TAJ - Tragedi di Balik Tanda Cinta Abadi - BAB 5





BAB 5



KISAH CINTA

(1042/1632 Masehi)
                                                                                                                                                                                            

--Shah Jahan--

“Kau sedang bermimpi, Yang Mulia.”

“Tidak bolehkah seorang pangeran bermimpi?”

“Tidak boleh jika di medan perang. Aku bisa membunuhmu tiga kali-di sini, di sini, dan di sini.” Pedang Jenderal Mahabat Khan menyentuh leherku, jantungku, dan perutku. “Dalam medan perang, seorang raja adalah jantungnya. Jika ia terbunuh, kekalahan sudah tidak bisa lagi terelakkan. Saat kau menjadi sultan, ingatlah nasihat kakekmu, Akbar: ‘Suatu monarki seharusnya selalu berhasrat untuk menaklukkan, jika tidak, negara-negara tetangganya akan mengangkat senjata melawannya.’”

“Aku belum menjadi sultan. Masih ada waktu untuk bermimpi.”

Seorang prajurit mengambil pedang dan perisaiku. Debu sisa pertempuran kami menggantung di udara, dan pasir lembap karena keringat kami. Sang Jenderal berjalan di sampingku ketika kami menuju ke hamam. Cara dia berjalan mirip dengan Akbar, yang juga telah dia dampingi dalam banyak pertempuran. Dia kuat, kekar, dan penuh bekas luka. “Kau terlalu banyak memimpikan gadis itu, Arjumand.”

“Mimpiku membebaskan kesendirian yang sunyi. Tidak diragukan lagi, para jenderal menjalani kehidupan tanpa mimpi.”

“Begitu juga seharusnya para pangeran dan sultan.”

Ar-ju-mand. Aku tak bisa menahan diri untuk tidak bermimpi dan merasakan tubuhku menjadi sebuah tempat yang tersia-sia, dihantui oleh ruhnya. Dia masuk ke tempat yang belum pernah dimasuki oleh seorang pun, dan tidak ada yang bisa masuk ke sana. Aku telah menjadi kesultanannya, kerajaannya, subjeknya. Belenggu ini terasa berat, mencekik, dan melekat rapat bagaikan besi di hatiku. Hanya dia yang bisa membebaskanku dari rasa sakit, dari keberadaanku yang bagaikan mimpi, yang tidak kuketahui dengan pasti, apakah aku hidup atau berada di dunia lain.

“Apa yang harus kulakukan?”

Sang Jenderal telah menjadi guru pribadiku hampir seumur hidupku, sejak saat aku sudah cukup kuat untuk mengangkat pedang. Dia telah mengajariku seni-seni rumit permainan pedang, menunggang kuda, bergulat, dan taktik-taktik di medan perang. Seperti semua leluhurku, aku terlahir sebagai pemberani. Tidak bisa tidak.

“Lupakan dia,” tukasnya kasar, berteriak mengatasi percikan air. Dia menikmati kemewahan di istana, budak-budak wanita yang terlihat menarik di matanya, dan memijat tubuhnya, tertawa ketika dengan kurang ajar dia mencubit paha seorang budak dengan tangannya. Cubitan itu membekaskan noda basah di choli si budak. “Aku tahu, itu adalah nasihat yang salah bagimu, Shah Jahan. Tapi, aku belum pernah menjadi seorang bangsawan. Aku benar-benar terkesan pada peribahasa Istana: ‘Jika sang raja bersabda pada siang hari, saat ini malam hari, kita harus berkata, lihatlah bulan dan bintang-bintang.’ Tapi, kau telah bertanya kepadaku dan aku telah menjawabnya. Camkan, kau bisa melakukannya. Lupakan dia.”

“Aku tidak bisa.”

“Kau pasti bisa, suatu saat.”

“Sudah berbulan-bulan lewat sejak aku melihatnya. Tapi, sepertinya baru kemarin kami berbicara dan saling menatap. Bahkan, jika aku memiliki lukisan dirinya, pasti lukisan itu tidak akan begitu jelas. Satu-satunya kenikmatanku hanyalah dengan memanggil kenangan itu. Aku memoles kenangan itu bagaikan sebuah berlian besar yang diberikan Humayun kepada Babur. Katanya, harga berlian itu bisa memberi makan seluruh penduduk dunia selama dua hari. Dia sama berharganya dengan berlian itu bagiku. Setiap saat aku bermimpi, aku melihat dia begitu segar, rambutnya yang seperti sutra, kulitnya yang bagaikan gading dalam cahaya lampu. Aku bertanya-tanya, apa yang akan kulihat pada siang hari? Aku iri, iri kepada orang-orang yang telah Tuhan tempatkan di sampingnya.

