TAJ - Tragedi di Balik Tanda Cinta Abadi - BAB 3


note : novel ini menggunakan banyak pov (point of view) atau sudut pandang. yg jarang-jarang baca novel mungkin kurang mengerti, jadi saya jelaskan, jika di sudut atas tertulis ARJUMAND maka berarti yg bercerita adalah Arjumand, jika tertulis SHAH JAHAN maka yg bercerita adalah Shah Jahan, dll. novel ini menggunakan alur waktu maju mundur, seperti yg sudah di jelaskan di awal cerita. bab ganjil menceritakan kisah cinta sedang kan ganjil menceritakan pembuatan Taj Mahal, atau cerita sesudah Mumtaz meninggal - hime
BAB 3
 (Kisah Cinta -1017/1607 Masehi)

Isa

“Kau tampak lelah, Agachi.”

“Aku tidak tidur nyenyak,” jawab Arjumand.

Dia duduk di kerindangan sebatang pohon rain, dan meskipun wajahnya tertutup bayangan, berbintik-bintik oleh cahaya matahari, aku bisa melihat bagian bawah matanya yang menghitam. Kehitaman itu membentuk lengkungan gelap dan warna kelabu matanya merupakan warna awan mendung. Beberapa minggu sudah lewat sejak pasar malam yang penuh keajaiban itu, dan dia hanya mendengar bisikan-bisikan kabar angin tentang cinta Shah Jahan kepadanya. Kabar angin berembus di sekitar rumah tentang Shah Jahan yang mabuk kepayang dan berjalan mondar-mandir di koridor-koridor istana bagaikan hantu yang ingin mencari kedamaian abadi. Tetapi, Arjumand sendiri belum mendengar kabar apa-apa dari Shah Jahan. Dia menunggu dan terus menunggu, semakin layu di hadapanku. Sebuah buku puisi tergeletak terbuka di pangkuannya, tetapi dia tidak pernah membalik halamannya.

“Saat aku tertidur, aku bermimpi aku sedang terjaga, dan saat aku terjaga, aku hanya bisa memimpikan dirinya. Aku memimpikan sentuhannya lagi, bagaimana dia menatapku, dan apa yang dia katakan, serta suaranya. Itu memang nyata.”

“Ya, Agachi. Aku menyaksikannya.”

Aku siaga di dekatnya. Aku sudah menyelesaikan tugasku mengantar dan mengambil barang, terburu-buru dan berderap di seluruh penjuru rumah. Saat keluarga ini tinggal di benteng, rumahnya lebih kecil, tetapi saat Ghiyas Beg bekerja untuk Akbar, mereka pindah ke rumah ini. Rumah ini memiliki banyak, terlalu banyak ruangan, dan dihiasi dengan taman yang sangat luas. Taman ini adalah duplikat salah satu taman di istana-setiap pejabat pasti meniru Mughal Agung-tetapi kolam air mancur kami tidak berair, hanya ada dedaunan, debu, dan bunga-bunga mati. Kolam air mancur ini dibuat oleh seorang pejabat, tetapi entah bagaimana, Jahangir merasa kecewa. Sang pejabat kehilangan kekayaan dan tanahnya dalam semalam. Hampir semua tanah di negeri ini dimiliki langsung oleh sultan. Akbar telah menetapkan sebuah sistem yang mengatur sebagian pendapatan diterima secara langsung, dari petani ke pengurus harta kesultanan. Sisanya diberikan melalui jagir-jagir-daerah kecil yang dipimpin oleh seorang pejabat militer-kecil atau besar, sebagai imbalan pelayanan, dan pemasukan yang didapat oleh pemilik harta dikenai pajak yang proporsional. Dengan jentikan jari, seorang sultan bisa membuat seorang miskin menjadi pangeran dan seorang pangeran menjadi miskin.

“Apakah dia akan menemuiku lagi, Isa?”

Aku bisa mengenali maksud terselubung dalam pertanyaannya. Mana bisa dia menemui sang Pangeran lebih sering dari balik kisi-kisi yang melingkupi harem?

