TAJ - Tragedi di Balik Tanda Cinta Abadi - Bab 1 Part 1


note : novel ini menggunakan banyak pov (point of view) atau sudut pandang. yg jarang-jarang baca novel mungkin kurang mengerti, jadi saya jelaskan, jika di sudut atas tertulis ARJUMAND maka berarti yg bercerita adalah Arjumand, jika tertulis SHAH JAHAN maka yg bercerita adalah Shah Jahan, dll. novel ini menggunakan alur waktu maju mundur, seperti yg sudah di jelaskan di awal cerita. bab ganjil menceritakan kisah cinta sedang kan ganjil menceritakan pembuatan Taj Mahal, atau cerita sesudah Mumtaz meninggal - hime
   BAB 1                                               
Kisah Cinta
1017/1607 Masehi

 PART 1

--Arjumand--

Apakah guntur yang membangunkanku? Aku duduk, terkejut, mendengarkan dengan saksama. Saat ini seharusnya belum masuk musim monsun-musim pancaroba, tetapi udara begitu terasa mengancam, dan membeku, bagaikan menunggu untuk meledak murka. Aku bisa mendengar kehampaan, kecuali kaokan pertama gagak-gagak, burung-burung bulbul yang berlatih menyenandungkan nada memukau, dan tupai-tupai yang bercericit nyaring. Langit tampak memucat, dengan sisa-sisa malam yang masih menggantung di tepi cakrawala. Pohon-pohon mangga, peepul, dan banyan di luar jendela pun terlihat samar dalam kelembutan cahaya.

Mungkin mimpiku yang telah membuatku terjaga, meskipun aku tidak bisa benar-benar mengingatnya. Gelegar guntur membuat jantungku terlonjak, dan saat ini masih berdegup kencang. Apakah ini sebuah peringatan? Aku tidak merasakan ketakutan, tidak merasakan beban, seperti seorang

terpidana mati yang akan menikmati fajar terakhirnya di dunia. Tetapi, aku sendiri terkejut, sepertinya aku merasakan kelegaan, kebahagiaan. Kegembiraan memang tidak menyebar di sekelilingku, tetapi ada di dalam diriku sendiri, dalam sisa-sisa impianku yang manis.

Aku menatap hamparan luas keperakan di atas langit kemerahan, lalu memandang bayangan gelap tempat bumi dan kahyangan bertemu, yang membara dengan semburat merah terang. Di kejauhan, aku melihat suatu objek, tetapi tidak bisa memastikan apa itu. Sebongkah karang? Seorang manusia? Objek itu terang dan menyilaukan. Apa yang mungkin akan diramalkan oleh peramal bintangku dari mimpi seperti ini? Kekayaan? Kebahagiaan? Cinta? Hasrat yang dimiliki oleh semua makhluk? Tetapi, tanpa petunjuk sang cenayang, aku tahu bahwa hari-hari esok akan penuh arti, yang bisa saja penting. Aku menghadapinya dengan berani, tak sabar menunggu.

Zenana masih berada dalam kegelapan, tetapi kesibukan pagi mulai terdengar di luar dan aku bisa mendengar panggilan para pedagang jalanan, roda kereta kerbau yang berkeretak, dan seorang anak bernyanyi dengan suaranya yang bening dan merdu. Dari jauh, irama dundhubi menandakan hadirnya sang Mughal Agung Jahangir di jharoka-i-darshan. Setiap hari, satu jam sebelum matahari terbit, dia memamerkan dirinya sendiri kepada para pejabat dan rakyat jelata dari atas Lal Quila. Kehadirannya bisa meyakinkan orang-orang

bahwa dia masih hidup dan kesultanan aman tenteram. Dia harus membuktikan keberadaannya setiap hari. Aku bisa membayangkan dia duduk di singgasana peraknya, menatap ke timur, ke tepi dunia, tempat kesultanannya berujung. Sudah lazim diketahui bahwa seekor unta membutuhkan waktu enam belas hari untuk melintas dari perbatasan timur ke perbatasan barat, daerah di antara Persia dan Bengal, dan enam belas hari lagi dari Himalaya di utara ke Dataran Deccan di selatan. Pusat kemegahan ini adalah Sultan Agra, tetapi ke mana pun dia pergi ke daerah kekuasaannya, itu adalah pusatnya.