Budak-budaknya, pelayannya, ibunya, ayahnya, bibinya, pamannya. Mereka jauh lebih beruntung daripada aku.”

“Kalau begitu, jadilah seorang sanyasi. Mengembaralah untuk mencari Tuhan, pakailah baju karung berdebu, dengan patung Arjumand yang tergantung di lehermu. Cinta tidak layak bagi para pangeran. Kau bukan seorang prajurit atau orang biasa. Kau adalah Shah Jahan. Kau akan menikahi seorang perempuan yang memang sudah seharusnya. Bukan demi cinta, tetapi demi politik. Apakah Babur menikah karena cinta? Apakah Humayun juga begitu? Apakah .?”

“Ya, dia begitu. Humayun begitu.” “Dan ingatlah bencana yang terjadi karena tindakannya.”

Mahabat Khan mengabaikan fakta lain bahwa kakek buyutku dengan konyol mematuhi instruksi ayahnya: “Jangan menyerang saudara-saudara lelakimu, meskipun mereka mungkin layak mendapatkannya” dan hasilnya membawa masalah bagi dirinya. Tidak ada hubungannya dengan cinta kakek buyutku kepada Hamida. Aku tidak akan membuat kesalahan yang sama.

“Apakah Akbar begitu? Jahangir?”

“Aku mendengar ayahku terobsesi kepada Mehrunissa.”

Mahabat Khan melirikku, kemudian memandang para perempuan yang sedang menunggu kami. Dengan bijaksana, dia menolak untuk tenggelam dalam pembicaraan ini, dan juga mengingatkanku.

Perjalanan sang Sultan ke liang kubur masih jauh dan dia pasti akan mendengar bisikan paling halus sekalipun di lingkungan istana. Sedikit saja ada kesalahpahaman dengan nama perempuan itu, hidup kami pasti terancam.

Mehrunissa Dia adalah sebuah teka-teki, suatu lingkaran berbelit-belit yang harus kuurai di tempat rahasia dan pribadi dalam pikiranku sendiri. Ah, jika aku bisa berbicara dengan seseorang yang bisa kupercayai, seseorang yang tidak akan begitu saja meneruskan kata-kataku, mengartikan kata-kata itu untuk kepentingannya sendiri, ke telinga ayahku. Apa yang diinginkan oleh Mehrunissa? Aku mendengar bahwa ambisinya tidak terbatas, sebagaimana kesultanan ini sendiri. Dia tidak bisa menjadi permaisuri, karena ibuku, Jodi Bai, adalah istri pertama ayahku. Tetapi, Mehrunissa juga sudah menikah dan tidak bisa bercerai; para mullah yang mengawasi tidak akan mengizinkan ayahku menikah dengan seorang janda cerai. Aku meragukan apakah Mehrunissa ingin menjadi seorang selir yang tinggal di dalam harem, dikelilingi para perempuan lain dan dihancurkan kebosanan. Itu akan menjauhkannya dari singgasana. Kupikir, jika ayahku memang terobsesi, entah bagaimana caranya, dia pasti akan membawa Mehrunissa ke dekatnya, dan telinganya akan selalu siap mendengar bisikan perempuan itu. Mungkin Mehrunissa bisa menjadi sekutuku, menggemakan bisikanku sendiri: Arjumand, Arjumand.

“Aku sudah mengajukan pertemuan dengan ayahku, tapi dia menundanya.”

“Tidak diragukan lagi, dia berharap hasratmu terhadap gadis itu akan memudar dan kau akan kembali mendapatkan akal sehatmu. Saat itu dia baru mau menerimamu.”

“Dia pasti berpikir jika aku bisa melupakannya, karena dia menyetujui kedatanganku besok. Tapi, api itu masih membara dalam diriku. Aku akan meminta ..”

