BAB
2
Taj Mahal
(1042/1632
Masehi)
Malam
tidak dihiasi bulan ketika Murthi pertama kalinya
menatap ke arah Agra. Dia meninggalkan istrinya yang
sedang menyiapkan makan malam bersama anak lelakinya
yang berusia tiga tahun dan para pengembara lain,
lalu berjalan sendirian dalam kegelapan malam menuju
kota yang berkilauan di kejauhan. Ini merupakan tindakan
yang berani, dan dia cukup puas karena bisa menemukan
keberanian seperti itu dalam dirinya.
Malam
terasa mengancamnya. Di atasnya, kubah langit
raksasa yang melengkung terlihat cerah, yang
selalu
membuatnya mengalami rasa takut dan rasa malu yang
sangat. Kemegahannya membuat dia merasa bagaikan
seekor semut yang berjalan terseok-seok menapaki
kehidupan, tanpa peduli keagungan alam semesta.
Tetapi, di dekat sana ada bahaya yang lebih besar:
para dacoit-gerombolan bandit-yang menunggu untuk
mengiris leher pengembara untuk mendapatkan sekeping
koin; binatang-binatang liar, tua atau terluka, yang
sangat gembira menemukan mangsa dengan mudah.
Dia menoleh ke belakang dan melihat perapian tempat
memasak, berkelap-kelip dan kecil. Dia berpikir untuk
kembali, menunggu hingga pagi, tetapi dia masih terus
berjalan, tidak mampu mengendalikan dorongan dalam
dirinya. Dia menaiki sebuah tanjakan kecil, terpeleset
tanah dan kerikil yang rontok, menyambar semak
lantana untuk pegangan, kemudian mencapai puncak
bukit. Tanah kembali menurun ke arah Sungai Jumna.
Jauh di depan sana, di cakrawala, Agra tampak jelas
terbentang.
Murthi
mendesah tak percaya, dan duduk di tanah, siku
bertumpu ke lututnya, tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Aku akan tersesat di sini, dia berpikir, kuharap aku
tidak pergi.
Dia
merasakan pedihnya kerinduan akan rumah, dan
cahaya di kejauhan memudar ketika air mata
menggenang
di matanya. Dia membiarkannya mengalir di pipinya
yang cekung, menetes ke jiba
nya yang kumal. Dia
membersihkan ingus ke arah samping, kemudian menyeka
mata dan hidungnya dengan tuval koyak yang tergantung
di bahunya. Rumah, bagaikan langit malam,
begitu
jauh dan saat ini hanya sebuah kenangan. Dia mengetahui
butuh waktu bertahun-tahun hingga dia bisa melihat
rumahnya lagi. Murthi tidak bisa membayangkan seandainya
dia tak akan pernah kembali-pikiran itu membuatnya
takut.
Dia
tahu, dia akan kembali ke kampung halamannya,
keluarganya, teman-temannya; dia tersenyum
saat membayangkan kisah-kisah yang akan dia
ceritakan kepada mereka, tentang perjalanannya ke
kota
Mughal Agung.
Dia
pergi dari desa bukan karena keinginannya sendiri,
melainkan diperintahkan untuk melakukan
perjalanan
yang keras ini ke arah utara. Dia
adalah seorang Acharya, pematung dewa-dewi,
seperti
yang telah dilakukan keluarganya dari generasi ke generasi.
Ini membuatnya merasa bagaikan tak akan mati,
karena berkesinambungan-bukan hanya dagingnya, tetapi
juga pikiran dan jiwanya. Perajin seperti dirinya telah
membangun sebuah kuil megah di Madurai, di Kancheepuram,
di Thirukullakundrum, dan di desanya, dia
dihormati karena kemampuannya memahat. Seperti
ayah
dan kakek moyangnya, dia bisa mengubah batumenjadi
sutra, melihat sebentuk dewa-dewi pada batu granit
dan marmer, serta mewujudkannya menjadi nyata dalam
pandangan manusia.
Tetapi,
suatu hari, alur hidupnya yang panjang tiba-tiba terputus. Dengan
muram, dia memikirkan pengkhianatan dari dewa-dewi
yang telah dia ciptakan dengan begitu indah. Ayahnya
telah diberi perintah oleh junjungan mereka,
Raja Guntikul, dan diberi tahu dengan riang,
bahwa
dia harus melakukan perjalanan ke Agra. Sang
Raja
telah mendengar bahwa Mughal Agung, sepupu
jauhnya,
seorang Muslim, telah memerintahkan seniman-seniman
dari
berbagai penjuru negeri untuk membangun
sebuah
monumen besar untuk permaisurinya yang telah
meninggal,
Mumtaz-i-Mahal. Orang-orang Muslim
biasanya
membangun sebuah makam untuk orang-orang
yang
meninggal, bukan membakarnya saja di ghat-tepi
sungai.
Bangunan itu bukan untuk disembah. Karena
kebaikan
hatinya, sang Raja mengirimkan perajin
terbaiknya
untuk membantu membangun konstruksi
monumen
tersebut.
Ayah
Murthi berterima kasih kepada sang Raja
untuk
kehormatan ini, tetapi menyatakan bahwa dia
sudah
terlalu tua untuk menempuh perjalanan
melelahkan
ke Agra. Mungkin salah seorang anaknya
akan
lebih mudah untuk pergi. Sang Raja langsung
menerima
penggantian ini dan memberikan sejumlah
uang
untuk bekal perjalanan, beserta sebuah hadiah
patung
Krishna dari gading untuk sang Mughal Agung
Shah
Jahan.