Dundhubi juga merupakan tanda bagi penghuni rumah kami untuk bangun. Suaranya terdengar akrab; karena memang selalu terdengar sama. Seumur hidup, aku telah mengikuti gerakan-gerakan dari suara-suara ini: para budak yang menyalakan api di dapur, kibasan sapu yang berirama, dan perputaran manusia penghuni rumah dari ruangan-ruangan di bawah. Dari dalam, aku mendengar bisikan para ibu, nenek, dan bibi. Hari ini, aku bisa mendengar nada tertentu dalam suara mereka, suatu keributan kecil, bagaikan mereka juga terbangun oleh gelegar guntur. Tadi aku berpikir jika aku satu-satunya yang terbangun karena itu, tetapi keributan yang melanda seluruh zenana membuatku merasa kecewa.

“Apakah kau sudah bangun, Arjumand?” ibuku memanggil.

Biasanya, harem tidak terbangun dini hari, dan para perempuan biasanya membutuhkan setengah hari untuk membersihkan diri dan berpakaian, tetapi hari ini kegiatan benar-benar membingungkan. Para pelayan dan budak berlari bolak-balik, mengambil, membawa, dan meletakkan sesuatu seperti yang diperintahkan oleh bibiku Mehrunissa, ibuku, nenekku, para istri, serta kerabat perempuan lain. Peti-peti perhiasan, gulungan sutra, kotak-kotak tempat gading, perak, dan giok yang tersimpan dalam satu tempat, karena malam ini akan berlangsung Pasar Malam Bangsawan Meena. Seperti komet, acara ini hanya akan berlangsung sekali dalam setahun, pada akhir musim semi, dan memicu kegairahan para perempuan dalam lingkungan istana.

“Apakah kau akan bersiap?” Mehrunissa bertanya kepadaku.

“Apakah aku juga harus ikut?”

“Mengapa tidak? Sekarang kau sudah cukup besar. Seseorang mungkin bisa memerhatikan dan melamarmu.”

Pada tahun 1017 ini usiaku baru dua belas tahun, sudah hampir waktunya untuk menikah. Aku adalah anak semata wayang dan hidupku begitu terkungkung dan tidak menarik.

Pendidikanku  membaca, menulis, melukis, musik, sejarah, dan Quran-sudah sangat layak dan cukup bagi seorang istri pejabat. Pernikahanku yang dijodohkan sudah pasti akan merupakan penyatuan hampa antara dua tubuh dan dua kekayaan. Tak ada yang bisa kulakukan untuk menghindari masa
depanku ini. Tentu saja aku memimpikan romansa; semua gadis pun mengalaminya.

“Atau tawarkan sesuatu yang lain,” salah satu kerabatku mengusulkan dengan keras, menyebabkan tawa berderai.

“Aku tidak punya apa-apa untuk dijual,” sahutku, mengabaikan maksudnya.

“Kau bisa menjual apa pun. buah-buahan, rempah-rempah, ukiran. Itu tidak penting. Tapi, tentu saja,” Mehrunissa menambahkan dengan malu-malu, “jika di tendamu ada barang-barang berharga, kau bisa menarik para pejabat, bahkan mungkin sang Sultan sendiri.”

“Apa yang akan Bibi jual?”

“Perhiasan emas dan sutra yang kurancang sendiri.” Bibiku mengulurkan tangannya ke salah satu petinya, mengangkat gelang-gelang dan kalung-kalung zamrud berhiaskan intan, cincin-cincin bermata batu mirah dan safir, kemudian dengan asal menumpahkannya ke luar. Dia mengerutkan wajah melihat perhiasannya.

“Apakah kau pikir ini sudah cukup bagus?”

“Memang ada yang lebih bagus?”

Dia mengangkat bahu, masih merasa ragu, kemudian menatapku dengan tatapan yang diam-diam menyiratkan spekulasi. Meskipun sangat cantik, Mehrunissa adalah seorang perempuan yang berkepribadian sangat sulit. Dia mendera atau menyiksa siapa saja yang tidak menuruti keinginannya, dan bahkan suaminya, Jenderal Sher Afkun, yang keberaniannya di medan perang tidak perlu dipertanyakan lagi, bertekuk lutut di bawah bayang-bayangnya. Bibiku selalu ingin menyilaukan dan memikat hati orang lain. Jika bisa memetik bulan dan bintang dari angkasa, dia akan memasangnya di atas tumpukan logam-logam, batu-batu berharga, dan lembaran-lembaran sutra.

“Tapi mereka tidak akan datang untuk membeli, hanya untuk memandang kita. Mereka hanya akan memandang dan memandang, tapi tidak memperlihatkan keberanian.”

