TAJ - Tragedi di Balik Tanda Cinta Abadi - BAB 6




BAB 6
Taj Mahal

(1043/1633 Masehi)



Murthi merasa sangat kecewa. Dia memicingkan mata, menatap istrinya, di dalam cahaya yang lemah. Lampu ini merupakan sebuah wadah keramik kecil yang berisi minyak. Sumbunya, beberapa helai kain katun yang digulung, melingkar di dalam minyak, dengan sedikit bagian yang muncul di mulut wadah. Dia mendesah, membuat nyala api bergoyang; bayangan menari dan membeku kembali. Tubuh Sita tampak berkilat, sarinya yang basah kuyup membungkus tubuh lemahnya yang mungil, seolah dia baru saja berendam di sungai. Di sampingnya, Lakshmi, istri tetangga Murthi, berjongkok sambil menggendong si bayi. Seperti Sita, bayi itu sedang tidur. Murthi berjalan terseok-seok keluar dan berjongkok di pintu masuk.

Murthi sangat menginginkan seorang anak lelaki lagi. Setiap hari saat fajar, dia berdoa agar anak yang akan lahir adalah anak lelaki. Sebelum Gopi, dia memiliki dua anak lelaki; yang pertama meninggal saat dilahirkan, yang kedua meninggal saat berusia delapan bulan.

Ram, Ram, dia berbisik, mengapa membebaniku dengan anak perempuan ini? Bagaimana dia bisa berguna? Anak-anak lelaki, itulah yang kuminta. Anak-anak lelaki akan mempelajari pekerjaanku, memeliharaku saat aku tua. Seorang anak lelaki tidaklah cukup.

Dia menatap Gopi; Gopi sedang bermain gilli dan dandu dengan anak-anak lelaki lain. Murthi berdiri dan berjalan menyusuri jalan setapak, menuju kedai di sudut. Beberapa pria sedang berjongkok di sekitar pintu masuk, menenggak arak dari gelas-gelas keramik. Sebuah kota telah tumbuh di sekitar maidan, tidak terencana dan berantakan. Kota itu semakin melebar, berkembang terus setiap hari. Kebanyakan tempat tinggal berupa gubuk, seperti miliknya, meskipun ada beberapa rumah-rumah bata yang dibangun untuk para petugas. Ada empat bangunan kantor besar yang mengatur kehidupan dan kemajuan pembangunan monumen. Kota ini dinamakan Mumtazabad.

Murthi menyesap segelas arak yang kuat, dan memisahkan diri dari orang lain. Lelaki-lelaki lain juga merupakan buruh kasar: liar, keras, hanya ingin mabuk, untuk melupakan hasrat mereka. Mereka orang-orang Panjabi: lebih tinggi dan lebih kekar daripada Murthi. Murthi telah menemukan dua keluarga dari negaranya, mereka berbicara bahasa Telugu, dan meskipun bukan berasal dari kasta yang sama, setidaknya mereka memiliki hubungan dengan kampung halamannya. Salah seorang dari mereka adalah pemotong marmer, yang seorang lagi adalah tukang tembok. Tidak seperti Murthi, mereka melakukan perjalanan panjang ke utara untuk mencari kerja. Raja tidak memerintahkan mereka untuk datang kemari. Ada beberapa orang Tamil juga, dan orang-orang Nair, dan mereka semua-meskipun tidak terlalu akrab dengan bahasa satu sama lain-setidaknya merasa memiliki identitas yang sama.

Mereka semua bekerja, kecuali Murthi. Ini membuat Murthi bingung dan khawatir. Setiap hari dia dibayar, berbaris dalam antrean panjang untuk menerima upah, tetapi setiap saat dia bertanya, jawabannya selalu: Tunggu. Orang-orang lain yang menunggu tidak menerima apa-apa. Mengapa aku diberi upah? Dia sering berpikir begitu. Dia tidak bisa menemukan jawabannya. Dia tidak berani bertanya kepada petugas, karena khawatir tidak akan diberi upah lagi. Hingga dua hari sebelum si bayi lahir, Sita masih juga bekerja. Dia akan kembali bekerja besok; mereka tidak akan mampu hidup hanya dari upah Murthi sendiri.