“Berbicaralah kepada ayahmu dengan lembut. Tidak ada yang bisa meminta atau memerintah di tanah ini kecuali dia. Dan tetaplah berpikir logis.” Dia memilih seorang gadis Kashmir dan mendorongnya ke arahku. “Ambillah perempuan ini untuk memuaskan hasrat itu. Yang kau rasakan itu hanya nafsu.”

“Bukan. Ini cinta.” Aku memberi isyarat agar gadis itu menjauh.

“Baiklah, ingat nasihatku. Pikirkan dengan saksama sebelum kau berbicara dengan Padishah. Para lelaki sering kali memenggal kepala mereka sendiri dengan lidah mereka. Yang bisa kukatakan hanyalah, ingatlah, kau adalah pangeran Shah Jahan.”

Istanaku terletak jauh di dekat hulu sungai dari benteng. Aku yang merancangnya sendiri, dan lebih disempurnakan lagi dengan saran-saran para ahli bangunan dan seniman ayahku. Aku menghabiskan banyak waktu bersama mereka, mengamati mereka mengonstruksi model-model bangunan yang telah didirikan oleh ayahku di Agra dan Delhi. Hal ini

membuatku tahu bahwa batu yang keras dan padat bisa dibentuk selentur tanah liat dan digunakan untuk menciptakan rancangan-rancangan yang rumit. Orang-orang Hindu, yang merupakan ahli bangunan paling hebat di dunia, telah menemukan bahwa atap raksasa dan tembok-tembok besar bisa disangga dengan bobot mereka sendiri. Kuil-kuil dan istana-istana mereka, seperti salah satu yang ada di Gwalior, berbentuk lengkungan indah, disangga oleh keseimbangan bobot lengkungan itu sendiri. Itu adalah salah satu contoh yang sudah kami pelajari. Atas perintah kakekku, merekalah yang membangun istana di Fatehpur-Sikri, yang sekarang sudah tidak digunakan lagi. Aku sering bertanya-tanya, bagaimana keterampilan mereka bisa menjadikan batu menyerupai kayu, dan bagaimana mereka bisa menyempurnakan suatu sistem konstruksi untuk menyangga sebuah bangunan untuk selamanya?

Istanaku sendiri lebih sederhana, menyerupai sebuah kolam air mancur. Bangunannya bertingkat-tingkat ke bawah seperti jatuhnya air, dengan jalan masuk di tingkat paling atas. Di luar, di atap setiap fondasi, aku membuat sebuah taman dan memenuhinya dengan beragam jenis semak berbunga.

Dulu bangunan ini dibangun untuk kenikmatanku, sekarang tampaknya tidak cocok untuk kesendirianku. Istanaku menggemakan kehampaan hatiku. Saat senja, aku memandang ke arah rumahnya, yang terlihat di antara pepohonan. Aku membayangkan dia sedang menatap keluar, ke arahku, dan pada waktu-waktu lain dia mengamati saat aku menyusuri kota untuk melakukan tugas-tugas kenegaraan. Jika saja aku bisa melihatnya sebentar . tetapi dia begitu tersembunyi di balik layar kemurnian yang terkutuk.

“Siapkan seorang perempuan dan bawa dia kepadaku.”

Malam itu dingin, aroma bunga tercium semanis anggur kuning. Aku bisa membayangkan tubuhku tak berjiwa, melupakan jikalau aku memiliki perasaan dan pikiran, dan berpura-pura jika aku hanya memiliki tubuhku. Para musisi, tersembunyi di balik layar semak-semak, memainkan raga malam. Melodinya begitu lembut, melankolis, meratapi hari-hari yang bergulir. Lupakan. Lupakan. Lupakan. Sungguh tidak mudah untuk membuat otak buta, tidak seperti menutup mata, karena di sana tidak ada suatu kenangan tunggal semata, tetapi keseluruhan jagat raya ingatanku.

Perempuan yang mereka bawa untukku masih muda dan bertubuh montok. Dia hanya mengenakan gelang kaki dan gelang tangan, rambutnya terurai hingga pinggul. Kulitnya begitu mulus dan putih; menyentuhnya bagaikan menyentuh emas. Aroma tubuhnya harum karena wewangian. Rekan-rekannya melepaskan pakaian dan turbanku, lalu mulai mengolesi seluruh tubuhku dengan minyak. Hasratku juga mulai bangkit, karena pengaruh cinta dan minuman anggur.