“Tentu saja.” Itu adalah satu-satunya jawaban menghibur yang bisa kuberikan. Aku tidak menambahkan, jika itu adalah karmamu. Aku lebih memilih menggunakan kata itu daripada sebuah kata Muslim, kismet. Keberuntungan. Karma mengandung pola-pola alam semesta yang detail dan utuh, pergerakan suatu kekuasaan di luar persepsi kita. “Apakah kau ingin aku melakukan sedikit sihir untuk menghiburmu, Agachi?”

“Itu adalah muslihat biasa, bukan sihir.”

“Orang-orang desa percaya jika itu sihir. Semua tergantung kepada kepercayaan, Agachi. Bagaimana Tuhan bisa bertahan jika kita tidak memercayaiNya?”

Arjumand menatapku dengan serius, tetapi kemudian tersenyum. Senyuman itu bagaikan sehelai kelopak bunga yang melayang jatuh dan menimpa permukaan air yang tenang, menyebabkan gelombang air yang lembut, hampir tidak kentara, tetapi masih terus terlihat lama setelah kelopak bunga itu menghilang.

“Ya, perlihatkan aku sedikit sihir. Bawakan kemari . Shah Jahan. Tepat di sini. Di tamanku ini, tepat di kakiku. Ayolah, Isa. Itu adalah permintaan sederhana yang kuajukan kepada seorang penyihir besar.”

“Ah, Agachi, kau memang benar. Aku hanya menampilkan muslihat-muslihat murahan. Jika sang badmash yang menculikku, dari keluargaku, cukup ahli, aku pasti bisa memunculkan Shah Jahan dari udara kosong.” Ya, penculikku memang seorang badmash-bajingan tolol.

Arjumand menatapku dengan sedih. “Kau tak bisa mengingat apa-apa tentang keluargamu?”

Sebelum aku bisa menjawab, kami mendengar jeritan mengerikan dari rumah. Itu adalah suara perempuan, tinggi dan melengking, dan bahkan, saat jeritan itu sudah berhenti, sepertinya suara lengkingan itu masih berputar di udara, bagaikan seekor elang yang tidak mampu hinggap di tanah. Kami berlari secepat yang kami bisa, berdesak-desakan dengan para pelayan dan anggota keluarga.

Kami mengira akan melihat darah dan kematian, tetapi kami hanya menemukan Mehrunissa berjalan mondar-mandir dengan penuh kemurkaan, lalu selama sesaat dia terdiam. Suaminya, yang gagal untuk meredakan amarahnya, duduk di atas dipan. Kami tidak tahu apa yang telah terjadi, jadi kami semua menunggu, memerhatikan, dan mengawasi. Ladilli sudah bergabung dengan ayahnya, mencari perlindungan dari badai yang sedang menerpa. “Apakah ini balas  budi yang kudapatkan?” tiba-tiba

Mehrunissa berteriak, entah kepada siapa, karena tidak ada yang menjawab.

“Ini adalah posisi yang penting,” protes Sher Afkun. Tampak jelas bahwa dia sedang berusaha terus-menerus meyakinkan istrinya, tetapi Mehrunissa mengabaikannya.

“Tapi, di mana tempat itu? Ayolah. Katakan pada mereka, di mana lokasi posisi penting itu.” Lengannya melambai ke arah kami. “Tunjukkan kepada mereka, seberapa murah hati Sultan kepada kita. Dan setelah semua yang kulakukan.” Sher Afkun terdiam dan Mehrunissa membentak: “Bengal. Di mana Bengal? Jaraknya seribu kos dari sini”

“Tapi aku akan menjadi Diwan. Itu adalah posisi yang sangat penting. Bengal adalah tanah yang kaya. Dengan cara apa lagi sang Sultan bisa menunjukkan bahwa dia memaafkan kita?”

