon mangga dan banyak buah-buahan lain. Ini adalah tempat tinggal mewah yang sudah pasti layak untuk pamanku yang berpenghasilan besar dan berposisi penting, sebagai Diwan Bengal.

Mehrunissa datang segera setelah aku mandi dan berpakaian, dan dia tampak gembira dan ceria. Aku mengira kebahagiaannya bukan disebabkan oleh kehadiranku, melainkan karena kotak perhiasan emas yang tersimpan di dalam petiku. Di sekeliling lehernya, dia memakai seuntai kunci emas. Ladilli membuntuti Mehrunissa, bagaikan bayangannya, dan dia merangkulkan lengannya ke tubuhku. Dia telah bertambah dewasa, tetapi tingkah lakunya hanya sedikit berubah; bagiku dia selalu merupakan anak kecil yang pemalu, berapa pun usianya.

Segera setelah aku menyerahkan hadiah dari Jahangir, Mehrunissa memerintahkan kasimnya, Muneer, untuk membawa hadiah-hadiah itu ke kamarnya. Kupikir kertas-kertas itu mungkin berisi puisi, karena Jahangir menganggap dirinya sendiri sebagai penyair yang ahli. Aku tidak tahu apa-apa tentang isi kotak emas itu.

“Apakah kau akan memperlihatkan kepadaku apa isinya?” aku bertanya kepada Mehrunissa.

“Tidak, aku lega kau tidak bisa membuka segala sesuatu yang dititipkan kepadamu,” dia berkata. Lalu, sambil mengecupku, Mehrunissa berbisik: “Jangan sebut-sebut hadiah ini kepada pamanmu. Dia mungkin akan salah paham.”

Dia berdiri lagi, kemudian untuk pertama kalinya memerhatikan penampilanku. Aku tahu bahwa aku tampak pucat pasi dan kehilangan bobot tubuh, tetapi aku tidak perlu memberi tahu bibiku tentang penyebabnya. Tetapi, meskipun jarak yang terbentang di antara kami begitu jauh, Mehrunissa mengetahui semua yang terjadi.

“Gadisku yang malang,” dia menepuk pipiku. “Kau masih sangat muda. Kau akan melupakan dia sepenuhnya.”

“Aku tidak bisa, aku tahu itu.”

“Kami akan memberikan beberapa hiburan untukmu. Dia bukan satu-satunya pria muda di dunia ini.” “Aku tak ingin yang lain.”

Mehrunissa mendesah putus asa. “Apakah karena dia putra mahkota, maka kau mencintainya?”

“Tentu saja tidak,” aku membantah dengan kesal.

Mehrunissa menatapku dari dekat, mencoba mengartikan maksud jawabanku.

“Shah Jahan adalah kekasihku, bukan putra mahkota. Bahkan, jika dia seorang pengemis, aku pasti akan tetap mencintainya.”

“Apa kata ibumu?”

“Sama seperti perkataan Bibi, sama seperti perkataan Sultan. ‘Lupakan dia.1 Kata-kata itu sendiri seolah membunuh perasaan dalam hatiku.” Aku menarik napas dalam-dalam dan memandang wajahnya. “Tolong aku, Bibi.” “Bagaimana?”

“Bicaralah dengan sang Sultan. Tulislah surat kepadanya. Katakan kepadanya tentang ….”

“Tapi apakah Jahangir akan mendengarkanku? Aku hanya seorang teman dan tidak memiliki kekuasaan.” Dia ragu-ragu, seperti hendak menambahkan sesuatu, tetapi berubah pikiran, dan malah menampilkan senyum manisnya. “Aku akan mencoba untuk menolong. Itu saja yang bisa kujanjikan. Sekarang, aku harus mengalihkan perhatianmu semampuku.”

