TAJ - Tragedi di Balik Tanda Cinta Abadi - BAB 4





BAB 4

                                                                         Taj Mahal
                                                                  (1042/1632 Masehi)

“Aku membuat patung-patung dewa,” kata Murthi. “Dewa-dewa itu tidak ada,” sang petugas menukas. Dia mengumpulkan kertas-kertasnya dan menatap Murthi. Dia segera melihat wajah kurus berkulit gelap, tampak masih muda, tetapi sudah kusam karena janggut kelabu, atau tangannya yang kuat, lecet, kapalan, dan tergores karena terbiasa memegang peralatan.

Di belakang Murthi, para lelaki dan perempuan menunggu dengan sabar. Ada beribu-ribu manusia; bagaikan sebuah aliran sungai yang mendengung, mengisi parit-parit, menenggelamkan semak-semak, dan membanjiri pepohonan. Mereka berjongkok atau berbaring dengan sabar di bawah keteduhan bayangan. Anak-anak menatap dengan malu-malu ke sekeliling mereka, banyak sekali orang berkerumun; para pedagang keliling memenuhi udara dengan teriakan mereka dan aroma makanan dagangan mereka: samosa, bhaji, gula-gula, roti, chai, jeruk. Udara tampak berdebu kekuningan, kering dan membara, dan terasa pengap-harus diisap dengan hati-hati melalui mulut.

“Aku seorang Acharya,” Murthi bersikeras. Kata-katanya tidak berarti apa-apa bagi si petugas, dan keheningan melanda kedua pria tersebut, mengasingkan mereka dari kericuhan di sekitar. Lalat-lalat mendengung; akhirnya, itulah satu-satunya yang Murthi ketahui. Dia tidak bisa bergerak. Dia sudah lelah dan lesu; tetapi perjalanan ini belum berakhir.

Tempat tinggal mereka adalah maidan di tepi sungai, tidak seberapa jauh dari benteng. Tempat tidur mereka sesak karena banyaknya penghuni, memasak dan makan di udara terbuka, dan saat fajar, ketika orang lain melihat sang Sultan, Murthi mandi di Sungai Jumna dan berdoa. Setiap hari, lebih banyak pekerja yang datang, dan perlahan-lahan, tanpa terencana dan dengan sendirinya, sebuah kota kecil mulai tumbuh. Para pedagang keliling lalu tinggal di situ, membangun lapak-lapak kecil, mengetahui banyak orang yang menghuni. Gubuk-gubuk juga muncul di antara debu, rendah, reyot, terbuat dari jerami usang, tetapi menawarkan perlindungan dari matahari dan dinginnya malam. Gubuk Murthi sendiri hanya memiliki satu ruangan kecil, dengan sebuah ceruk di sudut untuk memasak; perabotan Sita hanya berupa tiga panci keramik dan sebuah sendok kayu. Sudut lain dibiarkan menjadi tempat ritual: sebuah lampu minyak menyala saat fajar dan senja di depan sebuah patung Lakshmi. Milik mereka yang paling berharga, perkakas milik Murthi-pahat-pahat, sebuah palu, dan sebuah puputan-tersembunyi di sebuah lubang di balik patung tersebut.

Agra telah membuat Murthi bingung sekaligus bersemangat, dan selama berhari-hari, dia berkeliling bersama Sita dan Gopi, dengan malu-malu mengamati pergerakan manusia yang memusingkan dan tanpa henti. Mereka mendengar beragam bahasa yang tidak mereka mengerti, melihat orang-orang dari daerah yang belum pernah mereka ketahui, dan mengamati, selama berjam-jam, karavan unta raksasa yang tiba dan menurunkan barang-barang bawaan dari Persia, Bengal, Samarkand, Kashmir, dan Rajputana. Orang-orang terhormat dan para pangeran melewati mereka, tinggi di atas howdah, dengan para prajurit yang berkeliaran, para perempuan yang ditandu, dan para pelayan di belakang mereka.