Mereka berbisik di telingaku, menjanjikan kenikmatan yang belum pernah kuketahui sebelumnya. Tawa mereka bagaikan musik, yang melenakan hati. Di atas kepalanya, bulan tampak bagaikan sekeping koin perak yang baru dipoles dan tampak pudar, diselubungi awan tipis, dan bintang-bintang terang yang dingin bagaikan serbuk perak.

“Banteng telah menerkam rusa,” aku mendengar sebuah bisikan dan nada itu begitu lembut memasuki telingaku.

Semua berjalan begitu memabukkan, diiringi alunan musik, dan selama sesaat keriuhan jangkrik yang mengerik pada malam ini menjadi bisu. Kemudian, jangkrik-jangkrik itu mengerik lagi serempak.

Oh, Arjumand

Prajurit yang menjaga pintu masuk diwan-i-khas menerima belatiku yang berhias emas dan batu mirah. Bahkan aku pun tidak bisa mendekati ayahku dengan membawa sejata. Sang Padishah duduk di singgasana, dikelilingi oleh para menteri yang berdiri, di antara mereka terdapat Ghiyas Beg, kakek kekasihku. Aku membungkuk dan ayahku menyambut kedatanganku dengan acuh tak acuh. Karena dia tidak mempersilakan aku duduk, aku juga tetap berdiri.

Para menteri bergiliran berbicara, dan ayahku mendengarkan kata-kata mereka dengan saksama. Ketika mulai menduduki takhta, perhatian ayahku mengagetkan orang-orang yang memercayai Akbar, yang yakin jika ayahku tidak akan pernah bisa menjadi pemimpin yang bertanggung jawab. Akbar sempat berpikir untuk melantik abangku Khusrav menjadi sultan baru, tetapi ketika ajal menjemputnya, Akbar mengubah pikirannya dan mewariskan takhta kepada ayahku, yang menerimanya dengan sangat antusias, dan segera berusaha masuk ke dalam kerumitan kesultanan ini dengan segala urusannya. Akbar meninggalkan kami sebuah negeri yang stabil, harta karun melimpah, dan hukum yang memberikan keamanan dan keadilan bagi rakyat kami. Melawan protes para mullah, dia menghapuskan jizya, pajak yang harus dibayar oleh orang-orang kafir. Dan karena kebanyakan rakyat kami beragama Hindu, hal itu membuat mereka merasa nyaman karena diperlakukan setara dengan kaum Muslim. Dia mereformasi hukum pajak bagi para petani, mengubah pembayaran dari setiap tahun Islam menjadi setiap tahun Masehi, dan dalam waktu-waktu sulit membantu mereka dalam hal keuangan. Dia melarang pernikahan kanak-kanak dan mencoba melarang suttee, kebiasaan Hindu yang kejam-membakar janda hidup-hidup, termasuk mewariskan sistem pemerintahan negeri saat ini melalui empat menteri.

Tengah hari sudah lewat saat rutinitas berakhir dan para menteri pergi. Sang Padishah tampak lesu. Matanya berwarna seperti buah ceri muda, bukan karena kelelahan, melainkan karena kebiasaan minumnya yang berlebihan.

“Khurrum” Dia memanggil nama kecilku. “Mendekatlah padaku.”

Dia memelukku. Aku mencium aroma cendana yang terasa akrab. Kenangan masa kecilku kembali muncul, ketika dia memainkan beberapa permainan denganku apabila waktu dan keadaan mengizinkan. Dia bangkit, menguap, dan kami berjalan ke kamarnya. Dia merangkulku erat-erat. Sejak abangku Khusrav melakukan pemberontakan dan percobaan pembunuhan sang Padishah, diriku mendapatkan perhatian dan penghormatan lebih dari ayahku. Selain nama dan gelarku, aku juga diberi sebuah jagir Hissan-Feroz yang luas. Bertahun-tahun yang lalu, Akbar sempat memberikan jagir yang sama kepada ayahku. Tetapi, aku yakin kasih sayangnya kepadaku juga disebabkan oleh kurangnya kasih sayang Akbar kepada dirinya. Dia ingin memperbaiki keadaan, dan tidak mengharapkan aku tumbuh sehampa dan kekurangan kasih sayang seperti dirinya.

