TAJ - Tragedi di Balik Tanda Cinta Abadi - Bab 1 Part 2





---Shah Jahan---

Aku, Pangeran Shah Jahan, bukan lagi seorang anak lelaki bernama Khurrum, tetapi sudah menjadi Penakluk Dunia dan ahli waris Sultan Jahangir, Padishah dari Hindustan, meskipun masih berusia lima belas tahun. Kebanggaan menyelubungi karena aku adalah anak lelaki kesayangan ayahku, dan diundang untuk menghadiri Pasar Malam Bangsawan Meena. Tubuhku bergetar karena kegairahan menyambut acara tersebut, karena kehadiranku bukan hanya sebagai simbol perwakilan ayahku, tetapi juga simbol kesultanan. Mereka semua mengesahkan aku sebagai ahli waris kesultanan agung ini, di atas tiga saudara lelakiku. Bisa memerintah, untuk memegang tongkat kekuasaan, adalah satu-satunya ambisi dari seorang pangeran muda. Dan pada malam ini, aku merasa bahwa pasar malam kali ini bisa menjadi peristiwa yang semakin melapangkan jalanku.

Pasar Malam Bangsawan Meena pertama kalinya diadakan oleh kakek buyutku, Sultan Humayun. Ini adalah ide yang sangat bagus, karena menurut peraturan kebangsawanan, para perempuan bisa tampil tanpa cadar di hadapan sekelompok pria yang terpilih. Cadar-cadar sutra yang sepanjang tahun dikenakan di sini, selama semalam, tidak lagi tampak. Dunia sempit harem akan dibebaskan; selama beberapa jam yang singkat, kami bisa melihat wajah-wajah para perempuan terhormat yang tidak tertutup.

Meskipun hawa panas dan udara seperti tak bergerak, orang-orang terus berdatangan ke istana ketika malam menjelang. Tenda-tenda sudah ditegakkan oleh para pekerja pria di taman, dan, tak diragukan lagi, para perempuan sudah memilah-milah barang-barang yang akan mereka tawarkan. Aku bisa mendengar mereka tawar-menawar dan berdebat seperti para perempuan di chowk-pasar jalanan. Dan jika beruntung, para pembeli juga bisa mendapatkan bukan hanya barang-barang yang mereka beli, tetapi juga para perempuan penjualnya sendiri. Aku pernah mendengar segelintir pejabat yang sedang menyombongkan penaklukan mereka, yang memuji penuh hasrat akan malam-malam menakjubkan di Pasar Malam Bangsawan itu. Aku juga bukannya belum berpengalaman dalam hal ini. Aku pernah menghabiskan waktu bersama budak-budak perempuanku, dan kadang-kadang, sekadar untuk hiburan, pergi ditemani para penari di pasar dan membayar kehadiran mereka. Tetapi, aku telah belajar dari pengalaman, bahwa karena posisiku sebagai pangeran, aku menghargai keberadaan para perempuan yang menemaniku. Aku tidak mendengarkan bisikan mereka, karena mereka hanya berbisik untuk memujiku, untuk mendapatkan hadiah dan kekayaan. Para penyair menulis dan menyanyikan lagu cinta, tentang para lelaki dan perempuan yang merana dan sekarat karena penyakit ganjil itu, tetapi cinta bagiku hanyalah ilusi; istana adalah sebuah gurun yang kering kasih sayang.

Saat dimandikan dan didandani, aku tersenyum karena pikiranku sendiri. Dan, melihat hal ini, para budak perempuan menggodaku tentang malam ini: aku akan bertemu seorang putri. Seorang peramal bintang sudah meramalkan jika sang pangeran akan beruntung. Dia akan jatuh cinta dan hidup selamanya dalam kebahagiaan. Aku menertawakan godaan mereka dan tidak memercayainya. Tetapi, aku bertanya-tanya: mengapa aku begitu bersemangat? Apakah ini karena pikiran akan melihat wajah-wajah perempuan yang sempat kupandang sekilas, kudengar berbicara, tetapi tidak benar-benar bisa kutatap dengan jelas?