Mehrunissa ternyata tidak melunak. “Dengan memberimu sebuah jabatan di sini sebagai Mir Saman . atau sesuatu yang lain.” Mehrunissa membuang muka dari suaminya, dan dengan yakin bahwa dirinya tidak diperhatikan oleh orang lain (aku berdiri sambil bersembunyi dalam bayang-bayang), wajahnya berubah. Sekarang, dia bisa sendirian lagi, menatap cermin pada malam hari, ketika semua orang tidur. Pada saat-saat seperti itu, kita bisa membuka siasat-siasat dalam hidup kita, melepaskan pikiran-pikiran dan impian rahasia kita bagaikan iblis yang mewujud. Yang kulihat saat ini membuatku takut, dan hanya sebagian membuatku yakin akan bisik-bisik yang telah kudengar. Jahangir sendiri menginginkan Mehrunissa. Dia juga telah tenggelam dalam hasrat cinta sejak pasar malam itu. Sudah tentu, pasar malam itu merupakan suatu peristiwa bersejarah bagi keluarga ini. Sosok Jahangir sudah menjelma di mata dan hadapan Mehrunissa. Diwan, Mir Saman-jabatan-jabatan ini hanya suatu siasat sang Sultan untuk mengasingkan Sher Afkun. Mehrunissa telah memalingkan wajahnya untuk melihat dari arah mana arus kekuasaan berpusat, dan sudah menemukannya, bagaikan seorang awam yang tiba-tiba bisa mengetahui rahasia si penyihir, dan dia tahu bagaimana caranya untuk memanfaatkan hal ini sesuai keinginannya. Saat inilah waktunya untuk menampilkan kemarahan tanpa ditutup-tutupi, tetapi sebelum dia berbalik, bibirnya sudah menyunggingkan senyum yang memperlihatkan lesung pipinya.

Dia berjalan ke arah dipan, mengecup dahi Sher Afkun dan mencubit pipi Ladilli, suatu tindakan menyakitkan yang meninggalkan bekas merah di wajah anak perempuannya. “Maafkan aku; aku sudah marah. Aku hanya khawatir dengan usahaku di sini.” Dia mendesah dengan dramatis, seolah kemarahannya tadi hanyalah hal sepele. Sudah diketahui secara luas jika dia memiliki sebuah usaha yang sukses, merancang dan membuat pakaian bagi para perempuan di harem. Dia bahkan bisa menggambar pola untuk kain-kain . bunga-bunga, buah-buahan, bentuk-bentuk geometris, yang disulam dengan benang emas dan perak.

“Yang sudah terjadi, terjadilah. Aku sangat bangga kepadamu. Tentu saja, kita akan pergi.”

Sehari sebelum keberangkatan mereka ke Bengal, rumah ini mendapat kehormatan karena kunjungan Jahangir.

Bukan hal yang sederhana dan murah untuk menghibur sang Mughal Agung. Selain persiapan makanan dan hiburan, ada suatu kebiasaan untuk memberi sultan dengan hadiah yang berlimpah. Hadiah yang layak bagi Mughal Agung adalah emas dan berlian, kuda dan budak. Semua bisa ditawarkan; semua bisa diterima. Orang-orang yang raja pilih untuk dikunjungi pasti mengeluarkan banyak simpanan, dan aku mengira bahwa dia sering melakukan ini hanya untuk mengancam atau bahkan untuk hiburan semata. Dia juga bisa menolak hadiah-hadiah, mungkin hanya menerima sebuah perhiasan sederhana sebagai tanda kesopanan, atau bisa juga menerima segalanya, tergantung apakah dia merasa puas atau tidak. Apabila hati Sultan tak terpuaskan, biasanya para pejabat akan mengalami penurunan status menjadi orang miskin.

Pada malam kunjungan Jahangir, aku menjaga hadiah-hadiah yang dipamerkan di atas sehelai karpet Persia yang mahal. Para perempuan telah menghiasi diri mereka sendiri dengan segala perhiasan-gelang, kalung, anting, anting-anting hidung, gelang kaki-dan sekarang mereka berbaring di atas karpet dengan saling berimpit, bagaikan emas, berlian, batu mirah, dan mutiara yang bergelombang. Para perempuan harem tampak ganjil, bagaikan berkilauan karena kepolosan mereka, seperti merak yang digunduli.

Ada juga piring-piring serta cawan-cawan emas dan perak, gelas-gelas kristal, dan sebuah vas yang dibawa jauh dari Cathay, yang paling berharga karena kelangkaannya dibandingkan barang-barang lain.