“Dalam kesempatan apa lagi mereka bisa melihat kita? Para perempuan pasar biasa bisa menunjukkan wajah mereka ke dunia dan pergi ke mana pun mereka suka, tapi kita harus menghabiskan seumur hidup kita dalam kungkungan purdah.”

“Lebih baik tidak bisa dilihat, tapi bisa melihat segalanya.” kata Mehrunissa tajam. “Itu akan membuat para pria membayangkan kita dan berkhayal.”

“Dan hanya itu yang bisa mereka lakukan,” aku menimpali dengan keras kepala. “Siapa lagi yang akan datang ke pasar malam, selain Sultan?”

“Banyak pejabat agung.” Dia merendahkan suaranya, terdengar bersiasat, “Bahkan mungkin sang pangeran, Shah Jahan. Siapa tahu ada peristiwa menakjubkan yang akan terjadi malam ini?”

Dia mendesah penuh harap. Semua perempuan berubah karena merasa bersemangat, tetapi tampaknya hanya Mehrunissa yang tersihir kegairahan menyambut acara. Malam ini, dia bisa melupakan rumah tangga dan anak perempuannya yang masih kecil, sekali lagi berpura-pura menjadi seorang gadis, memimpikan romansa dan menulis puisi bagi seorang kekasih yang akan, dengan embusan keajaiban, merebut hatinya. Aku bertanya-tanya, apakah dia sudah memiliki seorang kekasih dalam impiannya.

“Apa yang Bibi harapkan akan terjadi?” aku bertanya.

“Aku hanya memperkirakan keadaan nanti,” dia menukas dengan ceria. “Di mana Ladlli?”

“Masih tidur.” Ladilli adalah putri bibiku, dan seperti aku, dia adalah anak tunggal. Dia adalah sahabatku, seorang gadis pemalu dan pendiam, yang tidak pernah memiliki keberanian.

Aku tidak memiliki banyak barang untuk dipajang di tendaku seperti Mehrunissa. Aku masih muda dan belum menikah, dan bukannya kalung rantai yang berat dan beberapa gelang emas, kebanyakan perhiasanku terbuat dari perak. Aku mengumpulkan gelang kaki, cincin hidung, gelang, kalung, dan cincin milikku, tetapi jumlahnya hanya sedikit. Mereka sama sekali tidak berharga apa-apa-hanya seribu rupee, mungkin tidak sampai.

Ketika aku menatap perhiasanku, aku bagaikan tersambar dan tergetar oleh gelegar guntur lagi. Ada sebuah impian yang selalu terbayang kembali, yang mengingatkanku bahwa hari ini akan berbeda. Dalam mimpiku, aku melihat sesuatu yang berwarna merah, tetapi tidak bisa memastikan apakah itu merah darah atau merah sutra-dalam mimpiku, mereka bagaikan berbaur silih berganti-dan aku mendengar suara seseorang, suara pria, lembut, tetapi aku tidak bisa mendengar apa yang dia katakan. Aku tidak melihat wajahnya dalam mimpiku; aku hanya tahu kami menunggu satu sama lain.

“Pikiranmu tampaknya melayang jauh, Agachi,” Isa membuyarkan lamunanku. “Kau tampak tidak bersemangat seperti begum-begum yang lain.”

Isa adalah seorang chokra - pengemis yang memainkan sulap jalanan. yang ditemukan dan dibebaskan oleh kakekku, Ghiyas Beg, tiga tahun yang lalu. Meskipun dia beberapa tahun lebih tua daripada diriku, tubuhnya masih kecil dan kurus. Isa bercerita kepada kami bahwa dia diculik dari sebuah desa di utara Golconda oleh seorang tukang sulap ketika dia masih kecil, dan mereka menjelajah bersama-sama selama bertahun-tahun. Dia telah berusaha kabur dari majikannya, tetapi tertangkap dan sedang dipukuli dengan bertubi-tubi saat kakekku menemukannya. Dia diizinkan masuk ke dalam harem karena dia mengaku telah menjadi kasim, yang dipastikan oleh kasim Mehrunissa, Muneer. Kadang-kadang, aku meragukan kisah tentang Isa ini, tetapi dia melayaniku lebih setia daripada yang bisa dilakukan para pelayan perempuan.

“Aku bermimpi, Isa, dan aku sedang mencoba untuk mengingat-ingatnya.”

“Saat kau tertidur, mimpimu akan kembali,” kata Isa.