Mencocokkan suara dengan wajah, tangan dengan wajah, mata dengan wajah adalah permainan yang menyenangkan. Apa lagi yang bisa kuharapkan: semalam atau dua malam penuh kenikmatan, mungkin bisa seminggu, atau sebulan? Aku menganggap pikiran ini membosankan. Aku bisa memilih setiap perempuan di dalam kamar ini untuk memuaskan hasratku. Tetapi, aku merasa bagaikan ada guntur yang menunggu untuk menggelegar di udara. Apakah ini suatu perasaan hampa?

Ada dua orang yang menemaniku, Nawab dari Ajmer dan seorang pejabat, Allami Sa’du-lla Khan. Mereka juga mengenakan pakaian semewah pakaianku, dan meskipun lebih tua, mereka tampak penasaran dan bersemangat. Mereka juga belum pernah menghadiri pasar malam bangsawan. Mereka pergi ke balkon, memerhatikan taman; yang berkilauan dengan cahaya, lilin-lilin berkelap-kelip di setiap relung, lentera-lentera tergantung di pepohonan dan tenda, sinarnya tertangkap dan dipantulkan lagi oleh air mancur. Mereka melihat bayangan-bayangan dan mendengar suara tawa.

“Kita harus bergegas, kita harus pergi.”

“Tunggu sebentar,” perintahku. “Minumlah sedikit anggur dulu, tunggu dan nikmati kesenangan yang akan datang.”

Mereka mematuhi, tetapi hanya karena aku yang berbicara. Mereka tidak mundur, tetapi masih berdiri di balkon sambil menatap ke bawah dengan penuh hasrat, bagaikan orang-orang tolol yang belum pernah melihat perempuan. Aku ingin mereka mendampingiku untuk menghabiskan waktu, berbicara tentang perburuan atau olahraga kami.

“Duduk”

Mereka duduk, gelisah, menggeliat seperti cheetah. Aku juga merasa begitu, tetapi seorang pangeran harus selalu menunjukkan pengendalian diri, karena jika tidak, dia tidak memiliki kekuasaan. Tetapi, aku kehilangan perhatian mereka saat kami mendengar dundhubi bertalu-talu, menandakan ayahku Jahangir mendekat. Dari balkon, kami melihat ayahku Jahangir memasuki taman, diikuti oleh rombongan panjang para pengikutnya.

Sesaat, semua hening, semua memberi hormat, kemudian celoteh dan musik terdengar kembali.

“Tunggu beberapa menit lagi, hingga ayahku sudah sibuk dengan urusannya.”

Saat aku merasa kehebohan sudah mereda, dan Sultan sendiri tidak akan mencuri perhatian dari kedatanganku, kami turun.

Ini adalah pasar malam yang sebenarnya; para perempuan harum berjongkok di tenda mereka, di depan tumpukan kain sutra, peti-peti perhiasan indah dari emas dan perak, mainan, parfum, gading berukir, hingga patung-patung kecil dari marmer. Udara dipenuhi suara dan tawa mereka yang merdu, serta diwarnai alunan musik lembut. Mereka segera menyadari kehadiranku dan para perempuan yang berada di dekat pintu masuk mulai tertawa dan bertepuk tangan. Sorot mata mereka berani dan mengundang, setiap perempuan memanggilku untuk membeli barang dari tenda mereka sendiri, beberapa menarik lengan bajuku seperti para chokra di pasar sebenarnya. “Lihatlah barang-barangku, coba yang ini; ini murah, terutama untuk Shah Jahan. Lihatlah sutra ini . di sini ada sebuah vas dari Bengal.” Kehidupan mereka sangat bergantung pada penjualan ini, begitu juga antusiasme mereka. Aku berjalan menyusuri jalan di antara tenda, menandai beberapa wajah dan tubuh, beberapa cantik, beberapa tidak, tua dan muda, kurus dan gemuk.

Mereka semua liar dan menggoda, bagaikan burung yang terlepas dari sangkar mereka, berputar-putar dan mencicit-cicit di taman. Celoteh mereka yang tidak ada hentinya menyiksaku, dan semua bagaikan sudah diatur, untuk menghindari seorang perempuan yang begitu gigih menawarkan, aku berbalik.

