TAJ - BAB 9 - PART 3





--Isa--


Apakah aku memang layak untuk dipercaya? Semua terasa bagaikan beban yang sangat berat di pundak seorang pelayan. Secara alamiah, posisi kami dengan mudah bisa memanipulasi dan mengintimidasi para majikan. Aku terus-menerus memikirkan hal ini dalam benakku sambil berjalan dalam kegelapan menuju istana Shah Jahan. Tidak ada sinar bulan dan awan tebal menutupi bintang-bintang. Aku bahkan tidak bisa melihat tanganku sendiri, apalagi jalan di depanku.

Aku dikejutkan oleh sesosok manusia yang berjubah. Aku mencium wewangian-seorang perempuan-tetapi wajahnya tersembunyi.

“Kau Isa?”

“Ya”

“Yang Mulia, Shah Jahan, menyuruhku memanggilmu. Pergilah” Dan dia menghilang.

Kabut tebal mengepul bagaikan asap dari Jumna. Aku menarik mantelku lebih rapat, menutupi seluruh tubuhku, bahkan wajahku. Turban telah menghangatkan kepalaku, tetapi kedua kakiku kedinginan. Istana terselubung kegelapan. Aku sedang berpikir-pikir, apakah panggilan ini hanya muslihat semata, saat tiba-tiba sebuah pintu terbuka, dan seorang perempuan lain menarikku masuk. Dia melangkah dengan sangat mantap; aku sama sekali tidak. Aku mengikuti sosok gelapnya sebisa mungkin, tersandung dipan dan bantal, permadani dan meja. Dengan tidak sabar, dia menarik tanganku. Kami berjalan melewati sebuah taman dan menuruni beberapa tangga di dekat semak mawar menuju taman lain, kemudian lebih jauh lagi, turun menuju tingkat yang lebih rendah.

Shah Jahan menunggu di sana, terselubung jubah, dan duduk di dipan, menatap ke arah sungai. Sebuah poci minuman anggur dari emas terletak di rumput, di sebelahnya. Dia sedang menggenggam sebuah cangkir emas, menenggaknya hingga habis, kemudian mengisinya lagi dengan sikap goyah. Dia berayun-ayun, memicingkan mata untuk melihatku, kemudian melambai menyuruhku mendekat. Perempuan tadi menghilang bagaikan kabut yang memudar.

“Kau Isa, budaknya?”

“Ya, Yang Mulia. Pelayan, bukan budak.” Dapatkah seorang pangeran mengerti perbedaannya? Mungkin dia tidak bisa mendengar; para pangeran biasanya hanya mendengar hal-hal yang dia inginkan.

“Aku akan menikah besok.”

“Saya tahu.”

“Diam Aku tidak mengharapkannya. Aku tidak menginginkan ini . orang Persia Aku tidak bahagia. Ini membingungkan. Seorang pangeran tidak seharusnya merasa tidak bahagia. Aku memiliki segalanya dalam hidup ini, kecuali Arjumand. Apakah kau mendengarku?” Dia membungkuk dan anggurnya tumpah. Aku tidak menjawab, dan dia berbalik dengan cepat, seperti seekor rajawali. Aku bisa menangkap kilauan matanya.

“Bodoh. Aku bertanya, apakah kau mendengarku?”

“Ya, Yang Mulia.”

“Dengar. Tidak ada perempuan lain yang pernah mengakibatkan aku seperti ini. Arjumand Apakah kau juga merasa seperti ini, Isa?”

Aku tidak dapat menjawab secara jujur.

“Aku bertanya, pernahkah kau merasa seperti ini?”

“Tidak, Yang Mulia.”

“Kau heran mengapa aku berbicara seperti ini kepadamu? Siapa lagi yang ada di sana, yang bisa menyampaikan perasaanku kepadanya tanpa menggunakan kata-kataku bagi kepentingannya sendiri? Di istana, tidak ada seorang pun yang mengerti arti cinta, mereka hanya mengerti keuntungan, kebijakan. Menyedihkan. Apakah dia menangis?”

“Ya, Yang Mulia.”

“Aku pun begitu, aku juga.” Dia mencengkeram poci lagi, tetapi tidak ada yang tumpah keluar. “Anggur, anggur, bawakan aku anggur lagi.”

Seorang budak maju dan mengganti poci itu; embun memenuhi sisi poci menggembung yang berkilat. Aku menuangkan anggur, karena saat ini dia sudah tidak mampu melakukannya sendiri.