Sita, dengan ribuan perempuan lain, telah mengubah alur sungai. Mengapa alur sungai harus diubah, tidak ada yang mengetahui, tetapi itulah yang diperintahkan kepada mereka. Sungai mengalir dalam sebuah saluran yang cukup jauh dari lokasi monumen, lalu membelok ke dekat benteng. Perlahan-lahan, dengan usaha yang keras, sementara para lelaki menggali saluran baru untuk mendekatkan sungai ke lokasi, Sita membawa tanah segar di dalam sebuah keranjang anyaman kecil dan menumpahkannya ke air. Para perempuan ini diawasi; mereka tidak bisa berhenti atau bermalas-malasan. Beberapa pria menggali dengan cangkul, yang lain menyekop tanah ke barisan panjang baskom yang dibawa oleh para perempuan. Dari hari ke hari, bulan ke bulan, saluran itu melebar, dan akhirnya sungai sudah terbendung. Sita berhenti memikirkan hal ini, hanya menunggu upahnya dibayarkan pada sore hari. Lalu, pada malam hari, para perempuan lain mengambil alih tempatnya dan bekerja di bawah cahaya ribuan lampu.

Tiga puluh tujuh pria berdiri diam dalam keremangan senja, menunggu Sultan di teras marmer benteng. Isa berdiri agak jauh; seperti mereka, dia mengawasi kesibukan di seberang sungai, sosok-sosok kecil yang mondar-mandir di dalam bayangan, membungkuk di bawah bawaan mereka yang berbeda-beda.

Seorang gadis budak menyalakan lampu dan meletakkan lilin-lilin di relung-relung. Cahaya berkelip-kelip di wajah para pria itu. Mereka telah datang dari berbagai penjuru dunia, diperintahkan oleh Mughal Agung. Ismail Afandi, seorang Turki yang gemuk dan periang, Perancang Kubah; Qazim Khan dari Persia, perajin emas dan perak; Amarat Khan, juga dari Persia, seorang pria dingin bermata sayu, Ahli Kaligrafi; Chiranji Lal, seorang Hindu dari
Delhi, seorang ahli pemotong dan pengukir batu mulia; Mir Abdul Karim, yang telah bekerja untuk Sultan Jahangir dan telah diberi hadiah besar berupa delapan ratus budak dan empat ratus kuda. Dia, bersama Markarrinat Khan, seorang Persia lainnya, adalah administrator pembangunan monumen. Semua pria ini adalah majikan bagi para pekerja terbaik-pembuat perhiasan, pelukis, para tukang bangunan yang terlatih-dari Hindustan dan dari jauh seperti Chatay, Samarkand, dan Shiraz. Di bawah perintah Shah Jahan, Isa telah memanggil mereka semua, menjanjikan kekayaan besar yang akan menjadi imbalan karena keterampilan mereka.

Monumen tersebut, dipahat dari kayu, dilukis, masih belum selesai, berdiri di belakang mereka di lantai marmer. Benda itu adalah ancaman bisu yang menghantui hidup mereka. Mereka tidak menatapnya, tetapi memandang ke seberang sungai, dan mencoba membayangkan benda itu berubah, menjulang tinggi ke langit, tetapi tidak ada yang mampu melakukannya. Itu tidak nyata, impian semata. Sebagai ahli, para perajin itu menyadari bahwa monumen yang mereka lihat itu terasa akrab, tetapi ganjil. Monumen itu menyerupai Guri Amir, makam Timur-i-leng di Samarkand; tetapi bukan; mirip makam Akbar di Sikander, tetapi garis-garisnya lebih bersih dan tajam; mirip makam Ghiyas Beg, sang Itiam-ud-daulah, tetapi ini jauh lebih besar.

Bentuk ini muncul dalam impian Shah Jahan, Isa menerangkan, dan mereka mengerti. Sebagai

seniman besar, mereka juga memimpikan dan melihat bentuk-bentuk serta citra-citra yang diubah dari batu oleh tangan mereka sendiri. Benda itu menjelma, mengawang-awang dalam pikiran sang Sultan, bagian demi bagian, sedikit di sini, sedikit di sana, dan karena terobsesi, dia telah menerjemahkan bayangan itu ke dalam gambar, murka ketika seniman-senimannya tidak mampu mereproduksi apa yang dia perintahkan, membanjiri mereka dengan pujian dan hadiah saat mereka bisa menangkap maksudnya dan menggambar citra yang dia ingat. Setelah dua tahun impian itu baru bisa dikuakkan dari balik bayangan pikirannya, dan diwujudkan ke dalam suatu model kayu di lantai.