Bagaimana aku bisa menerangkan diriku yang tiba-tiba tak berdaya, dan lumpuhnya semua indraku? Perempuan itu berlutut di seberang jalan, diam dan sendirian, jauh dari tamasha. Memang benar, kecantikannya-wajah oval yang sempurna, matanya yang besar, mulutnya yang bagaikan kuncup mawar, dan, rambut hitam berkilaunya yang berhias rangkaian melati-memikat mataku. Tetapi, kesyahduannya yang membuatku terpaku. Dia melihat sekelilingnya, memandang segalanya, dengan kegembiraan yang sangat. Senyuman lembut tersungging di wajahnya, dari dalam hati, tidak seperti tawa para perempuan lain yang terdengar dangkal. Aku melihat sesuatu yang tidak dimiliki oleh orang lain: kejujuran. Aku merasa, jika aku berbicara, dia akan mendengarkan diriku, bukan mendengarkan seorang pangeran. Jantungku, jantungku, terasa sakit karena berdegup kencang, dan saat dia menoleh dan melihatku melalui bukaan tenda, degupnya bagaikan terhenti. Aku benar-benar takut-bahkan seluruh kekuatan yang kumiliki untuk menguasai dunia pun tak akan bisa menghentikan ledakan ketakutan ini-bahwa dia akan membuang muka dariku. Dengan segera, aku merasa bahwa ketertarikanku akan pudar bukan karena rayuannya, tetapi karena pengabaiannya. Tetapi, dengan segera aku tidak lagi merasa khawatir. Dia tetap terdiam, menatapku, ingin tahu, tampak bahagia, dan apa ini? aku merasa bagaikan kami pernah bersentuhan.

Aku tidak bisa mengingat bagaimana aku bisa tiba di sampingnya. Aku sudah sampai di sana, melihat tendanya yang menjajakan perhiasan perak, benda-benda mungil dan sederhana, dan dia hanya ditemani oleh seorang chokra. Aku tidak mampu menahan diri; kata-kata dan perasaan bagaikan akan meledak dari diriku.

“Aku merasa, sepertinya kita telah bersentuhan,” aku berkata dengan keras, tidak mampu mengendalikan kekuasaan lidahku yang lebih terbiasa memerintah daripada mengutarakan isi hati. Aku mencoba lagi, “Tapi, itu tidak mungkin terjadi dari kejauhan. Tapi, aku merasakan lenganmu menyentuh lenganku dengan lembut. Mencintai secepat kilat bagaikan menantang hidup itu sendiri. Ini adalah suatu lompatan penuh keyakinan, bagaikan memasuki sebuah medan perang tanpa perlindungan baju zirah, memercayai bahwa entah bagaimana, kita tidak akan terbunuh. Tapi, bahkan jika kita terbunuh, keberadaanku tidak akan berharga tanpa kehadiranmu. Kau harus memberi tahu siapa dirimu. Aku harus mendengar suaramu dan merasa yakin jika kau benar-benar ada, bukan sebuah mimpi yang akan menghilang bagaikan air yang menguap dalam hawa panas.”

“Arjumand Banu, Yang Mulia.”

Suaranya melayang di udara dengan begitu syahdu, lembut, dan manis. Canggung karena tatapan tajamku, dia menurunkan pandangannya dengan malu-malu dan mulai membungkuk penuh penghormatan. Hal itu sudah cukup membuat jantungku sakit dan aku langsung maju untuk mencegahnya, menyentuh bahunya. Aku merasa bagaikan tersambar petir.

“Kulitmu membakarku, dan menyebabkan jantungku berdegup bagaikan genderang perang.”

“Yang Mulia hanya mengatakan kepadaku apa yang juga sudah kurasakan.” Tampaknya, dia memiringkan kepalanya dan menyapu punggung tanganku dengan pipinya. “Mungkin hanya karena hawa panas.”

“Tidak, tidak. Hawa panas hanya menyengat permukaan kulitku, menyebabkan kita merasa sedikit tidak nyaman. Sesuatu merasuki tubuhku, jauh ke dalam dagingku, membakar jantungku, dan mengacaukan pikiranku. Bahkan aku tidak tahu apa yang kubicarakan.”

“Kata-kata Anda sangat manis, Yang Mulia,” dia bergerak dengan lembut, dan tanganku terjatuh. Aku masih merasakan kelembutan pipinya yang menggoda, bagaikan sebuah segel yang dicapkan ke kulitku. “Lidah Anda terlalu terlatih untuk terpeleset di depan seorang gadis.”