Apa pun benda yang ada di dalam peti, hal itu membuat Mehrunissa gembira. Aku membujuk dan mengoreknya agar bisa memberi tahu isinya, tetapi dia hanya menggelengkan kepala, tertawa, kemudian membawaku menjelajahi kota. Dia terus merasa gembira dan dia menjadi sangat mencintai serta memerhatikan Sher Afkun, yang tampak bangga dan puas. Dia benar-benar menikmati posisi pentingnya di Bengal, dan mengalami kepuasan karena posisinya tidak dibayang-bayangi oleh kesuksesan ayah Mehrunissa. Pertunjukan kasih sayang Mehrunissa yang terang-terangan, belaian-belaian di wajah dan tubuh suaminya, dan pujian-pujian penuh kekaguman yang membuat suaminya senang hanya membuatku merasa tidak nyaman. Aku bisa membaca pikirannya lebih baik daripada suaminya sendiri, tetapi banyak yang berkata bahwa para pria mudah diperdaya dengan kecupan dan belaian, dan Mehrunissa sangat ahli dalam seni merayu seperti itu.

“Kau harus tinggal di sini seterusnya,” kata pamanku. “Kau telah membuat Mehrunissa-ku begitu gembira. Hingga saat ini, dia selalu merasa sedih-hawa panas, keringat, kebosanan-dan meskipun aku berusaha sebaik mungkin untuk membuatnya senang, dia tidak pernah puas. Sekarang, kau datang, dan membawa kebahagiaan besar untuk kami.”

“Ya, kau harus tinggal,” kata Mehrunissa, lalu tertawa bersamanya.

Dia mengetahui jika aku menyadari alasan temperamennya yang membaik. “Suamiku sayang, bisakah kau mengatur sebuah qamargah untuk menghibur Arjumand minggu depan? Aku sudah sangat lama tidak keluar untuk berburu. Saat terakhir aku melakukannya, Arjumand juga ikut, saat kita mendampingi Akbar. Sekarang, dia sudah mengetahui bagaimana caranya menembakkan sebuah jezail, dan kita bisa mengizinkannya menembak seekor harimau. Di daerah ini, harimau-harimau lebih besar dibandingkan di tempat-tempat lain. Arjumand, kau akan menikmatinya.”

“Kumohon, jangan menyulitkan diri kalian,” sahutku. “Aku tidak lagi menikmati hiburan seperti itu.”

“Omong 
kosong. Kau akan mengaturnya kan, Sayangku?”

“Tentu saja,” jawab pamanku.

Qamargah adalah sebuah bentuk perburuan yang pertama kali diperkenalkan oleh Timur-i-leng. Ribuan penunggang kuda berkumpul bersama untuk membentuk suatu bentuk bulan sabit besar yang lebarnya bermil-mil, dan perlahan-lahan, mereka terus maju hingga membentuk sebuah lingkaran. Tak terhitung jumlah hewan yang bisa terperangkap di dalam lingkaran ini: harimau, leopard, nilgai, kera, dan rusa chital. Para pemburu bergantian masuk sesuai dengan derajatnya, untuk membunuh binatang dengan metode apa pun yang mereka pilih: jezail, tombak, pedang, busur dan anak panah. Sekali waktu, Akbar memasuki area itu sambil berjalan kaki dan seekor nilgai menanduk testikelnya, membuat dia harus memulihkan diri selama berbulan-bulan.

Untuk qamargah kali ini, pamanku telah memilih hutan di sebelah timur Gaur. Di daerah itu banyak harimau, dan dia berharap untuk memamerkan kemampuan Mehrunissa berburu kepada banyak pegawai kesultanan dan keluarga mereka yang akan menemani kami.