Tetapi, ini masih belum lengkap. Mereka telah mengajukan saran yang tidak terhitung jumlahnya, tetapi semua ditolak oleh sang Sultan yang penuh amarah. Dia mengumpat dan menjuluki mereka, dan mereka gemetar, karena kekerasan yang memancar dari wajah dan pikirannya, dan kematian bisa mengancam kapan saja karena kemarahannya. Isa memerhatikan model itu, tidak mampu untuk melihat suatu kesalahan. Dia telah hidup bersama hal ini dalam waktu yang lama, sehingga tidak mampu memikirkan benda ini dalam bentuk atau sosok yang berbeda. Makamnya berdiri di bagian tengah, menjulang di atas kolom-kolom marmer, dengan masjid di kedua sisinya. Makam itu tampak damai dalam kesendiriannya, terisolasi, dan Isa sangat menyukai kesunyiannya.

Di bengkel kerja yang dibangun di istana, ratusan orang membungkuk di atas gambar mereka siang dan malam, merancang pola-pola dan bentuk paling rumit untuk dinding-dinding interiornya. Sang Sultan memaksa mereka bekerja keras, menolak kebanyakan hasil karya, menginginkan rancangan itu diciptakan lebih detail, dan dibuat lebih indah sehingga semua ide dan rancangan asli telah hilang dalam lusinan kali. Mereka telah mematuhi semuanya, tetapi tetap saja tidak ada hasilnya. Sepertinya Shah Jahan ingin mewujudkan kekuatan kekuasaannya dalam kemurnian bunga-bunga yang mengancam.

Pertentangan yang rumit sedang terjadi di dalam benak sang Sultan, dan pertempuran itu tampak di monumen tersebut. Dia sedang mencoba menyeimbangkan kemegahan Mughal Agung penuh hiasan rumit yang menyesakkan dengan kesederhanaan cinta obsesifnya terhadap sang Ratu. Dia terombang-ambing di antara tekanan yang berlawanan ini. Kubah-kubah kecil, menara-menara, kubah perak, dinding-dinding ruby dan lantai berlian, fondasi-fondasi batu paras dan landasan-landasan marmer hitam, tangga-tangga emas dan pilar-pilar zamrud, dan balkon-balkon mutiara. Apa yang tidak bisa diciptakan oleh seseorang yang amat kaya raya?

Itu semua, sang Mughal Agung membayangkan, adalah surga. Tetapi, keseimbangan itu terganggu, dan tiba-tiba dia mengenang kecantikan Arjumand yang sederhana, tubuh langsingnya, garis alisnya, lengkungan pipinya, hidungnya yang lurus, dan senyuman yang tidak melebar di wajahnya, tetapi hanya mengambang di atas kulitnya yang bersih. Dan di antara setiap bentuk, tampak ada di sana-mungkin muslihat imajinasi-sebuah ruangan tenang yang tak berbatas. Saat dia mengenang ini semua, dia akan mengenyahkan semua perhiasan yang mendekorasi makam ini, menginginkan untuk hanya merefleksikan kecantikan sang Ratu dalam proporsi yang sebenarnya. Shah Jahan bagaikan ingin membangun patung atau melukis potretnya saja, menerapkan bentuk hidung, mulut, dan matanya ke dalam pintu, jendela, dan kubah-kubah. Putih adalah warna pagi hari, jadi saat dia menatap kreasinya itu, dia dan seluruh rakyatnya akan ingat bahwa mereka sedang meratap; bahwa luka di hatinya terlalu parah untuk disembuhkan. Oh Tuhan, dia menangis diam-diam, apa yang kulakukan kepadanya?

Saat dia meratap, Isa tetap diam dan tidak berekspresi, tidak tersentuh oleh air matanya.