“Ini,” aku mencabut belatiku dari sarungnya. “Jika ini hanya mimpi, akhirilah segera. Aku tak berdaya menahan manisnya semua ini. Rasa ini

bercampur aduk dengan perasaan dalam hatiku, dan satu-satunya suara yang bisa kudengar dalam kepalaku hanyalah denyut darah yang berulang: ‘Arjumand … Arjumand.1 Apakah kau tidak merasakan hal yang sama saat kita pertama kali saling menatap?”

“Ya, Yang Mulia. Tapi, rasanya bagaikan aku kembali tertidur dan tenggelam dalam mimpi ….”

“Mimpi apa?”

“Aku tidak bisa menceritakan apa pun. Tapi, saat aku terbangun pagi ini, aku merasa seperti saat aku melihat Anda pertama kali di sini.” Dia menatap wajahku dengan hati-hati, memandang jauh ke balik kulit dan tulangku, menerawang melalui mataku sendiri untuk mengetahui apa yang ada di baliknya. “Anda memang nyata. Ini bukan lagi impian.”

Aku berlutut di hadapannya, ketika dia juga berlutut di tendanya, dan dengan berani mengulurkan tangan untuk dia sentuh.

“Rasakan demam di tubuhku lagi. Kau juga sedang terjaga, seperti diriku.”

Dengan malu-malu, dia menyentuh tanganku, dan sekali lagi, kami merasakan kejutan dalam sentuhan satu sama lain. Tampaknya, kilat yang membelah langit dalam musim monsun telah menyala di antara kami. Aku berharap kami tetap saling bersentuhan, tetapi dia melepaskan pegangannya, sekarang merasa yakin kami bersama-sama, tidak terpisah dalam impian yang berbeda.

“Aku akan duduk di sini selamanya dan menatapmu.”

Dia tertawa, dan suara lembutnya membuatku merasa bagaikan sedang melayang di antara nada-nada musik indah yang ganjil.

“Kalau begitu, kita akan terus menua dengan hanya saling berpandangan.”

“Kehidupan apa yang lebih baik daripada itu? Kuharap ada suatu hari, dengan matahari yang penuh bayanganmu. Bayangan-bayangan ini menipuku. Mereka membengkokkan hidungmu, padahal bentuknya sempurna. Mereka menggelapkan matamu, tetapi aku tahu matamu bening dan indah. Tapi, mereka tidak dapat mengubah bentuk mulutmu atau lengkung pipimu.”

“Apakah Anda hanya melihat sebagian kecil sosokku? Tak terhingga jumlah perempuan lain di istana ini yang jauh lebih cantik daripada diriku.”

“Tidak. Tidak ada yang bisa mengalahkanmu. Yang mereka tampilkan hanyalah kebohongan di permukaan. Aku melihat jauh ke dalam matamu dan wajahmu. Aku merasakan bahwa aku telah mengenalmu seumur hidupku, tetapi aku tidak tahu apa-apa. Aku tidak bisa menahannya, tetapi syukurlah aku bisa melihatmu malam ini.”

“Ya,” suaranya tiba-tiba terdengar ragu-ragu. “Tapi, aku mungkin akan selalu memandang Yang Mulia, dari hari ke hari, tahun ke tahun, tetapi Anda tak akan pernah memimpikan kehadiranku.”

“Tapi aku mengalaminya, aku memimpikannya,” aku berkata dengan tegas, berharap bisa meyakinkannya. “Hanya perlu suatu tatapan yang bisa mendekatkan kita. Bukankah kau merasakan tatapan itu melampaui penglihatan, melampaui sentuhan, melampaui pendengaran? Aku merasakan sentuhanmu di hatiku dari kejauhan, seperti kau merasakan sentuhanku. Bahkan, melalui cadar, aku bisa mengetahui cintamu. Memang begitu, betul bukan?”

“Memang tidak ada yang lain, Yang Mulia.”

Aku berharap dia tidak mengatakan kalimat itu. Aku merasakan guncangan, getaran yang mulai merobek perasaanku.

“Jika saja aku ini bukan pangeran aku berkata.