Ada sebuah pesta perayaan yang dilangsungkan di perkemahan semalam sebelumnya. Tenda-tenda berdiri di sekitar danau yang indah, dan banyak makanan serta minuman. Para lelaki berkumpul di tenda Sher Afkun, dan para perempuan berkumpul di tenda Mehrunissa. Kegembiraan kami sama meriahnya dengan keriuhan para lelaki, karena Mahrunissa sangat menyukai penyelenggaraan pesta, dan telah menyewa penyanyi serta penari untuk menghibur kami. Kami menyesap minuman anggur dan bereksperimen dengan huqqa, dan selama berjam-jam mendengarkan para biduanita menyanyikan lagu-lagu cinta, patah hati, dan kebahagiaan. Perburuan ini akan berlangsung selama beberapa hari, dan para penunggang kuda sudah dikirim ke garis depan untuk mengarahkan hewan-hewan buruan ke lapangan yang dipilih. Sebagai Diwan, pamanku berhak untuk masuk pertama kali. Mehrunissa bersikeras untuk menemaninya, dan, sebagai tamu istimewanya, aku juga akan mendapatkan kemudahan yang sama. Kami akan menunggangi gajah masing-masing.

Meskipun perburuan harus dimulai pada dini hari, pesta perayaan kami berlangsung hingga tengah malam. Bahkan, ketika kami bersiap-siap tidur, kami masih bisa mendengar suara-suara yang riuh dan meriah dari tenda lelaki di seberang lapangan. Pasti hanya segelintir orang yang bisa berburu pada keesokan harinya, sebagaimana yang direncanakan, pada dini hari. Beberapa perempuan menggumam dalam kantuknya tentang para lelaki konyol itu, dan aku tertidur di antara tawa mereka. Di kejauhan, aku bisa mendengar suara chital yang terdengar merdu.

Pada saat cahaya tidak membuat bayangan, saat peralihan malam menuju pagi hari, aku terbangun oleh suara teriakan dan suara pedang yang menebas mengerikan. Dalam kegelapan, awalnya kami tidak bisa menentukan dari arah mana perkelahian itu, tetapi suara-suara itu sekarang terdengar di seberang lapangan, dari tenda pamanku.

“Apa itu? Apa yang terjadi?” Para perempuan ketakutan dan berkumpul bersama.

Teriakan-teriakan itu semakin keras dan bercampur jeritan seseorang yang sekarat. Gajah-gajah terkejut dan melengking keras, para lelaki berlarian ke segala arah. Terdengar suara jezail ditembakkan sekali, kemudian sebatang pedang beradu dengan perisai. Aku melepaskan diri dari kerumunan para perempuan dan mencoba keluar dari tenda. Tiba-tiba, aku merasa lenganku dicengkeram dengan kuat.

“Mau ke mana kau?” Mehrunissa berbisik.

“Melihat peristiwa itu.”

“Tinggallah di sini.”

Matanya berkilat dalam cahaya redup dan tubuhnya tegang ketika dia meregangkannya untuk mendengar peristiwa itu. Aku menyadari bahwa dia tidak ketakutan, dan yang lebih parah, dia tidak tampak terkejut. Tampaknya dia benar-benar mengetahui apa yang sedang terjadi.

Kericuhan berhenti secepat bermulanya. Keheningan menggantung dan mencekam, bagaikan seekor elang sedang mengawasi, siap menerkam dan membunuh. Perlahan, Mehrunissa melepaskan cengkeramannya di lenganku. Setelah sesaat, kami mendengar kuda-kuda berderap dalam kegelapan malam. Aku gemetar karena kedinginan ketika berhenti di luar. Bintang-bintang di langit gelap sudah memudar dan hanya meninggalkan semburat merah jambu bagaikan darah yang bercampur dengan air. Rumput terasa lembap di kakiku yang telanjang. Di seberang lapangan, kerumunan pria sedang berkumpul di sekeliling tenda pamanku. Aku mendorong dan menyelinap sehingga bisa melihat pamanku berbaring dengan bayangan kematian yang tenang dan rumit di wajahnya. Sebuah pedang tertusuk dalam-dalam di sisi tubuhnya. Saat ini jiwanya sedang bergerak ke dunia lain, dan kami yang ditinggalkan hanya bisa menatap raga yang tersia-sia. Aku berlutut di rumput yang bergelimang darah dan mengecupnya, menghirup harum khasnya yang samar-samar dan terasa akrab, campuran keringat dan wewangian, tetapi juga sekarang bercampur dengan aroma darah. Aku lalu menangis. Aku sangat menyayanginya. Dia adalah seorang lelaki yang baik hati dan lembut. Keberaniannya sebagai seorang prajurit telah memberinya ketangguhan, suara yang membahana, yang timbul karena kawalan sepasukan prajuritnya, tetapi dia masih bersikap malu-malu, yang membuat orang menyayanginya. Lima lelaki lain tergeletak dalam posisi ganjil di sekelilingnya. Sebuah lengan terputus, jari-jarinya mencengkeram, bagaikan hendak merayap kembali ke tubuhnya.