“Mungkin. Ini, tolong bawakan.” Aku memberikan perhiasan perakku yang terbungkus kain sutra kepadanya. “Apakah yang lain sudah siap?”
 “Ya, Agachi.”

Bazaar diadakan di taman-taman di istana Sultan. Istana Sultan tersembunyi jauh di dalam benteng Lai Quilla yang berdiri bagaikan sebuah bukit kecil dari batu paras berwarna merah, di tepi Sungai Jumna. Istana ini dibangun oleh ayah Padishah, Akbar Agung. Akbar adalah orang yang begitu murah hati memberikan pekerjaan kepada kakekku saat dia pertama kali tiba di Hindustan dari Persia. Mereka berkenalan karena dipertemukan oleh seorang pemilik karavan unta, yang mengantarkan kakekku Ghiyas Beg kepada Mughal Agung; jika ini tidak terjadi, mungkin kami masih tidak beruntung dan miskin, seperti ribuan manusia yang menyesaki jalanan Agra.

Kemajuan kakekku begitu cemerlang-tetapi dengan segera mengecewakan lagi. Dia maju pesat ketika melayani Akbar, tetapi karena salah menilai sang Sultan, dia terlalu banyak menerima upeti. Ada kebiasaan di Persia dan Hindustan untuk menerima hadiah sebagai imbalan suatu perbuatan, tetapi menurut Akbar, menteri-menterinya tidak boleh melakukan praktik seperti ini, dan dia memecat kakekku. Sejak kematian Akbar dua tahun yang lalu, kakekku ingin melayani anaknya juga, Jahangir. Mungkin akhirnya hati Jahangir luluh juga, karena kami diberikan suatu hadiah besar, yaitu diundang ke Pasar Malam Bangsawan Meena. Karena itu, bisa dimengerti jika peristiwa ini menyebabkan kegairahan yang begitu besar di tempat tinggal kami.

Prosesi keluarga kami dari rumah menuju benteng yang berjarak empat kos tidak begitu besar: hanya tiga tandu. Muneer membuka jalan di antara kerumunan dengan sebuah lathi yang dia gunakan dengan penuh kekejaman dan sukacita. Aku mengajukan protes kepada Mehrunissa, tetapi tampaknya dia juga menikmati kegembiraan yang sama setiap mendengar lecutan kayu di tubuh manusia.

Aku memilih untuk berjalan, dengan Isa yang mengikuti selangkah di belakangku, menghadapi debu, panas, tetapi bisa melihat pemandangan kota besar yang menakjubkan, daripada di dalam selubung tandu yang menutup. Tidak ada kota lain yang sebesar dan seberagam ini di seluruh dunia. Di sini, aku melihat para lelaki dan perempuan dari Bengal, Persia, Yunani, Uzbekistan, Cathay, para kaum feringhi dari laut-laut barat, orang-orang Afghan, dan orang-orang dari setiap suba di Hindustan. Di sini, pasar di tepi jalan menjual kekayaan dunia: porselen, emas, perak, gading, sutra, batu mirah, intan, rempah-rempah, budak, kuda, dan gajah. Di belakang kami berbaris prosesi kecil pengemis. Isa memberi masing-masing satu dam atau satu jetal, tergantung kelusuhan mereka. Jika dia sedang berjalan sendirian, mungkin dia akan mengusir mereka dengan seruan atau umpatan. Orang-orang miskin selalu bersikap kasar terhadap sesama mereka.

Kami memasuki Lai Quila melalui darwaza Amar Singh. Darwaza Delhi dan darwaza Hathi Pol diperuntukkan untuk jalur pasukan perang Mughal, yang menempati setengah bagian benteng. Kami melewati para prajurit kesultanan yang mengenakan seragam-seragam merah terang, baju-baju zirah berkilauan, dan dipersenjatai dengan pedang dan perisai. Kami melangkah dari satu dunia ke dunia yang lain.