Dengan waspada, mereka mengamati benteng besar itu juga, mendesah penuh keseganan karena ukuran dan kemegahannya, tidak mampu membayangkan apa atau siapa yang dilindungi di dalamnya. Para prajurit galak, berseragam merah dengan baju zirah yang berkilau, tampak sangat menarik ketika melakukan pergantian tugas setiap jam, setiap genderang berbunyi. Suatu pagi, satu jam sebelum fajar, saat cahaya kelabu pucat baru saja muncul dalam selarik garis tipis di antara bumi dan surga, mereka berkumpul dalam jumlah ratusan di maidan antara sungai dan benteng, untuk bisa melihat Mughal Agung Shah Jahan dalam jharoka-i-darshan. Lonceng berdentang, rantai emas diturunkan.

“Apa itu?” Murthi bertanya.

“Untuk keadilan. Kau bisa mengaitkan petisimu di rantai itu. Katanya Padishah akan mempelajarinya, dan melakukan tindakan. Siapa yang tahu?” Murthi mengangkat Gopi ke bahunya dan, mencoba melihat sang Sultan yang belum tampak, menunggu suatu penampilan yang megah. Orang-orang melakukan namaste, berharap bisikan mereka bisa terbawa naik ke bukaan di tembok yang tinggi. Sebaliknya, mereka ingin diberkahi, dilindungi oleh kekuasaannya.

“Apakah dia dewa?” tanya Gopi, kesulitan bernapas karena merasa tegang.

“Bukan. Seorang manusia. Tapi bagi kita,” Murthi berbicara dengan datar, “dia sama dengan dewa.”

Mereka menunggu; sang Sultan menunggu; tidak bergerak bagaikan marmer. Jarak yang memisahkan mereka bagaikan sejauh bentangan alam semesta, dan hanya seorang manusia yang bisa menyeberanginya, tetapi Sultan masih tampak diam dan membeku. Akhirnya, saat matahari sudah terbit sepenuhnya dan terbebas dari kegelapan, sang Sultan bangkit dan menghilang. Sekarang rantai emas sudah dinaikkan lagi.

“Apakah orang-orang menggunakannya?” Murthi menatap celah di tembok tersebut.

“Kadang-kadang.”

“Siapa yang bertugas?” Murthi bertanya dengan tidak sabar.

Sang petugas, dengan bosan, meludah ke samping. Dia mengangguk ke arah benteng dan paviliun-paviliun marmer yang mulai berdiri di belakang tembok tinggi. “Dia,” sahutnya, lalu dia tertawa. “Kita mulai lagi. Kau ingin pekerjaan ..”

“Aku dikirim ke sini. Aku memberimu hadiah dari Raja untuk Padishah.”

“Dia akan menerimanya. Aku akan menyerahkannya secara pribadi. Sekarang, apakah kau pemotong batu?”

“Bukan. Aku seorang pematung. Seorang Acharya. Aku memahat dewa-dewa.”

“Tidak ada dewa di sini. Kau harus memotong marmer, atau pergi. Yang lain menunggu.”

Murthi tidak bergerak. Di belakang si petugas ada banyak shamiyana yang berwarna terang, para petugas yang datang dan pergi, membawa gulungan gambar dan pena, berbicara dalam bisikan yang terdengar serius. Kadang-kadang, mereka akan keluar untuk menatap batu, semak-semak, dan segerumbul pohon limau di belakang shamiyana, membandingkannya dengan gambar dan menggerakkan tangan sambil berbicara, kemudian menghilang lagi.

“Aku akan berbicara dengan mereka,” Murthi menunjuk.

“Jika itu kemauanmu. Ayolah.”

Tetapi, Murthi masih tidak bergerak, tetap berjongkok, kebingungan. Dia tidak bisa menyia-nyiakan keterampilan turun-temurun hanya untuk memotong marmer. Setidaknya dia mempunyai kebanggaan. Dia tidak bisa kembali, tidak bisa tetap di sana; dia tenggelam dalam penderitaan dan ketidakpastian. Si petugas kembali memeriksa kertas-kertasnya, siap menulis dengan pena, seakan-akan Murthi sudah tidak ada lagi di situ.