“Kau sangat beruntung, Isa. Ribuan kali lebih beruntung daripada aku. Apakah kau tahu mengapa? Kau melihatnya setiap hari. Kau melihat matanya bercahaya, bagaimana dia menyibakkan rambut dari wajahnya; kau melihat gerakan jari-jarinya, bagaimana dia berjalan; kau melihat dia tersenyum … senyuman itu, yang dengan lembut bersinar di wajahnya, seperti cahaya bulan yang dipantulkan permukaan air.”

“Sangat sering, Yang Mulia.”

“Katakan kepadaku, bagaimana caranya menghabiskan waktu?” Dia menatapku dengan serius.

“Yang Mulia, dia tidak menatap apa-apa. Dia terbangun, mandi, berpakaian, makan sedikit, kemudian duduk sepanjang hari dengan buku puisi di pangkuannya, yang jarang dia baca. Kadang-kadang, dia pergi jauh ke luar kota; kadang-kadang, kami menghabiskan sepanjang siang untuk membantu orang miskin. Ini membuat pikirannya teralihkan ….”

“Tidak, tidak, Isa. Tidak boleh ada yang mengalihkan perhatiannya dariku. Katakan kepadanya, tolonglah. Aku memohon padamu. Aku akan memberimu imbalan besar.”

“Saya tidak membutuhkan imbalan. Tapi, apa gunanya bagi Arjumand?” aku bertanya dengan pahit.

Dia menggumam sendiri. “Siapa lagi orang yang kutemui, yang bisa menghentikan napasku seperti dirinya? Dunia ini, bahkan bagi seorang pangeran, tidak dipenuhi oleh banyak orang. Dunia ini hanya terisi oleh satu orang. Arjumand.” Dia menyambar lengan bajuku dan menarikku dengan kasar ke arahnya. “Jika dia menikahi orang lain, aku akan hancur. Aku bisa kabur. Aku akan kabur. Aku tidak mampu bertahan jika dia mengabaikanku.”

“Andalah yang mengabaikannya,” aku berhenti sebentar. “Yang Mulia.”

“Kau kesal kepadaku. Apakah dia juga?”

“Tidak.”

“Dia pasti lebih mengerti. Aku telah berusaha, tapi tetap tidak bisa membujuk ayahku. Dia memerintah, dan aku mematuhi. Apakah itu adalah suatu kelemahan? Aku berharap agar dia menunjukkan kekuatan dengan cara bersabar. Hak apa yang kumiliki untuk meminta ini kepadanya, selain meminta cintaku? Kau harus menyampaikan kepadanya dengan kata-kata yang sama dengan yang telah kuucapkan kepadamu.”

“Dan berapa lama dia harus menunggu, Yang Mulia?”

Dia tidak menjawab.

“Selamanya?”

“Tidak, tidak selamanya,” dia berbisik. “Itu pasti akan menghancurkan hatiku juga. Tidak akan lama.” Dia menggelengkan kepala, mencoba berpikir jernih, lepas dari pengaruh anggur. “Tidak akan lama.” Dia merogoh-rogoh ke balik sabuknya dan mengeluarkan sebuah bungkusan kusut, terbungkus dalam kain sutra. “Ini, berikan ini kepadanya; sebuah puisi, tapi tidak indah, karena aku bukan penyair. Ada sepucuk surat juga untuknya di dalam sini. Apakah dia akan menghadiri pernikahanku?”

“Tidak, Yang Mulia. Itu tidak bisa terlalu diharapkan.”

Dia terdiam, kemudian tenggelam dalam lamunan, berusaha mencari-cari pikiran dan perasaannya. Kabut dari arah sungai mulai mencapai tubuhnya, jatuh di bahunya, kemudian menyelubungi seluruh tubuhnya di dalam gulungannya yang lembap. Dia
tidak menyadari kepergianku.

Jalan-jalan masih gelap dan kosong. Aku berjalan dengan cepat, tidak ingin menarik perhatian. Saat aku berjalan, aku mengucapkan kembali kata-kata sang pangeran dengan tepat, berulang-ulang, sehingga semua bisa sampai di telinga Arjumand. Tiba-tiba, tiga bayangan mengelilingiku. Semua terjadi terlalu cepat. Aku ditahan dan diringkus dari belakang.

Bagikan :
+
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk "TAJ - BAB 9 - PART 3"

Terimakasih atas kunjungan anda. Mohon tidak copy paste artikel yg ada di blog ini, terimakasih

 
Copyright © 2015 HimE aiMe - All Rights Reserved
Template By Kunci Dunia
Back To Top