Ghiyas Beg adalah seorang lelaki yang mengerti Jahangir. Hadiahnya sederhana, tetapi penuh makna. Dia telah membeli vas itu dari seorang pelaut feringhi, seorang pria bertubuh besar yang sedang mabuk, yang sering datang ke pasar. Benda itu berupa tabung tembaga panjang dengan pelat-pelat kaca kecil yang ditempel di ujung lainnya. Aku tidak mengerti kegunaannya, hingga Arjumand menyelinap ke dalam ruangan itu-seperti seorang gadis kecil yang berjingkat-jingkat di antara banyak orang dewasa. Dia mengambil dan memeriksanya, pertama-tama mengintip dari salah satu ujungnya, kemudian dari ujung yang lain, mengarahkannya kepadaku bagaikan sebuah senapan jezail. Dia mulai tertawa.

“Apa itu, Agachi?”

“Ini membuat benda-benda tampak besar dan kecil. Dari ujung yang satu, kau tampak kecil, tapi dari ujung lain, aku sulit melihatmu karena kau begitu besar. Ini.”

Dia memberikannya kepadaku, dan pergi ke ujung ruangan. Dia berpose seperti seorang gadis nautch-penari, tangan di pinggulnya, kemudian berputar di atas jari kakinya. Aku tidak bisa menurunkan kaca itu hingga dia mendekat dan menatap dari ujung yang lain.

“Kau bodoh, Isa. Coba lihat dari ujung yang lain juga.”

“Satu sisi saja sudah cukup, Agachi.” Dengan penuh kekaguman, aku mengembalikan alat itu ke atas karpet. “Bahkan majikanku Lekraj juga tidak akan mampu melakukan sihir seperti ini. Tapi, dia memang pesulap yang bodoh.”

“Apakah kau ingin menghukumnya suatu hari, karena semua yang telah dia lakukan kepadamu?”

“Tidak. Dia sudah cukup menderita.”

“Kau anak baik, Isa.” Selama sesaat, wajahnya tampak berbayang gelap. “Ada ruangan kecil untuk itu di sini.” Aku mengharapkan dia meneruskan dan menerangkan maksudnya. Kata-katanya aneh, karena hidupnya selalu penuh kebaikan, dan dia adalah anggota keluarga kesayanganku, bahkan jauh melebihi Ladilli.

“Bibiku mengirimku kemari untuk menjemputmu.”

“Aku tidak bisa meninggalkan penjagaanku.”

“Kalau begitu, pinjami aku belatimu. Aku akan menggantikanmu berjaga.”

Itu merupakan sebuah perintah, dan dia mengulurkan tangannya. Dengan ragu-ragu, aku memberinya senjataku, meskipun merasa khawatir jika sesuatu terjadi padanya saat aku pergi.

“Apakah kau mau menceritakan apa yang dia

katakan kepadamu?” “Tentu saja, Agachi.”

Jawabanku membuatnya tersenyum, bagaikan aku memberinya pujian. Saat aku menoleh ke belakang, dia masih tersenyum, dan menyelipkan belatiku ke balik kain di pinggangnya.

Mehrunissa duduk di depan cerminnya, mengoleskan kajal di sekeliling matanya, sementara sang budak menyikat rambutnya. Dia menyuruh mereka keluar saat aku masuk, dan melangkah menuju kotaknya yang terkunci, membukanya, lalu mengeluarkan sebuah kotak gading kecil dari balik lipatan baju.

“Isa, kau harus menjaga barang ini dengan nyawamu.”

“Baik, Begum.” Aku mengulurkan tangan untuk mengambilnya, mencoba memberanikan diri. Benda ini sudah pasti sangat berharga.

“Kau tidak boleh memberi tahu siapa pun jika aku memberikan ini kepadamu,” dia mengulurkannya dan menatap galak ke arahku. “Aku akan membuatmu kehilangan nyawa jika terjadi sesuatu pada benda ini. Kau mengerti, Badmash?”

“Ya, Begum.” Ketakutan membuatku berkeringat, dan suaraku bergetar. “Saya mengerti. Apa yang harus saya lakukan dengan benda ini?”