Shah Jahan menyeberangi teras perlahan-lahan, jubah putihnya menyapu lantai marmer. Dia tidak memandang, atau berbicara, kepada orang-orang yang berkumpul, tetapi berjalan perlahan mengelilingi modelnya. Orang-orang yang berkumpul di situ tetap membungkuk dalam sikap kornish, meskipun Shah Jahan sudah memerintahkan bahwa tidak boleh ada orang yang boleh mempertunjukkan sikap berlebihan itu kepadanya. Dia merasakan kegugupan mereka.

“Lampu,” dia memerintah.

“Baik, Padishah,” mereka berkata serempak.

Mereka berlari mengambil obor, mengambil lilin-lilin dari relung-relung sehingga teras menjadi gelap, dan hanya model itu yang menyala di dalam cahaya, kecuali bayangan hitam Shah Jahan yang menimpanya.

Dalam cahaya seperti ini, pikir Shah Jahan, makam ini tampak terlalu kesepian, terlalu terisolasi. Dia harus mengakui, ada kesederhanaan yang dia nikmati dalam tiga bangunan ini; masjid-masjidnya kecil dan rendah bagaikan ingin memohon kemurahan Tuhan akan kemahakuasaan-Nya. Dia mengerutkan wajah; dia berharap untuk bisa memecahkan kesunyian tanpa merusak kedamaian. Ada sesuatu yang hilang.

Dia bergerak ke arah pagar dan orang-orang bubar untuk kemudian berkumpul lagi di belakangnya. Hari sudah malam, tetapi dia masih bisa melihat bayangan-bayangan para pekerja yang bergerak-gerak di antara berkas-berkas cahaya. Dia tidak bertanya-tanya tentang sosok-sosok kecil yang terus-menerus bekerja keras tanpa henti untuk memindahkan alur Sungai Jumna, bekerja hanya karena dia memerintahkannya. Air akan memantulkan monumennya, dan dia mengamati air gelap yang tenang, mencoba membayangkan bagaimana citra yang akan membayang di permukaan.

Mir Abdul Karim, seorang pria tinggi yang serius, mendekat dan membungkuk rendah. “Padishah, ada satu masalah.”

Dia menunggu tanda agar bisa meneruskan. Shah Jahan mengamatinya. Abdul Karim bercucuran keringat. Dia mengingat sang pangeran muda, dengan tatapan yang dingin seperti tatapan rajawali. Sekarang, dalam rengkuhan usia dan kekuasaan, tatapan itu mirip tatapan seekor elang tua, bijaksana, tetapi penuh keteguhan.

“Sungainya,” suara Mir Abdul Karim melemah, berdeham sebelum dia meneruskan. “Perubahan saluran menyebabkan air menyapu lokasi monumen, Padishah. Tanah tidak akan bisa menahan beban bangunan. Kita harus membangun konstruksinya lebih jauh ..”

“Keringkan lokasi itu. Jangan datang kepadaku dengan masalah-masalah sepele. Kaulah yang membangun, bukan aku.”

“Baik, Padishah. Itu akan dilakukan. Tapi, tidak ada batu-besi yang bisa mengisi fondasi untuk mencegah lebih banyak air yang akan menyapu lokasi.”

“Belilah,” dia memerintahkan dengan tidak sabar. “Mengapa pembangunan belum dimulai?” Pertanyaan itu dijawab dengan keheningan.

Akhirnya, Isa berbicara, “Padishah, modelnya belum lengkap. Quran melarang adanya perubahan jika pembangunan sudah dimulai. Para tukang bangunan hanya menunggu perintah Paduka.”

“Aku harus melakukan semuanya,” gerutu Shah Jahan. “Kau harus mempersiapkan gambar sebagai tambahan bagi makam, yang tidak akan merusak kesederhanaannya.”

Orang-orang itu saling bertukar pandang. Sekali lagi, cahaya menerpa model itu. Mereka menatap . berharap supaya bisa menemukan jawaban, tetapi model itu tetap membisu. Dan entah bagaimana, model itu tampak bagaikan memiliki nyawa, dan sudah mulai menjelma.