“Jika Anda bukan pangeran, perasaanku tidak akan berkurang.”

Aku menatap matanya. Matanya lebar, tak berkedip, membuatku bisa melihat kebenaran yang dia ucapkan. Aku merasakan getarannya mereda, dan tidak bisa menyembunyikan kegembiraanku. Aku tertawa keras, dan mendengarnya berbisik: “Tapi, bagaimana aku memanggil Anda?”

“Kekasihku, cintaku. Kau adalah kekasihku satu-satunya, cintaku.”

“Kekasihku,” dia bergumam dalam bisikan, memuaskan diriku secara utuh, membuatku merona dengan keinginan untuk memeluknya.

Kami masih berlutut, saling menatap, berharap untuk tidak melepaskan pandangan, melewatkan senyuman, atau gerakan tubuhnya. Kami tidak dapat mengalihkan pandangan. Tak ada yang bisa mengetahui, berapa lama waktu sudah berlalu
dalam keadaan seperti ini. Aku merasakan sentuhan di bahuku, membuyarkan keheningan lembut dunia kami, dan mendongak dengan kesal. Allami Sa’du-lla Khan membungkuk dengan penuh permintaan maaf, dan melihat kilatan amarahku, dia mundur teratur. Kerumunan di sekeliling kami terdiam, menatap kami.

“Biarkan mereka. Aku Shah Jahan. Sekarang mundurlah.”

“Yang Mulia, Anda seharusnya berkeliling juga. Para perempuan bertanya-tanya, di mana Shah Jahan, agar mereka bisa memberi hormat. Anda tidak bisa mengabaikan keinginan mereka.”

“Aku akan segera datang. Pergilah.” Dia mundur, dan aku kembali ke kekasihku. “Aku akan berbicara dengan ayahku tentang kita.”

Dia membungkuk, tanda menerima. “Jika ini adalah keinginannya

“Ini adalah keinginanku,” aku berkata dengan tegas, lalu bangkit. Dia tidak bergerak, masih berlutut, tetapi wajahnya terangkat, terus menatap wajahku. Aku berharap bisa membungkuk cepat dan menyentuhkan bibirku ke bibirnya, tetapi aku tidak melakukannya. Dia tahu apa yang kuharapkan dan tersenyum menggoda.

“Pasti ada waktu lain, saat kita tidak perlu menghadapi pandangan mata banyak orang.” Dari tendanya, dia mengangkat sebuah perhiasan perak. “Apakah kekasihku ingin membeli sebuah kenang-kenangan? Setelah menghabiskan begitu banyak waktu, Anda tidak bisa pergi dengan tangan kosong, dan setidaknya aku harus mendapatkan
satu atau dua rupee.”

“Apa yang akan kau lakukan dengan rupee itu?”

“Mendermakannya kepada orang miskin. Mereka lebih membutuhkannya daripada kami.”

“Orang miskin” Aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku.

“Apakah kekasihku tidak menyadari keberadaan mereka? Mereka hidup di luar istana ini.”

“Saat aku bersamamu, aku hanya sedikit menyadari kehadiran yang lain. Di dunia tidak ada lagi hal lain, hanya kita berdua yang hidup. Jika ini untuk orang miskin, aku akan membeli semuanya. Berapa harga semua?”

Dia mengerutkan kening dan memerhatikan tumpukan perhiasannya, lalu menatapku, memberiku senyuman Jenaka. “Sepuluh ribu rupee.” 

“Aku setuju.”

Dia mulai tertawa, mengintipku dari balik tirai rambut yang jatuh ke wajahnya. Aku tidak bisa menahan kebahagiaan, berharap bisa menculik dan membawanya kabur. Tetapi, aku menoleh ke arah budakku dan meletakkan kantong uang yang dia bawa di atas lantai tenda kecil gadis itu.

“Aku akan menemuimu lagi.”

“Jika itu keinginan Anda.”
Bagikan :
+
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk "TAJ - Tragedi di Balik Tanda Cinta Abadi - Bab 1 Part 2"

Terimakasih atas kunjungan anda. Mohon tidak copy paste artikel yg ada di blog ini, terimakasih

 
Copyright © 2015 HimE aiMe - All Rights Reserved
Template By Kunci Dunia
Back To Top