TAJ - BAB 9 PART 1









BAB 9
Kisah Cinta
1020/1610 Masehi


--Arjumand--

“Dia datang Dia datang”

Para perempuan harem berbaris di balkon, menempel ke dinding yang berkisi-kisi, saling mendorong dan berdesakan, menyelinap ke sudut-sudut, dan mengintip di antara bahu-bahu, naik ke atas bangku dan meja. Sambil melompat-lompat dengan panik, bagaikan burung yang akan diterkam, mereka mengintip ke bawah, ke arah halaman istana. Aku duduk sendirian di dalam sebuah ruangan kosong, sambil memandang dari jendela ke arah Sungai Jumna. Arus Sungai Jumna bergerak dengan tenang dan perlahan, berwarna seperti logam yang terbakar, tidak tersentuh oleh kebahagiaan ataupun kesedihan. Seperti bumi dan langit, Sungai Jumna mengesankan keagungan tentang keabadian. Aku merasakan kehadiran Isa di dekatku. Aku bisa merasakan keprihatinannya; rasa itu benar-benar menenggelamkanku. Aku tidak bisa berbalik, karena tahu, jika melihat wajahnya, aku akan menangis. “Dia datang ..”

Jeritan kegairahan dari sisi lain istana memenuhi diriku dengan perasaan kering dan pedih yang tak tertahankan. Harapanku telah terpenjara selama dua tahun ini, dalam keheningan penantian yang begitu kejam. Sekarang, harapan itu berlutut, menundukkan kepala di atas papan, mengetahui bahwa pisau algojo tidak akan meleset-wussl-harapan itu berguling tak berdaya dalam keadaan mati, membisu di tengah riuh-rendahnya kerumunan orang. Rasanya lebih baik aku mengalami hal itu, daripada menghadapi kematian seperti ini, untuk membuka genggaman tanganku dan membiarkan kerinduanku jatuh. Tetapi, di antara semua kepedihan ini, aku masih hidup.

“Bolehkah kita melihat seperti apa pengantin Shah Jahan?”

Isa mengikutiku menuju balkon dan para perempuan itu menyadari kehadiranku. Ada beragam ekspresi iba dan simpati, beberapa orang berekspresi penuh kemenangan, beberapa lagi memancarkan ekspresi kegembiraan tertahan yang muncul saat orang lain terluka. Aku mendesak kerumunan agar bisa maju ke depan.

Iring-iringan berhenti di bawah kami dan seorang gadis dibantu keluar dari tandu oleh budak-budaknya; dia dipeluk dan disambut oleh para perempuan yang lebih tua, yang sedang menunggu di pintu masuk. Di belakangnya, berjajar dari istana hingga ke jalan-jalan di depan benteng, berbaris karavan hadiah yang dikirimkan oleh pamannya, Shahinshah dari Persia, kepada Mughal Agung, Jahangir. Lima puluh kuda jantan Arab, empat ratus budak, emas, perak, batu-batu mulia, dan yang paling penting di antara semua, hadiah berupa persahabatan dengan Shahinshah. Hal itu mewujud dalam bentuk seorang perempuan. Dia sudah melakukan perjalanan selama berbulan-bulan, dikawal hingga ke perbatasan Kandahar oleh bala tentara Persia, dan dijemput di sana oleh pasukan Mughal.

Kandahar adalah pusat pertemuan antara dua kerajaan tersebut, pusat nadi perdagangan, sebuah kota yang kaya dan makmur. Kepemilikan kota itu jatuh bergantian dari satu penguasa ke penguasa lain secara bergantian, selama bertahun-tahun, tergantung kehebatan bala tentara masing-masing. Pada saat itu, kota Kandahar dikuasai oleh Jahangir. Hubungan di antara dua kesultanan itu berada pada kondisi yang paling tidak bisa diduga. Masing-masing mengamati yang lain dengan sudut pandang penuh kecemburuan dan kewaspadaan, keduanya diseimbangkan oleh kekuatan lain di suatu daerah pinggiran Kandahar. Bahkan saat sedang berdamai pun, persahabatan kedua negara ini tidak mulus. Bertahun-tahun yang lalu, saat Humayun kehilangan Delhi karena direbut Shershah, dia meminta perlindungan kepada Shahinshah. Sultan Persia mau melindunginya selama beberapa tahun, tetapi hanya jika Humayun berpindah aliran agama,

dari Sunni yang merupakan keyakinan Mughal, menjadi Syiah. Sang Sultan kemudian memberi bantuan dengan sebuah pasukan dan kawalan putra bungsunya, yang tewas saat perjalanan panjang untuk merebut Delhi kembali.