“Pergilah. Besok, aku ingin jawabanmu, Isa”

Isa tidak bergerak. Orang-orang menghilang ke dalam kegelapan taman di bawah, saling bergumam satu sama lain. Shah Jahan berbalik dari pagar.

“Seperti apa dia, Isa?” sang Mughal Agung terdengar bagaikan seorang anak kecil yang ingin diceritai suatu kisah yang sudah akrab, seperti Akbar yang minta seorang budak membacakan cerita untuknya.

Dari bukit di timur lokasi, Murthi mengawasi. Dia berjongkok dengan sabar bersama Gopi dan Savitri yang sedang bermain dengan tanah di sampingnya. Si bayi bisa bertahan hidup dan tumbuh, kuat, sehat, dan berkepribadian baik. Menjaga bayi membuat Murthi merasa tidak enak. Itu adalah pekerjaan perempuan, tetapi jika dia tidak sedang bekerja, Sita menitipkan si bayi kepadanya. Saat si bayi harus disusui, Murthi akan membawanya kepada Sita, dan Sita akan terburu-buru menunda pekerjaannya untuk menyusui si bayi.

Di bawah, kerumunan sudah terbentuk. Para peramal bintang telah memperhitungkan waktu yang tepat untuk menggali tanah, agar pembangunan dimulai, dan para mullah sedang berkumpul, berjubah hitam seperti gagak, untuk melakukan ritual. Semua pekerjaan sudah dihentikan. Murthi menunggu. Dia mendengar suara genderang dan terompet, dan dari kejauhan di hulu sungai, dia melihat sebuah prosesi mendekat dari Lai Quila. Sang Sultan berada di atas tandu, diikuti oleh para prajurit, orang-orang terhormat, dan para petugas kerajaan. Butuh beberapa saat sebelum mereka mencapai lokasi, dan saat matahari berada di titik tertinggi pada siang hari, orang-orang yang bersembahyang membanjiri ruang kosong. Dia melihat asap dupa, kemudian sang Sultan berlutut dan mencium tanah, kemudian semua selesai. Murthi terkejut karena ritual itu begitu singkat dan sederhana. Saat sebuah kuil akan dibangun, ritual akan berlangsung berhari-hari; sesaji yang tak terhingga jumlahnya akan dipersembahkan, Veda akan dilantunkan dari fajar hingga senja, api akan membakar jeruk dengan ghee dan susu, santunan akan dibagikan kepada orang-orang miskin. Dia kecewa dengan tamasha kecil ini.

Murthi menghabiskan hari-harinya dengan gelisah dan bosan. Dia bisa mengeluarkan perkakasnya, sembilan pahat dengan beragam ukuran, yang terkecil sehalus lidi, yang tampak mudah patah dalam genggaman yang kuat. Dengan desahan keras, dia akan membungkus mereka kembali di dalam karung goni. Dia sudah mengajari Gopi bagaimana caranya merawat peralatan penting dan mengasah perkakas ini.

Dia menggali sebuah lubang kecil yang dalam di luar gubuknya, kemudian membuat sebuah terowongan sempit di ujung satunya, yang membuka di dalam lubang itu. Dia meletakkan selongsong panjang puputannya di mulut terowongan sehingga ketika dia memompa, debu terbang dari lubang tersebut. Selama sehari, dia meninggalkan tanah itu agar mengeras, kemudian memenuhi lubang dengan batu bara yang masih menyala. Saat Gopi meniup puputan, Murthi menempelkan ujung pahatnya di batu bara tersebut, dan saat batu bara itu merah membara, dia memindahkannya dengan capitan, dan memukulnya dengan palu di atas batu-besi yang mulus. Akhirnya, dia menjatuhkan batu bara itu ke dalam sebuah baskom berisi air agar mengeras. Lalu, dia mengizinkan Gopi untuk berlatih, dan lama sekali mereka tenggelam dalam pekerjaan mereka.