Benteng itu sendiri berbentuk seperti busur raksasa dengan “tali busur” yang menghadap ke sungai. Temboknya setinggi tujuh belas meter dan tebalnya tiga meter, dengan puncak yang dibentuk bergerigi mirip mata gergaji. Ada menara-menara yang dibangun teratur di sepanjang tembok, masing-masing berjarak dua kos, semua dijaga oleh para prajurit kesultanan. Kami menunggu sebentar di halaman Amar Singh dengan orang-orang lain yang tak terhitung jumlahnya, sebelum diizinkan memasuki lorong sempit menuju istana. Komandan penjaga duduk di kejauhan, di atas sebuah panggung, dan memeriksa apakah kami betul-betul diundang. Sekarang, jalan menanjak dengan curam, di antara dua tembok tinggi. Di puncak tanjakan terhampar sebuah area luas. Di depan kami ada sebuah diwan-i-am berpilar dengan atap kayu dan langit-langit dari perak tempa. Istana sendiri berdiri di ujung taman di sebelah kanan kami, di tembok utara benteng, menghadap ke sungai. Istana itu dibangun dengan indah dari batu paras merah, dinding-dinding dan pilar-pilarnya ditutupi
ukiran-ukiran detail yang tersusun rapi. Meskipun berukuran besar, tampaknya istana itu begitu indah dan rapuh.

Karena suatu alasan, sang Sultan sendiri jarang menempatinya. Dia tinggal dan tidur dalam sebuah bargah yang didirikan di taman. Ini adalah sebuah tenda raksasa yang rumit dan memiliki banyak ruangan, dihiasi dengan permadani-permadani indah dari Persia dan Kashmir, dinding-dindingnya dihiasi lukisan-lukisan dan lembaran-lembaran sutra yang ditempeli batu-batu berharga. Timur-i-leng, penakluk Mongol pertama, telah membuat peraturan bahwa tidak boleh ada keturunannya yang tidur di bawah atap bangunan, dan setiap sultan mematuhi perintahnya. Area benteng lainnya dipenuhi oleh pasar, kantor-kantor administrasi, dan bengkel-bengkel kerja yang tak terhitung jumlahnya.

Hanya ada sedikit perubahan selama tiga tahun keterasingan kami, tetapi aku merasakan sesuatu yang baru: istana, air-air mancur, hamba sahaya istana dalam busana mereka yang cemerlang, para musisi, penampil akrobat, gajah-gajah, dan kuda-kuda, bahkan udara sendiri tampaknya sedang bernyanyi. Acara itu bukan sekadar pendekatan kekuasaan. Seluruh kesultanan memiliki satu detak jantung-detak jantung Jahangir-dan kami semua berada dekat dengannya. Keramaian, kericuhan, dan hawa panas membuat orang-orang merasa pusing: tandu-tandu yang berjumlah tak terhingga membawa harem-harem pangeran dan para pejabat mendorong serta menerobos untuk menurunkan
bawaan berharga mereka di tangga istana. Harem-harem sultan menempati bagian paling luas dari bangunan ini dan merupakan tempat yang sulit untuk dimasuki, karena, selain para perempuan penghuninya, tempat ini juga menyimpan harta Mughal Agung yang tak terhingga.

Pertama, kami harus melewati selapis penjaga istana, semua bersenjata jezails, sebuah senapan panjang, atau tombak. Mereka tidak mendekati para perempuan, tetapi para pelayan pria dalam rombongan kami diperiksa dengan ketat. Lapisan berikutnya, yang menjaga koridor-koridor di dalam istana sendiri, dipenuhi oleh budak-budak perempuan dari Uzbekistan. Mereka adalah kesatria yang sama kejamnya dengan para penjaga istana, dan sama-sama dipersenjatai. Sosok mereka seperti lelaki, dengan bahu lebar yang kukuh, lengan-lengan kuat, dan sikap yang kaku. Mereka memeriksa kami, para perempuan, dan kadang-kadang terlalu akrab, meskipun ada beberapa tangan yang tampaknya terlalu kasar bertindak. Tetapi, aku tidak. Di dalam harem sendiri ada para kasim. Satu-satunya tugas mereka adalah untuk mencegah para lelaki yang bisa berpasangan dengan perempuan mana saja memasuki harem. Tetapi, mereka dikenal mudah terpengaruh, sehingga ceroboh dalam menjalankan tugas.

Aku belum pernah melihat begitu banyak perempuan yang bersukacita berkumpul bersama di satu tempat dan waktu yang sama. Aku tidak bisa menghitung jumlah mereka, tetapi Isa, yang
tampaknya tahu banyak hal, mengatakan bahwa ada lebih dari delapan ribu orang. Mungkin saja: Akbar memiliki empat ratus istri dan lima ribu selir, dan kebanyakan di antara mereka masih tinggal di istana. Kebanyakan pernikahan mereka adalah persekutuan politik, seperti juga pernikahan Jahangir. Pernikahan-pernikahan mata ini berakhir setelah periode waktu yang disepakati dan para perempuan akan kembali ke rumah mereka, bergelimang hadiah emas dari Mughal Agung. Perkawinan dengan nikah berlangsung seumur hidup dan para istri mendapatkan gaji yang memuaskan, dihadiahi jagir-jagir besar, dan kekayaan masih bertambah karena usaha-usaha mereka dalam bidang perdagangan dan jasa. Para perempuan dari berbagai negara dan bahasa berkumpul bersama: orang-orang Rajput, Kashmir, Persia, Bengal, Tartar, Mongol, Tibet, Rusia, Circasia.