Kedatangan keponakan perempuan Shah di Agra merupakan tanda bahwa era baru persahabatan akan segera dimulai. Masing-masing sultan telah memilih untuk memamerkan perdamaian, karena ini adalah kepentingan mereka yang paling utama. Jahangir telah memerintahkan seniman-senimannya untuk membuat sebuah gambar singa Mughal yang sedang setengah merunduk sebagai hadiah bagi kesultanan Persia.

Usia Putri Gubaldan sebaya denganku. Dia sedikit lebih kecil dariku, gerak-geriknya ganjil dan kaku, karena sifat malu yang sangat berlebihan. Tampaknya ada segumpal asap di sekelilingnya ketika dia menggumam, dan dia membungkuk kepada banyak perempuan yang menyapanya. Di sampingnya ada seorang perempuan montok, ibunya, dan kemudian datanglah sejumlah besar dayang-dayang.

Mehrunissa, meskipun masih menjadi dayang-dayang Salima, bersikap seolah seorang permaisuri yang menyambut pengantin anak lelakinya. Tidak ada yang bisa mengerti alasan Mehrunissa untuk terus menolak ketertarikan Jahangir. Menurut kabar angin, Jahangir benar-benar tergila-gila kepadanya. Aku tidak bisa bersimpati kepadanya, karena dia telah membuatku tenggelam dalam kesedihan yang

hebat. Hanya Mehrunissa sendiri yang saat ini bagaikan sedang berdiri menyambut pernikahan mereka, karena meskipun Permaisuri Jodi Bai sempat sembuh dari sakitnya sebentar, secara misterius dia jatuh sakit sekali lagi, memuntahkan makanan dan darah, dan seminggu setelah penyakit barunya muncul, dia meninggal. Dalam duka, Jahangir telah memerintahkan agar di istana dilangsungkan masa perkabungan selama sebulan, yang dipatuhi oleh semua orang, meskipun diam-diam, seseorang bisa mendengar bisik-bisik: Jodi Bai diracun

Cinta adalah sebuah alasan yang mengerikan. Jika seseorang bisa mati karena menginginkan sesuatu, bukankah seseorang juga bisa membunuh untuk mendapatkannya? Para lelaki telah melakukan ini, perempuan juga. Tetapi, aku tidak memiliki kekuasaan sang Mughal Agung untuk mencapai tujuanku.

Mehrunissa tersenyum ketika dia mendekatiku bersama sang Putri. Dia tahu betapa hal itu akan menyakiti hatiku, tetapi karena aku sendiri akan menyambut sang Putri, dia mengetahui bahwa aku sudah siap. Aku merasakan mata para perempuan lain mengawasiku, tak diragukan lagi berharap, karena marah dan murka, aku akan mencakar wajah gadis malang itu. Tetapi, aku hanya tersenyum, dan membungkuk saat dia lewat di depanku.

“Keponakanku, Begum Arjumand Banu.”

“Aku telah mendengar kecantikanmu.”

“Yang Mulia begitu murah hati. Aku tidak mengira ada kabar tidak penting seperti itu yang
sampai begitu jauh ke Ishfahan.”

Selama sesaat mata kami bertemu dan aku menyadari ada senyuman lemah penuh kesedihan dalam dirinya, bukan prihatin terhadapku, tetapi lebih terhadap dirinya sendiri. Matanya berwarna cokelat, lebar, indah, dan waspada; seperti chital yang mengendus-endus bahaya dengan penuh rasa ingin tahu. Mengapa dia harus merasa takut kepadaku, aku tidak bisa menjawab. Dia yang akan menikah, bukan aku. Apakah dia sudah mendengar bahwa Shah Jahan masih mencintaiku? Pikiran itu membuatku sedikit merasa nyaman.

“Itu bukan kabar yang tidak penting.” Sepertinya dia ingin berbicara lebih banyak, tetapi Mehrunissa mulai menariknya menjauh.