“Aku belum selesai, Bodoh. Kau akan mengantarkannya, secara pribadi, kepada Sultan.”

“Yang Mulia, bagaimana saya bisa mendekati Padishah?”

“Karena aku tidak bisa, Bodoh.” Dengan hati-hati, Mehrunissa memilih sehelai kain sutra mewah dan membungkus kotak dengan kain itu. “Kotak ini disegel. Jika aku mendengar segelnya rusak, aku akan mengatur supaya gajah meremukkanmu hingga mati.”

Aku tidak bisa untuk tidak memercayainya. Hal itu adalah tindakan eksekusi yang biasa terjadi, suatu hiburan bagi Sultan dan orang-orang, dan aku ini seorang budak, yang tidak bisa lolos dari hukuman seperti itu. Selain ketakutan, aku merasa sebal: mengapa aku yang dipilih? Mengapa bukan ayahnya, suaminya, atau saudara lelakinya yang menyerahkan hadiah berharga ini kepada Mughal Agung? Tetapi, dalam pikiran kalutku ini, aku tahu bahwa mereka tidak boleh mengetahui hadiah ini. Dan itu membuat tugasku lebih berbahaya, karena aku harus melakukannya dengan cepat dan rahasia.

Mehrunissa bisa membaca pikiranku. “Kau akan memberikan kepada Mughal Agung secara terbuka, sebagai hadiah darimu.”

“Dia tidak akan menerima hadiah dari seorang hina seperti saya.”

“Dia akan menerimanya,” kata Mehrunissa dengan yakin, lalu kembali menatap cermin. Aku masih berdiri, memegang kotak gading itu, ukirannya menekan telapak tanganku. “Aku akan mengawasimu, Isa. Ingatlah itu.”

Aku melihat bayangan Mehrunissa, sekeras kaca yang ada di hadapannya, berbayang-bayang dalam cahaya lilin. Sosoknya begitu berkesan dalam pikiran dan hatiku, dan hingga aku menyerahkan hadiah itu kepada Jahangir, aku terus dihantui dan diikuti oleh mata besar tersebut.

Sebelum meninggalkan kamarnya, aku menyembunyikan hadiah itu di balik tumpukan bajuku dalam-dalam dan kembali ke tempat penjagaanku. Arjumand melihat keringat yang membutir di wajahku.

“Kau tampak sakit. Apakah kau tidak enak badan, Isa?”

“Tidak apa-apa, Agachi.” Aku mengambil kembali belatiku, yang hangat karena genggaman tangannya, dan menghindari tatapannya.

Dia menyentuhkan punggung tangannya ke dahiku untuk mengetahui apakah aku demam atau tidak. Aku tersentuh akan kepeduliannya, tetapi tetap saja, aku masih tidak bisa membalas tatapannya. Berlawanan dengan tatapan Mehrunissa yang penuh ancaman, tatapan Arjumand begitu lembut.

“Aku tidak akan bertanya padamu apa yang diperintahkan oleh bibiku. Itu membuatmu tidak senang.”

“Ya, Agachi. Dia mengawasi kita.” Aku tidak berani melihatnya, tetapi Arjumand menatapku, dan dia menggelengkan kepala. Keberanianku timbul, dan aku merogoh ke dalam, mencoba mengambil kotak gading. Arjumand menghentikan tanganku.

“Jangan. Aku tidak bisa menjaga rahasia, dan jika kau menunjukkannya kepadaku, aku akan memberi tahu orang lain. Jika kau mendapat masalah dengan Mehrunissa, itu tidak akan menyenangkan.”

“Memang betul. Terima kasih, Agachi.” Kepercayaan Arjumand malah semakin menambah penderitaanku. Bagaimana seorang pelayan bisa mengabdi kepada banyak tuan atau nyonya majikannya, dan tetap jujur kepada salah seorang dari mereka? Itu adalah harapanku, tetapi tidak mungkin.