Istana mirip dengan sebuah sarang lebah raksasa dengan banyak ruangan. Ukuran dan kemewahan perabot ruangan-ruangan itu beragam, tergantung derajat kemuliaan penghuninya. Udara begitu pengap dan harum dengan parfum-parfum yang tampaknya menguar dari dinding-dinding, dan aku merasa bagaikan sedang menapaki daging yang lembut dan wangi belerang. Kami bergerak maju dengan lambat, sebagian karena kerumunan manusia yang padat, dan sebagian lagi karena Mehrunissa mengenal banyak perempuan, jadi dia sering berhenti untuk menyapa setiap orang yang dia kenal dengan begitu akrab dan ramah; meskipun setelah itu dia akan melontarkan komentar pedas dalam bisikan rendah. Kebanyakan perempuan menatap kami dengan terkejut. Tetapi, jika Mehrunissa bersalah karena ketidakjujurannya, mereka juga sama saja. Di lapangan, perhatian ini diukur dengan kedekatan seseorang dengan sang Sultan. Hubunganku dengan Sultan begitu jauh, tidak penting sama sekali. Tetapi, aku bisa mengartikan setiap tatapan: mengapa kami diundang? Apakah kakekku sudah dimaafkan? Segera, aku menemukan diriku sendiri terserang sesak napas, bukan karena udara yang pengap-angin sepoi-sepoi yang sejuk menerpa dari Sungai Jumna-tetapi karena persahabatan yang palsu.

Aku berhasil menuju balkon dan menatap ke bawah, ke taman istana. Salah satu keunikan Mughal adalah karena istana ini dipenuhi nuansa oasis keindahan alami. Taman-taman tidak menampakkan suatu kesan permanen, tetapi merupakan sesuatu yang mengesankan kehidupan nomadik para leluhur mereka; air, pepohonan, dan bunga-bunga yang jarang ditemui. Bagian tengah padang rumput luas dipenuhi dengan setiap bunga yang bisa dibayangkan-mawar, melati, kemboja, kana, violet-dan dipagari oleh pepohonan besar yang teduh, serta kolam air mancur yang terus-menerus mengalir. Air memancar penuh irama, dengan tiga puluh enam pasangan kerbau yang bergantian membawa air dari sumur sepanjang siang dan malam. Pemandangan ini sendiri begitu menyejukkan dan menenangkan dalam sengatan panas musim kemarau. Para pekerja lelaki mulai mendirikan tenda-tenda untuk bazaar, tempatku nanti duduk, dan menawarkan tumpukan kecil perhiasan perakku. Jalan setapak tanah di antara benteng akan segera tertutup karpet.

“Ternyata kau di sana. Aku sudah mencarimu ke mana-mana.” Mehrunissa menarik seorang perempuan mungil dan pemalu di belakangnya, begitu lembut dan rapuh bagaikan pakaian sutra yang dia kenakan.

“Yang Mulia, ini keponakanku, Arjumand.”

Aku mengangguk kepada Jodi Bai, permaisuri Jahangir. Dia berdiri sambil menunggu dengan gugup, bahkan tampak tidak senang, bagaikan menungguku untuk berbicara. Aku tidak bisa menemukan apa yang harus kukatakan kepada perempuan pendiam yang murung ini, dan hanya mengamatinya saat Mehrunissa berceloteh riang tentang pasar malam. Jodi Bai berasal dari Rajput dan merupakan penganut Hindu, ibu sang Pangeran Shah Jahan. Aku tidak mengira bibiku begitu akrab dengan Permaisuri, dan pertunjukan perhatian yang begitu mencolok ini menunjukkan maksud terselubung Mehrunissa. Mehrunissa memperhitungkan segala sesuatu dengan cermat, seperti seorang ahli matematika.

“Oh, dia benar-benar perempuan konyol,” Mehrunissa berbisik saat Jodi Bai melesat meninggalkan kami, bagaikan seekor binatang liar mungil yang bersembunyi di balik rerumputan tinggi.