“Apa yang kau inginkan, Khurrum?”

Meskipun dia mengetahui alasan mengapa aku meminta pertemuan dengannya, dia bertanya hanya demi sopan-santun kebangsawanan, bagaikan memperingatkan aku bahwa apa yang dia tunjukkan tidak bisa diterima begitu saja. Aku harus bernegosiasi tentang masalah ini dalam batas-batas protokoler yang tepat.

“Mengapa aku harus menginginkan sesuatu?”

“Kau akan tahu jika orang-orang menginginkan pertemuan dengan Padishah karena merek menginginkan sesuatu, dan aku satu-satunya yang bisa memberikan hal itu kepada mereka.” Kami memasuki kamarnya; memandang ke luar, ke arah Sungai Jumna. Dinding batu paras merah ruangan ini dipahat dengan elok, tetapi tidak cocok dengan bayanganku tentang tempat tinggal indah seorang sultan. Para budak melangkah maju untuk melepaskan turbannya, ikat pinggang dan selendang emasnya, serta belati emas dengan sebutir berlian besar di ujung gagangnya. Dia mengambil segelas minuman anggur yang sudah didinginkan.

“Kita memiliki masalah dengan Rajput lagi. Mewar menolak untuk memberi penghormatan. Dia tidak akan puas hingga kita menghancurkannya. Kupikir penghancuran Chitor oleh Akbar telah membuatnya jera.” Dia menyandarkan punggungnya ke dipan, tampak muram, dan tiba-tiba ingat jika aku berada di dekatnya, lalu tersenyum kepadaku. “Ayo, katakan kepadaku, apa yang kau khawatirkan? Jika bisa, aku akan menghilangkannya.”

Aku tahu, aku harus berbicara dengan mengesankan; aku berdoa semoga lidahku tidak akan membeku karena keinginanku yang menggebu-gebu. Jika aku tidak bisa meyakinkan Padishah sekarang, Arjumand dan aku tidak akan memiliki harapan. Ayahku menghabiskan isi gelas anggurnya dan menyuruhku lebih mendekat. Wajahnya berkerut-kerut karena masa mudanya yang keras. Matanya tampak buram, setengah tertutup dalam sikapnya yang biasa saat dia
mendengarkan dengan saksama. Aku tidak bisa memperkirakan suasana hatinya. Apakah sedang pemurah dan baik? Ataukah sedang kasar dan kejam? Sosoknya begitu kaku, topeng khas seorang sultan.

“Padishah, Sultan Hindustan, Penakluk Dunia, Pembela Keyakinan, Prajurit Tuhan, Ayahku. Ayah tampak baik-baik saja.”

“Aku memang baik-baik saja,” dia menyetujui, “jika anakku tidak bertingkah seperti bangsawan yang menjilat. Kau adalah anakku yang paling kusukai dan kusayangi; kau tak perlu bertingkah dengan formalitas seperti itu di hadapanku.”

Dia mencubit pipiku dan membelai wajahku; kebiasaannya jika menunjukkan kasih sayang. Aku membungkuk karena keramahannya, tidak sepenuhnya memercayai ayahku. Jika aku tidak menghormatinya dengan formalitas seperti ini, dia pasti akan kecewa. Selama sesaat, aku merasa beruntung karena dia mengizinkan aku untuk duduk di sebelahnya. Tangannya masih memegang lenganku.

“Bicaralah, bicaralah,” dia kembali mengambil minuman anggur. Dua gelas lagi, dan perhatiannya akan mengembara.

“Aku sedang di Pasar Malam Bangsawan Meena”

“Tamasha yang menyenangkan Kupikir aku harus mengatur agar acara itu diselenggarakan lebih sering. Setiap bulan, bukannya hanya setiap tahun. Para perempuan juga sangat menikmatinya.

Bagaimana menurutmu?”

“Jika acara itu menyenangkan bagi para perempuan, maka harus diselenggarakan lebih sering.”

“Aku akan memikirkannya lebih dalam.” Perhatiannya terganggu oleh seorang budak yang memijat lehernya.

“Bukan, di sana, Bodoh . ah.”

“Aku tahu sebentar lagi pernikahanku akan segera diatur ..”

Perhatiannya kembali dengan cepat, dan tiba-tiba dia menjadi waspada.