“Aku berdoa untuk kebahagiaan Yang Mulia dalam menyambut pernikahan.”

Jika sang Putri mendengarnya, dia kelihatannya tidak bereaksi apa-apa, dan segera menghilang di tengah kerumunan perempuan. Dia hanya memiliki waktu yang singkat untuk beristirahat, karena tiga hari lagi dia akan menikah dengan Shah Jahan.

Aku berharap agar bisa kabur, menyelesaikan tugasku dan menggeliat dengan nyaman, tetapi aku harus tetap tinggal, tersenyum, mengangguk, dan berbicara. Begum Arjumand Banu yang ini adalah seorang manusia lain, bergerak di istana dalam impian memabukkan, berjalan dalam mimpi buruk, dan aku bersembunyi di baliknya, sambil meringkuk dan memejamkan mata rapat-rapat. Satu-satunya yang kuinginkan adalah keheningan, untuk duduk di sudut taman di seberang Sungai Jumna, dalam kerindangan pepohonan limau yang indah, tempat aku menulis puisiku yang kata-katanya terkubur dalam kesedihan.

“Akan lebih sejuk jika kau ke balkon, Agachi,” Isa berbisik perlahan.

“Aku tidak membutuhkan udara segar. Aku ingin pergi jauh sekali . untuk melupakan. Aku ingin pergi ke pegunungan. Maukah kau ikut bersamaku?”

“Tentu saja, Agachi. Aku hidup untuk melayanimu. Tapi, apakah itu akan cukup jauh?”

“Tidak, itu hanya harapan. Aku akan selalu memikirkannya, menginginkannya. Aku tidak bisa melepaskan diri dari hal itu. Ambilkan aku sedikit anggur, tolonglah.”

Ada jeda singkat di antara perayaan ketika sang Putri dibawa pergi untuk mandi. Saat dia tampil kembali, perayaan akan berlangsung hingga larut malam, dan para perempuan tidak akan menjalani rutinitas hidup mereka di harem, dan membuat mereka bisa memamerkan perhiasan terindah dan memakai kain sutra baru. Saat ini, mereka berbaring di dipan-dipan, berbisik dan tertawa. Dan sepertinya, setiap tatapan, setiap perkataan, adalah tentang diriku.

Aku menuruti saran Isa dan bergerak ke arah balkon, menatap Sungai Jumna. Ketika melewati lorong, aku memergoki sebuah gerakan rahasia.

Di dalam sebuah sekat, yang hanya tertutup sedikit oleh tirai muslin, ada tiga perempuan yang sedang berbaring bersama di atas dipan. Dua orang berasal dari Kashmir, berkulit putih dan berambut panjang; mereka sedang membelai-belai seorang gadis Turki yang berbaring di antara mereka. Sang gadis Turki memiliki wajah lonjong dan bibir yang penuh, dan matanya memejam. Bisikan dan gerakan mereka membuatku gemetar.

Aku terkesiap, bagaikan terbangun dari mimpi, dan terburu-buru pergi ke balkon yang menawarkan privasi. Angin sejuk dari sungai menyegarkanku, pakaianku basah oleh keringat dan kakiku gemetar, jantungku berdegup kencang. Aku menemukan, dalam tubuhku sendiri, kenikmatan mengalir bersamaan dengan darah. Pengetahuan ini membawa kepuasan sekaligus ketakutan. Relief-relief yang pernah kulihat di Khajuraho tidak membuatku merasa bergairah. Tetapi, pemandangan tadi, bagaikan membangkitkan suatu hasrat rahasia dari dalam tubuhku. Aku tidak bisa menyalahkan mereka; hanya seorang pria pemberani atau bodoh yang bisa menyelinap di antara para pengawal, jadi para perempuan harem mendapatkan kepuasan dari sesama mereka.

Betapa lebih hebatnya jika kenikmatan itu dialami bersama seorang lelaki Dan betapa memesonanya kenikmatan yang bisa kutemukan bersama Shah Jahan.

Bagikan :
+
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk " TAJ - BAB 9 PART 1"

Terimakasih atas kunjungan anda. Mohon tidak copy paste artikel yg ada di blog ini, terimakasih

 
Copyright © 2015 HimE aiMe - All Rights Reserved
Template By Kunci Dunia
Back To Top