Hanya
dengan memicingkan mata menentang
cahaya,
Murthi bisa mengenali siluet benteng yang besar.
Benteng
itu berwarna gelap dan menyeramkan, dengan
cahaya
yang berkelip-kelip dan menara-menara tinggi di
atas
kota; sebuah bukit di tepi sungai. Selama perjalanan
ini,
dia telah melewati begitu banyak benteng, tetapi tidak
ada
yang sebesar ini.
Keesokan
harinya, di bawah sinar matahari yang
terang,
benteng itu tampak membuat cakrawala menjadi
kecil.
Tembok-tembok merahnya yang tinggi dan warna
air
sungai membuat Murthi ciut nyali. Sita, istrinya yang
sedang
hamil, mendekatinya untuk meminta
perlindungan,
dan anak lelakinya, Gopi, bergelantungan
di
kakinya. Teman-teman seperjalanannya, para
pedagang
keliling, perajin seperti dirinya, semua harus
bekerja
untuk monumen tersebut, menatap dengan
kekhawatiran
dan mengajukan pertanyaan yang sama.
"Bahkan
pada malam hari," dia berkata, "benteng itu
tampak
menakutkan. Di sanalah Mughal Agung tinggal."
"Apakah
dia seorang dewa?" tanya Gopi.
"Bukan.
Dia manusia biasa. Tapi, jauh, jauh lebih
agung
daripada raja kita. Negerinya sangat besar, aku
diberi
tahu."
Dia
tidak mengetahui sejauh mana batas-batas kesultanan ini; dia hanya mengetahui bahwa waktu
tiga
bulan telah habis hanya untuk menempuh sebagian
kecil
kesultanan ini.
"Kau
bisa melihatnya kalau mau," salah seorang
pedagang
keliling berkata. Dia sering datang ke kota itu
dan
menceritakan kehebatannya.
"Dan
berbicara dengannya?"
Si
pedagang keliling, seorang bania dari Gujarat,
tertawa
puas karena kebodohan Murthi.
"Dia
tak akan memerhatikan seseorang seperti
dirimu.
Setiap hari, sebelum fajar, dia akan
memperlihatkan
dirinya, dan jharoka-i-darshan."
Si
pedagang keliling menunjuk ke arah sebuah celah
benteng
yang terbuka. "Dari sana."
"Kalau
begitu, kita akan melihatnya," kata Murthi.
Pasti
sang Mughal merupakan pemandangan yang
menakjubkan.
Air
sungai bergulung-gulung dan pecah ketika
menerpa
benteng raksasa. Ketika mereka mendekat,
Murthi
melihat sebuah bangunan kecil, seukuran rumah
biasa,
dengan sebuah kubah, terbuat dari batu bata dan
semen.
Cat putihnya telah ternoda dan tampak pula
kehitaman
karena air hujan, dan tampak pula tandatanda
retak.
Sepertinya bangunan itu dibangun dengan
serampangan
dan terburu-buru. Yang menarik perhatian
Murthi
adalah para prajurit yang menjaganya. Ada
sekitar
dua puluh pengawal, beberapa berkumpul di
kerindangan
pohon lemon, yang lain bertugas menjaga.
Mereka
mengenakan seragam kerajaan yang berwarna
merah,
cahaya matahari memantul di tombak dan perisai
mereka.
"Apa
yang mereka jaga?" tanya Murthi. "Tampaknya
seperti
bangunan kutcha, seperti gubuk."
"Itu
adalah makam Permaisuri," jawab si pedagang
keliling.
"Itu?
Berarti makamnya sudah dibangun." Murthi
merasa
marah.
"Kita
tidak perlu datang sejauh ini. Semua orang
tolol
juga bisa membangunnya. Mengapa aku harus
dikirim
kemari?"
"Itu
hanya tempat peristirahatannya sementara."
"Seperti
apa sang Permaisuri?"
"Cantik,
kata mereka. Tapi, siapa yang pernah
melihatnya?"
Murthi
menatap si pedagang keliling dan kehilangan
kekhawatirannya.
Dia tahu pria ini tidak tahu apa-apa
dan
sekarang hanya membual. Sepanjang perjalanan, dia
telah
menanyakan hal yang sama: "Seperti apa dia?" dan
dia
selalu mendapatkan jawaban yang sama. "Siapa yang
pernah
melihatnya?" Tidak ada orang yang mengetahui
bagaimana
kecantikan sang Permaisuri, dan hal ini
mengganggunya.
Dia telah memahat dewa-dewi yang
sudah
dilihat dan dipuja oleh semua orang; kuil-kuil
yang
menjulang megah ke angkasa, tempat para lelaki
dan
perempuan mempersembahkan bunga-bunga, buahbuahan,
dan
permintaan mereka. Bagaimana dia bisa
mengerjakan
sebuah bangunan bagi seorang perempuan
yang
sudah meninggal yang belum pernah dia lihat?
Suatu
hari, dia pasti bisa bertemu seseorang yang bisa
bercerita
kepadanya, seperti apa perempuan ini.
0 Komentar untuk "TAJ - Tragedi di Balik Tanda Cinta Abadi- Bab 2"
Terimakasih atas kunjungan anda. Mohon tidak copy paste artikel yg ada di blog ini, terimakasih