“Kebahagiaanku dan pilihan siapa pengantinku ada di tangan Ayah, dan aku akan menerima siapa pun yang Ayah nilai cocok, baik untukku maupun untuk kesultanan. Di pasar malam, aku melihat seorang gadis yang menurutku paling cantik. Dia menjual perhiasan perak. Mungkin Ayah juga melihatnya. Dia berasal dari keluarga yang sangat baik. Kakeknya adalah Ghiyas Beg, Itiam-ud-daulah Ayah.” Aku berhenti sesaat, mencoba memperkirakan efek kata-kataku. Sang Padishah tidak berkata apa-apa, seperti telah mengetahui apa yang akan kukatakan selanjutnya.

“Bibinya adalah Mehrunissa, putri Ghiyas Beg. Dia adalah istri ..”

“Aku mengenal suaminya,” dia berkata dengan cepat, jarinya mengetuk-ngetuk lenganku dengan tidak sabar. “Aku juga telah melihat gadis itu. Dia manis.”

“Dia cantik jelita,” dengan lembut aku membantah ayahku. “Otak dan hatiku dipenuhi perasaan kepadanya.” Aku menahan napas, tetapi tidak bisa mengendalikan lidahku. “Aku mencintainya.”

“Begitu cepat Hanya sesaat kau bersamanya, dan kau sudah mengatakan kau mencintainya.”

Aku mendengar suara gema, pelan dan penuh rasa cemburu. Saat masih seumurku, dia hidup dalam kesendirian, di bawah bayangan Akbar. Hidupnya, harapannya, impiannya, semua ditentukan oleh kakekku yang berkuasa. Sungguh tidak mungkin untuk menyuarakan kebutuhan akan kasih sayang. Akbar tidak memberikannya sama sekali kepada anak-anaknya. Ayahku menikah karena Akbar menginginkan persekutuan yang kuat dengan pangeran Rajput, Rana daerah Malwar. Jika Jahangir mencintai perempuan lain, dia pasti tidak bisa mengungkapkannya karena takut kepada Akbar. Kuharap dia akan memutuskan hal ini berdasarkan kenangan pribadinya, bahwa dia akan memberiku kebahagiaan yang pernah dia ingkari. Dari tekanan lembut jari-jarinya, denyut nadinya yang meningkat, aku merasakan harapan. Aku mencari tanda-tanda di wajah dan matanya, sikap tubuhnya, di lipatan sarapa-jubah kebesaran-sutranya, di gulungan kancing-kancing emas serta ornamen-ornamen mutiara dan berliannya, bahkan di seberkas sinar matahari suram yang menyinari lemari perak di sudut ruangan.

Dan ayahku mengamatiku. Tatapannya penuh rasa ingin tahu, bagaikan dia menemukan orang yang berbeda di dalam diri anaknya. Aku membayangkan bisa menemukan kebaikan hati dan simpati di sana. Dia akan mengerti kerinduanku, rasa sakitku, karena dia juga harus mengalami kebingungan yang sama karena perasaannya terhadap Mehrunissa. Dia pernah melihat Mehrunissa sekali, saat masih muda, ketika ayah Mehrunissa pertama kali melaksanakan tugas dari Akbar. Mungkin sejak saat itu dia sudah mencintai Mehrunissa, tetapi tidak ingin mengungkapkannya kepada Akbar. Aku telah mengetahui ketertarikan ayahku terhadap Mehrunissa dari salah seorang budak perempuan kesayangannya, tetapi ayahku tidak pernah membicarakan hal-hal yang begitu pribadi denganku. Dia telah mengubur cintanya untuk mematuhi ayahnya; aku yakin saat ini dia tidak akan menolak ungkapan perasaanku. “Akbar,” dia mulai berbicara perlahan, membaca pikiranku, “sering menceramahiku tentang tugas-tugas seorang pangeran. Sudah takdir kita untuk memerintah. Tuhan sendiri yang memilih kita untuk tujuan itu. Kita bukan dacoit ataupun perampok yang merebut kerajaan. Kita adalah keturunan Ghengis Khan dan Timur-i-leng, dan kesultanan yang telah kita bangun dari Hindustan berasal dari kualitas kita sebagai penguasa. Seorang pangeran hanya boleh memikirkan keuntungan bagi kerajaannya. Jika ia lebih memikirkan dirinya sendiri, kerajaan setelahnya, semua akan hilang. Kau harus membaca kitab Arthasastra karya Kautiliya. Dengan bijaksana, orang-orang Hindu telah menuliskan tugas-tugas seorang pangeran. Sebelum melakukan segala sesuatu, pertama-tama yang kupikirkan adalah keuntungannya bagi kesultanan, atau bagaimana efeknya terhadap negara. Saat kau sudah naik takhta, kau akan belajar untuk berpikir dengan cara ini. Sekarang, untuk pertanyaanmu tentang gadis ini, Arjumand, aku mempertimbangkannya bukan sebagai ayah seorang anak lelaki yang kucintai, tetapi sebagai seorang sultan yang memikirkan putra mahkotanya. Hidup kita, Putraku, bukan untuk diri kita sendiri. Hidup kita hanya untuk kerajaan. Bagaimana pernikahan dengan Arjumand bisa memperkuat kesultanan? Pikirkanlah hal itu.”