“Apakah orang-orang akan beribadah di bangunan ini?”

“Tidak,” akhirnya si petugas menjawab. “Ini adalah makam.”

“Ah, kalau begitu, kalian akan menginginkan patung Permaisuri.”

“Tidak. Quran melarang manusia untuk memasang patung-patung mereka di dalam bangunan. Dan Allah sendiri tidak memiliki ukuran atau bentuk.”

Murthi mengangguk bagaikan mengerti, tetapi si petugas tahu, kata-katanya tidak berarti bagi Murthi.

“Seperti apa sang Permaisuri?”

“Bagaimana aku bisa tahu? Sekarang pergilah, atau kau tidak akan memotong batu. Ada banyak orang lain.”

Seorang lelaki muncul dari sebuah shamiyana. Dia tinggi dan langsing, janggutnya tersisir rapi dan berwarna kelabu menarik. Dia mengenakan kain muslin yang indah dan mahal, yang membuat orang-orang bisa melihat ke lipatan kurtanya. Jari-jarinya bercincin dan dia mengenakan gelang emas di kedua lengannya.

Isa memeriksa kerumunan. Ribuan lelaki dan perempuan, mungkin sebanyak dua puluh ribu, pikir Isa, menunggu dengan sabar. Para petugas duduk di barisan meja kecil yang rendah, mencatat detail-detail fisik setiap pekerja, baik lelaki maupunn perempuan: bekas luka, bekas cacav, bibir tebal, kutil, dan mata juling. Setiap hari pembayaran upah, deskripsi ini harus diperiksa sebelum uang berpindah tangan. Akbar telah menetapkan aturan kepada prajuritnya agar orang asing tidak bisa dibayar. Isa melihat seorang pria berjongkok gelisah di depan seorang petugas yang sedang mengabaikannya. Selama beberapa saat, tidak ada yang mereka bicarakan. Si lelaki melihatnya, menatapnya, lalu mengalihkan pandangan. Isa kembali ke shamiyana dan memanggil si petugas. “Siapa pria itu?”

“Seorang lelaki konyol. Dia memahat dewa-dewa, katanya. Aku mengatakan kepadanya, di sana tidak akan ada patung-patung. Tapi, dia tidak mau pergi,” si petugas mengangkat bahu.

“Pertanyaanku, siapa dia? Cari tahu dari mana dia datang, lalu kembali dan ceritakan kepadaku.”

Si petugas kembali ke posisinya dan mengambil penanya. Dia tidak mengerti mengapa Isa tertarik, tetapi dia mematuhinya, dan mengajukan beberapa pertanyaan kepada Murthi. Saat sudah mencatat jawabannya, dia kembali ke Isa.

“Dia datang dari Guntikul, di selatan ..”

“Aku tahu.”

“Dia seorang Acharya. Namanya Murthi. Ayahnya pemuja Krishna, kakeknya pemuja Lakshmi. Dia dikirim oleh Raja. Aku menawarkan pekerjaan sebagai pemotong batu, tapi dia tidak mau menerimanya.”

“Beri dia pekerjaan,” kata Isa.

“Tapi tidak ada yang bisa dia lakukan di sini.”

“Keterampilannya bisa digunakan untuk hal lain. Jangan sebut-sebut ini. Awasi dan laporkan langsung kepadaku bagaimana kehidupannya.”
Bagikan :
+
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk "TAJ - Tragedi di Balik Tanda Cinta Abadi - BAB 4"

Terimakasih atas kunjungan anda. Mohon tidak copy paste artikel yg ada di blog ini, terimakasih

 
Copyright © 2015 HimE aiMe - All Rights Reserved
Template By Kunci Dunia
Back To Top