Sebelumnya, sehari setelah Pasar Malam Bangsawan Meena, aku dipanggil oleh Mehrunissa. Dia duduk bersila di sebuah meja gading kecil, kepalanya menunduk, rambutnya bagaikan dua aliran deras hujan yang berwarna gelap di samping wajahnya, mempelajari Ain-i-Akbari. Teks panjang tentang pemerintahan itu ditulis oleh Menteri Akbar, Abui Fazl. Hal-hal tentang kesultanan begitu mengesankan Mehrunissa. Tidak diragukan lagi, dia sedang mempersiapkan diri untuk suatu posisi penting. Akhirnya, dia mendongak.

“Ceritakan semua kepadaku.”

“Semuanya, Begum?”

“Tentang semalam, Bodoh. Setiap kata yang terucap di antara mereka.”

“Aku tidak mendengar. Aku ..” “Kau memiliki telinga gajah, dan aku akan mencabutnya dari kepala tololmu jika kau tidak segera menceritakan yang sebenarnya.”

Sulit sekali untuk bersikap berani di hadapaN Mehrunissa. Tidak mungkin. Aku berbicara. Dia mendengarkan dengan teliti, kemudian menyuruhku pergi. Aku meratapi pengkhianatanku terhadap Arjumand, tetapi tidak memiliki keberanian untuk menceritakan hal itu kepadanya.

Kami mendengar kedatangan Padishah: dentuman dundhubi, tiupan terompet, dan para prajurit yang mengamankan jalan. Ahadi, pengawal pribadi kerajaan, berderap di depan Jahangir. Jahangir berbaring santai di atas tandu perak, sementara para budak terburu-buru menebarkan kelopak mawar dan membuka gulungan permadani Kashmir. Para lelaki di rumah terburu-buru keluar, dan saat Jahangir berdiri dari tandunya, mereka mempertunjukkan kornish, meletakkan kepala di telapak tangan mereka, mempersilakan Sultan menikmati rumah mereka. Jahangir tampak ceria, bahkan bersemangat, dan merangkul Ghiyas Beg dengan penuh keakraban. Dia juga melakukan hal yang sama, bahkan dengan lebih hangat, kepada suami Mehrunissa. Kepada ayah Arjumand, dia tersenyum dan menyambut uluran tangannya, lalu berjalan dengan goyah ke dalam rumah. Wajahnya tampak lebih gemuk, dan saat dia berbicara, kedengarannya ada bisikan suara lain dari dalam mulutnya. Ini membuat napasnya cepat habis dan dia terbatuk-batuk.

Selangkah di belakang, pengiringnya berjalan-seorang pembawa pedang dan seorang pembawa buku. Tidak diragukan lagi, di dalam Jahangir-nama pasti banyak lukisan Mehrunissa yang jelita, tetapi tidak ada satu pun dapat menandingi hadiah yang akan kupersembahkan kepada Sultan atas perintah Mehrunissa, pada malam kedatangannya.

Seperti biasa, Jahangir memeriksa semua hadiah yang dipersembahkan kepadanya, tetapi hanya memilih satu benda yang menunjukkan kebaikannya terhadap keluarga kami. Benda yang dipilihnya adalah alat yang diberikan oleh Ghiyas Beg, dan saat dia meletakkan alat itu di depan matanya, dia menemukan jika dia mampu melihat bulan bagaikan hanya berjarak beberapa langkah. Dia tertawa puas.

“Apa nama benda ini?”

“Saya tidak tahu, Padishah,” jawab Ghiyas Beg. “Saya menemukannya di pasar, dan hanya berharap benda ini bisa menarik perhatian Yang Mulia.”

“Benda ini menakjubkan. Sekarang aku bisa meneliti berbagai hal-bintang-bintang, binatang, burung-bahkan aku bisa melihat wajah rakyatku dan membaca pikiran mereka.”

Kemudian mereka masuk ke ruang dalam, tempat minuman anggur disajikan bagi sang Sultan. Dalam hal ini, dia merasa seleranya terpuaskan setelah menghabiskan dua puluh botol anggur dalam sehari, meskipun dia tidak merasakan efek yang menyenangkan tanpa beberapa pil opium yang ditambahkan ke dalam setiap gelas. Kakek buyutnya Babur telah mencatat bagaimana rasanya: “selama berada dalam pengaruhnya, aku bisa menikmati banyak taman bunga yang memesona”. Aku menyuguhkan minuman anggur dan meletakkan hadiah Mehrunissa di atas baki. “Apa ini?”