“Lalu, mengapa Bibi begitu akrab dengannya?”

“Karena aku tidak bisa kurang ajar terhadap istri Jahangir.” Dia menoleh ke belakang, ke arah kamar-kamar yang sesak. “Selain itu, aku tidak tahu bagaimana dia sebenarnya. Seorang permaisuri Tidak heran, Jahangir mabuk-mabukan hingga hampir mati.”

“Mereka bilang, Jahangir sudah minum sebelum menikahinya. Dua saudara lelakinya juga meninggal karena minum.”

“Dan dia tidak akan hidup terlalu lama lagi jika terus bersamanya.”

“Mengapa Bibi begitu peduli terhadap hal itu?”

“Bukan urusanmu.”

Mehrunissa tiba-tiba pergi, menggabungkan diri ke dalam kerumunan manusia, tawa, dan celoteh, bagaikan seekor burung yang melayang dibawa angin. Aku tahu, di balik kecantikan bibiku, suatu arus ambisi sedingin es mengalir deras. Aku tidak bisa meramalkan ambisinya, karena tersembunyi rapat di dalam pikiran rahasianya, yang tidak diketahui oleh seorang pun.


Pada saat yang sudah dijanjikan, tiga jam sebelum tengah malam, kami mendengar suara perempuan di kejauhan mengumumkan, “Zindabad Padishah, Zindabad Padishah.” Keributan mereda saat sang Sultan mendekat, dan semua perempuan bangkit untuk memberi salam kepadanya.

Jahangir melangkah santai di atas karpet beludru yang terhampar, terlibat dalam pembicaraan serius dengan kakekku, Ghiyas Beg. Sang Padishah mengenakan turban sutra merah tua, yang dari atasnya mencuat sehelai panjang bulu burung bangau yang mengangguk-angguk. Mengapit bulu itu, ada lingkaran-lingkaran emas yang bertatah susunan batu mirah dan berlian, masing-masing seukuran buah kenari. Di bagian tengah, menahan bulu di tempatnya, ada sebuah bros dengan susunan zamrud yang berkilauan. Di pinggangnya, dia mengenakan sebuah sabuk emas, yang dihiasi dengan intan-intan dan batu mirah. Pedang Humayun tersemat di pinggang sebelah kirinya, dan di sebelah kanan terdapat sebuah belati melengkung dengan gagang berhias batu mirah terbungkus dalam sarungnya. Seuntai kalung dengan tiga lapis mutiara tergantung di lehernya, dan di setiap lengan ada gelang-gelang emas yang bertatah berlian, sebuah gelang yang tebal di atas sikunya, dan masing-masing tiga buah di setiap pergelangan tangannya. Jari-jarinya juga dihiasi cincin-cincin bermata batu mulia, dan kakinya mengenakan sandal bersulam benang emas dan butir-butir mutiara. Di belakangnya dua pria berjalan, yang seorang membawa sebuah wadah panah dan sebuah busur besar, yang lain membawa sebuah buku. Di belakang sang pembawa buku, ada seorang anak lelaki Abyssinia yang membawa pena dan tinta, karena Jahangir memiliki hasrat keingintahuan tentang dunia, dan akan segera mencatat setiap pikiran dan kesannya dengan teliti.

Tenda kecilku didirikan agak jauh dari gerbang, di bawah keteduhan sebatang pohon neem. Mehrunissa berada di dekat cahaya paling terang, dekat kolam air mancur. Aku mengatur perhiasanku dan mengatur sekali lagi, tetapi tidak ada yang bisa kulakukan untuk membuat tampilan yang menarik. Pernak-pernik milikku tergeletak begitu saja di atas karpet biru kecil.

“Siapa yang akan membeli ini semua, Isa?”

“Seorang pria yang paling beruntung, Agachi. Aku bisa merasakannya.”

“Dia pasti seorang pria tolol. Dia pasti akan memiliki kesempatan lebih baik di tempat lain, di pasar malam ini, selain di sini.”

Sekarang para pejabat tidak lagi mengikuti sang Sultan, tetapi menyebar di jalan setapak di antara tenda-tenda. Aku benar-benar canggung tanpa cadarku di hadapan para pria yang benar-benar asing ini, meskipun diam-diam, inilah yang kuharapkan. Waktu semalam bagaikan tidak cukup bagiku; jiwaku melayang tinggi bagaikan seekor burung yang menderita karena jerat yang mengikat kakinya.