“Angkat lampunya,” aku memerintahkan.

Cahaya memancar dan menerangi wajah-wajah para pria lain yang tewas. Pria yang paling dekat telah kehilangan turbannya, dan ada sebuah bekas luka yang memanjang dari dahi dan menghilang ke balik rambut hitamnya yang tebal-sang pembawa pesan Jahangir. Saat aku berdiri lagi, M i r Bakshi mengangkat bahu dengan gerakan yang sangat tidak kentara. Suaranya lemah, dan matanya yang merah tampak tidak berekspresi.

“Dacoit,” dia menggumam.

Mehrunissa meratap panjang dan keras. Aku tidak bisa menghiburnya; ada rasa dingin yang membekukan hatiku. Ladilli adalah orang yang paling kehilangan karena kematian ayahnya, dan dia menangis diam-diam, terus-menerus. Aku terus menemaninya semampuku, dan dia mencengkeram tanganku kuat-kuat. Ayahnya adalah sahabat terdekat Ladilli, dan saat ini dia tampak sangat kehilangan dibandingkan waktu-waktu lainnya.

Mir Bakhsi mengirim laporan ke Jahangir: para dacoit telah membunuh Sher Afkun. Dia akan menjelajahi bumi dan langit untuk menemukan pembunuh itu. Seorang pembawa pesan tiba dari kesultanan dengan ungkapan dukacita bagi Mehrunissa. Dia mengantar salah satu janda Akbar, Salima, untuk mendampingi Mehrunissa. Sebelum meninggalkan Gaur, Mehrunissa menghabiskan banyak energi untuk merencanakan makam bagi suaminya. Makam itu dibangun di dekat danau di tepi kota, menghadap ke barat, ke arah hutan tempat dia terbunuh. Itu merupakan monumen yang sederhana dan tidak mahal.

Pada malam terakhir kami di Gaur, aku duduk bersama Ladilli, dan menyadari jika kotak emas yang kuantarkan kepada Mehrunissa tergeletak di meja gading. Ladilli, yang masih layu karena kesedihannya, tidak memerhatikan diriku. Kuncinya ada di lubang, jadi aku membukanya dan mengintip ke dalam. Sebutir berlian sebesar kepalan tanganku terletak di sebuah lapisan penuh zamrud. Aku tahu, ini adalah batu yang dikembalikan oleh Babur kepada Humayun. Kematian selalu mengiringi pemberian itu.
Bagikan :
+
Previous
Next Post »
3 Komentar untuk "TAJ - Tragedi di Balik Tanda Cinta Abadi - BAB 7"

mbakkkk, ini crta apaan si mbak:( kok gk dilanjut sinopsis jodha nya,,,

Ini novel judul nya TAJ karangan penulis india sana.. kalo sinopsis masih sy lanjut kok, saya share di fp karena kalo di blog terus di copaste ama orang

Anda butuh angka 4d 5d 6d silahkan tlpon eyang woro manggolo di 0823,9177,2208.trimakasih

Terimakasih atas kunjungan anda. Mohon tidak copy paste artikel yg ada di blog ini, terimakasih

 
Copyright © 2015 HimE aiMe - All Rights Reserved
Template By Kunci Dunia
Back To Top