Aku membungkuk dalam-dalam. “Padishah, ini hadiah sederhana dari hamba.”

Jahangir mengambil kotak gading itu dan membuka segelnya. Ternyata isinya adalah lukisan Mehrunissa. Dalam lukisan itu, dia sedang berbaring di dipan, menampilkan seluruh kecantikannya bagi mata sang Sultan, dan sang Sultan tidak mengangkat kepalanya dari kenikmatan memandang bentuk yang terlukis di situ. Kulit Mehrunissa seputih susu, rambutnya hitam, panjang, dan terurai dengan misterius di atas dadanya, menuju pinggangnya, dan wajahnya berbentuk jantung hati.

“Siapa yang memberimu ini?” dia bertanya kepadaku.

“Tidak . tidak ada, Padishah. Ini adalah sebuah hadiah ..”

Aku begitu ketakutan untuk berbicara lebih banyak. Jahangir membawanya ke tempat terang dan menelitinya dari dekat, dan tampaknya, hal itu secara jelas membuatnya lebih puas. Dia mendesah dengan keras; aku tahu sang Sultan tidak mampu menolak Mehrunissa. Dengan keberaniannya, Mehrunissa telah memikat hati Sultan. Ghiyas Beg ingin memeriksa hadiah itu, tetapi Jahangir menutup kotak itu dan menahannya.

“Ini bukan apa-apa, Temanku. Hanya sebuah teka-teki. Aku harus memberikan penghargaan bagi pelayanmu untuk kecerdasannya.” Dia melemparkan sebuah cincin bermata zamrud kepadaku, dan dengan tangkas aku menangkapnya. “Izinkan para perempuan menemani kita, Ghiyas. Mendengar nyanyian mereka pasti akan menambah kegembiraan kita.”

Ghiyas Beg tidak dapat menolak perintahnya, dan memanggil para perempuan dari tempat tinggal mereka, di balik jali, tempat mereka melihat dan mendengar semuanya. Jahangir mengizinkan mereka membuka cadar. Dia berhak untuk melihat wajah mereka. Kadang-kadang, dia mengizinkan rekannya yang istimewa untuk melihat wajah-wajah perempuan miliknya. Tetapi, dia kecewa karena Mehrunissa tidak ada di antara mereka. Mehrunissa masih ada di zenana, menunggu-dia tahu apa yang akan terjadi-perintahnya yang khusus.

“Apakah semua ada di sini?”

“Semua, kecuali putriku Mehrunissa, Padishah. Sher Afkun, kau harus menjemputnya.”

Sher Afkun segera pergi untuk menjemput Mehrunissa. Aku bisa melihat ketidaksukaan Sher Afkun, tetapi Jahangir tidak sabar. Akhirnya, tirai terbuka dan Sher Afkun kembali dengan Mehrunissa. Mehrunissa mempertunjukkan kornish, dan tetap menunduk hingga sang Sultan mengizinkannya menegakkan tubuh. Karena mengenal Mehrunissa dengan baik, aku merasa bahwa dia tertawa di balik beatilha-nya.

“Kau boleh membukanya,” perintah Jahangir.

Mehrunissa tidak segera melakukannya. Kemudian, perlahan-lahan, dia membuka cadarnya,

dan sang Sultan bertepuk tangan dengan penuh kegembiraan. Pada malam yang sama, Jahangir mengangkat Ghiyas Beg ke posisi Itiam-ud-daulah, Pilar Pemerintahan.

Betapa cepatnya keberuntungan keluarga ini berubah.
Bagikan :
+
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk "TAJ - Tragedi di Balik Tanda Cinta Abadi - BAB 3"

Terimakasih atas kunjungan anda. Mohon tidak copy paste artikel yg ada di blog ini, terimakasih

 
Copyright © 2015 HimE aiMe - All Rights Reserved
Template By Kunci Dunia
Back To Top