Lamunanku buyar karena kedatangan kakekku.

“Kau benar-benar tersembunyi, Arjumand.”

“Ini tenda yang diberikan untukku. Aku satu-satunya yang masih gadis.”

Kakekku tertawa. “Tapi, kau gadis yang cantik”

Aku tersenyum. Kakek selalu mengatakan hal itu. Dia adalah seorang lelaki baik yang tenang, tinggi dan kurus, dengan mata yang berwarna mirip langit malam, seperti mataku.

“Apakah Kakek akan membeli sesuatu? Kumohon. Soalnya, tidak ada orang lain yang akan membeli barangku.”

“Tidak, barangmu seharusnya merupakan keberuntungan bagi lelaki lain. Sebentar lagi akan ada yang membelinya.” Lalu, kakekku berbisik: “Tapi, jika mereka semua bertindak bodoh, aku akan kembali dan membeli semuanya. Ingatlah, beri aku harga yang cocok untukku.”

“Aku melihat Kakek dengan Sultan.”

“Ya. Dia cukup baik untuk menerima kehadiranku yang bersahaja ini.”

“Apa yang kalian bicarakan? Apakah dia akan memberi Kakek tugas?”

“Aku akan menceritakannya nanti.” Kakek mencubit pipiku dengan penuh rahasia.

Lalu, Kakek pergi, dan beberapa lelaki lain berjalan lambat ke arahku, kebanyakan menatapku, saling berbisik dan tergelak, tetapi tidak berani untuk mendekat. Para perempuan lain, seperti para wanita di pasar betulan, merayu dan memanggil-manggil mereka, tetapi aku tidak bisa bersikap seberani itu. Malahan, aku hanya memerhatikan tamasha: Aku melihat Jahangir berhenti di tenda Mehrunissa, membeli sesuatu, berbisik kepada bibiku itu, lalu berjalan lagi. Mehrunissa tampak gembira dan puas, tetapi, dengan segera dia mengalihkan perhatiannya kepada seorang pejabat lain.

Saat itulah aku merasakan ada tatapan seseorang mengarah kepadaku. Tatapan itu begitu kuat, menginginkan aku untuk menoleh ke arahnya. Aku nyaris bisa merasakan kelembutannya. Tubuhku begitu lemas, dan saat aku menoleh, melalui tenda-tenda yang menghalangi, di ujung jalan setapak, aku melihat sang pangeran, Shah Jahan.

Melalui celah terbuka tenda di antara kami, tempat cahaya lilin berkilauan dan menciptakan bayangan-bayangan gelap yang memagari, mataku terpaku oleh tatapannya. Berwarna hitam kelam, penuh kerinduan, kesepian, berbinar karena cahayanya sendiri, mata sang pangeran bukan hanya memancarkan sorot menyala seorang pangeran, sang pemberi perintah, seorang Mughal, tetapi binar mata seorang anak lelaki yang ketakutan. Aku tahu, akulah yang menyebabkan ketakutannya itu, tetapi aku tidak bisa membuang muka darinya. Dia bagaikan guntur yang menyambarku dalam kegelapan. Dialah warna merah dalam mimpiku, bukan merah darah, tetapi warna merah turban pangeran, sang putra mahkota. Dalam mimpiku, aku mengulurkan tangan untuk menyentuhnya, dan dia menggenggamnya seakan tahu bahwa akulah satu-satunya teman dalam kesepian dan keagungannya sebagai pangeran. Dia menghilang dari tatapanku; kali ini giliranku yang merasa takut, khawatir kehilangan harapan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Aku menoleh ke arahnya dan memeriksa jalan setapak sempit yang dipadati para perempuan yang sedang sibuk dan tertawa, serta para lelaki terhormat. Aku berharap mereka menghilang dari bumi ini; dan dalam hati aku juga mengutuk mereka. Kemudian, aku melihatnya berusaha menerobos kerumunan dengan kasar. Sepertinya dia bagaikan berlari, kemudian harapan itu, ketenangan yang damai, merengkuhku dalam-dalam, membuatku tenggelam dalam sebuah impian lembut yang penuh kehangatan.
Bagikan :
+
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk "TAJ - Tragedi di Balik Tanda Cinta Abadi - Bab 1 Part 1"

Terimakasih atas kunjungan anda. Mohon tidak copy paste artikel yg ada di blog ini, terimakasih

 
Copyright © 2015 HimE aiMe - All Rights Reserved
Template By Kunci Dunia
Back To Top