Suatu malam, saat Murthi duduk di luar gubuknya, dia melihat sekelompok orang mendekat. Salah satu atau dua orang pernah dia kenali; tetapi yang lain masih asing baginya, semua berpakaian indah. Pemimpin mereka adalah Mohan Lal, seorang pedagang rempah-rempah. Biasanya, dia berpakaian lusuh, tidak berharap memperlihatkan kekayaan melimpah dari usahanya, tetapi malam ini dia mengenakan baju baru yang bersih. Murthi segera berdiri dan memberikan namaste. Kecuali lantai tanah, tidak ada tempat lain untuk duduk. Beberapa duduk bersila, yang lain berjongkok. Murthi menyuruh Sita untuk menyuguhkan chai; orang-orang itu memprotes, tetapi hanya untuk sopan santun, dan menunggu teh dihidangkan.

“Aku Chiranji Lal,” seorang pria gemuk pendek berbicara. “Aku datang dari Delhi untuk bekerja sebagai ahli batu mulia monumen ini. Aku telah mendengar jika kau seorang Acharya.”

Murthi tertawa gembira. “Ya, ya. Itulah aku, tapi bangunan ini tidak membutuhkan keterampilanku, jadi aku harus mengerjakan hal lain. Apakah Anda seorang petugas?”

Tiba-tiba, dia merasa tidak nyaman. Mereka telah datang untuk menghentikan upahnya. Mereka tahu dia tidak bekerja.

“Bukan,” jawab Chiranji Lal. “Kedatangan kami kemari tidak ada hubungannya dengan monumen. Banyak penganut Hindu di antara kami, tapi kami tidak memiliki kuil untuk dipuja. Kami tidak tahu apakah akan diberi izin untuk membangun sebuah kuil. Kami berencana mendekati Padishah untuk membicarakan hal ini.”

Murthi menunggu. Dia merasakan ketidaknyamanan mereka, dan, dari wajah mereka, dia melihat keberanian mereka sudah menguap saat mereka memikirkan petisi. Selama berabad-abad, kuil-kuil Hindu besar telah dihancurkan dan masjid-masjid sudah dibangun menggantikan kuil-kuil di lokasi yang sama. Para penakluk Muslim yang sukses telah menghancurkan kepercayaan mereka, tetapi saat ini mereka merasakan

perubahan. Akbar telah memulainya dengan din-i-illah-nya, suatu agama berjiwa bebas yang menghargai seluruh kepercayaan kepada Tuhan. Ada kemungkinan pembangunan sebuah kuil kecil akan diizinkan, tetapi tetap ada risikonya.

“Aku tidak bisa membangun kuil,” kata Murthi. “Keluargaku ..”

“Tidak. Kami tidak ingin kau membangun sebuah kuil. Kau harus memahat sebuah patung Durga untuk kami puja. Bisakah kau melakukan hal itu?”

Murthi merasa senang. Dia berdiri dan mengangguk.

“Aku bisa melakukannya. Akan makan waktu beberapa lama. Aku tidak bisa mulai bekerja hingga aku menerima visi.”

Mereka semua mengerti. Mungkin butuh waktu bertahun-tahun baginya untuk mendapatkan suatu visi. Sosok Durga-saudara perempuan Kali, bertangan delapan, dan menunggangi seekor singa-sudah banyak diketahui. Dia ada, tetapi Murthi harus mendapatkan visi tentang Durga untuk bisa memahatnya dengan imajinasi dan penuh detail, tetapi tanpa menyinggungnya.

“Batu apa yang bisa kugunakan?”

“Marmer. Hanya itu yang kami miliki. Kami bisa membeli sebongkah marmer dari pedagang keliling yang memasok marmer untuk pembangunan monumen.”

Mereka tetap tinggal selama beberapa saat, mendiskusikan detail pembayaran. Saat mereka pergi, Murthi segera memberi tahu Sita.

Keberuntungannya sudah berubah.

Tetapi, seminggu kemudian, keberuntungannya lagi. Murthi dipanggil oleh si petugas yang mempekerjakannya. Dia gemetaran, yakin bahwa si petugas menemukan kejanggalan dalam pembayaran, dan dia harus mengembalikan seluruh upahnya atau mendapatkan hukuman
Bagikan :
+
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk "TAJ - Tragedi di Balik Tanda Cinta Abadi - BAB 6"

Terimakasih atas kunjungan anda. Mohon tidak copy paste artikel yg ada di blog ini, terimakasih

 
Copyright © 2015 HimE aiMe - All Rights Reserved
Template By Kunci Dunia
Back To Top