Aku sudah tahu jika aku kalah, dan aku tidak bisa berpikir jernih di antara degup jantungku yang kencang. Dalam keputusasaan, aku menukas cepat, “Itu akan membuatku bahagia.”

“Ah, Badmash, kau tidak mendengarkan aku.” Dia menonjokku perlahan. “Membuatmu bahagia? Kukatakan kepadamu, hidup kita bukan milik kita sendiri. Seorang rakyat jelata bisa berkata, ‘Aku akan melakukan itu,’ dan melakukannya. Kepada siapa tindakan itu berakibat? Hanya kepada dirinya sendiri, mungkin hanya bagi keluarga terdekatnya. Tapi, jika Shah Jahan yang berkata, ‘Aku akan melakukan itu karena itu membuatku bahagia,’ itu akan berakibat kepada seluruh kesultanan. Apa yang ada dalam diri Arjumand? Kekayaan? Kekuasaan? Sebuah kerajaan? Persekutuan politik? Apakah menikahinya akan mendamaikan kita dengan seorang musuh, seperti yang selalu Akbar sarankan? Apakah itu akan memperluas kerajaan? Jika jawabannya ‘y3’ untuk setiap pertanyaan, kau bisa mendapatkan restuku untuk menikahinya.”

Matanya masih menyorotkan kasih sayang, tetapi di baliknya, aku bisa menemukan tatapan penuh kekuasaan.

“Kau sudah tahu jika jawabannya ‘tidak’.”

“Maka masalah ini sudah diputuskan.” Dia menarikku ke pelukannya dengan penuh kasih sayang, dan aku bisa merasakan aroma masam minuman anggur dari napasnya.

“Setelah pernikahanmu yang untuk kepentingan negara, ambillah dia sebagai istri keduamu, jika kau masih merasakan cinta yang sama kepadanya. Kau masih muda, kau akan melupakan hasratmu ini.”

“Aku ingin dia menjadi istriku yang pertama dan satu-satunya,” aku mulai membandel. “Aku tidak akan ..”

“Jangan memerintah dalam pertemuan denganku.” Alis ayahku bertaut, dan tatapannya menjadi galak, menepis kasih sayangnya. “Kau akan melakukan apa yang kuperintahkan. Nikmatilah tubuh perempuan lain. Begitu banyak di antara mereka. Pilihlah siapa saja yang kau mau, dan berhentilah memikirkan gadis itu. Sekarang pergilah, aku lelah.”

“Kumohon ..”

“Pergilah.”

Aku terlalu lama ragu-ragu untuk mematuhi perintahnya, dan melihat kemarahannya mulai memuncak. Aku tidak ingin membuat sang Sultan

lebih kesal lagi. Aku bangkit dan membungkuk, tetapi saat aku mencapai ambang pintu, dia memanggilku lagi.

“Aku sudah memilih istrimu.”

Aku berlalu tanpa mendengarkan pilihannya.
Bagikan :
+
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk "TAJ - Tragedi di Balik Tanda Cinta Abadi - BAB 5"

Terimakasih atas kunjungan anda. Mohon tidak copy paste artikel yg ada di blog ini, terimakasih

 
Copyright © 2015 HimE aiMe - All Rights Reserved
Template By Kunci Dunia
Back To Top