TAJ - BAB 10







BAB 10
Taj Mahal
(1045/1635 Masehi)


Tak, tak, tak, tak, tak. Suara itu terdengar nyaring, berirama, dengan ribuan gaung. Di bawah kerindangan pohon dan tenda-tenda darurat yang sudah usang, terlindungi dari sinar matahari yang menyengat, para perajin batu memotong dan memahat. Tanah berwarna kelabu karena serpihan batu yang terlontar. Awan putih mengepul di udara, dari debu tebal yang menggantung di bahu para lelaki dan anak lelaki yang sedang membungkuk. Batu bara panas dari perapian yang jumlahnya tak terhingga membuat hawa semakin panas, sehingga debu berputar-putar dan bergulung-gulung di atas bebatuan.

Murthi berjongkok di depan sebongkah marmer. Dia tahu, marmer-marmer itu datang dari jauh, dari tambang-tambang di Rajputana. Setiap hari, kelompok-kelompok kerbau dan banteng menyeret bongkah-bongkah batu raksasa. Batu di depannya ini memiliki permukaan yang kasar, berukuran dua kali tinggi manusia dan tebalnya dua kali rentangan tangan. Peralatannya tergeletak di dekat kakinya, seperti yang telah biasa terjadi selama beberapa hari ini. Gopi menjaga api unggun, agar batu bara tetap panas saat diperlukan. Murthi mengusap permukaan batu itu, mengetuk dengan satu jarinya-sebuah kebiasaan sehari-hari-mencoba berkomunikasi dengan jiwa batu tersebut. Selama satu jam, dia akan mengamatinya, memicingkan mata untuk melihat garis-garis potongan dan pola-pola rumit yang ada di dalam batu. Sering kali, dia akan merogoh-rogoh ke dalam karung goni kecilnya dan mengeluarkan gambar yang diberikan kepadanya. Perhitungan jali yang akan dia pahat begitu cermat, sehingga dia tidak perlu mengkhawatirkannya. Dia hanya belum puas dengan rancangannya sendiri. Rancangan itu geometris, tidak imajinatif, terbuat dari garis-garis vertikal dan horizontal. Gambar ini tidak memuaskannya; tidak ada keindahan di dalamnya. Bagaimana dia bisa memahat garis-garis lurus? Tangannya lebih mampu membuat bentuk-bentuk yang lebih rumit: lengkungan, bentuk-bentuk cincin, bentuk yang meliuk-liuk, bagaikan sosok-sosok dewa yang sedang menari.

Dia mengenang kembali hari saat dia dipanggil. Terburu-buru, dia berjalan mendekati petugas, menunggu datangnya bencana, karena saat ini para petugas telah menemukan bahwa dia tidak bekerja. Mereka akan memintanya mengembalikan uang; dua rupee sehari memang jumlah yang sedikit, tetapi terlalu banyak baginya untuk mengembalikan sebesar itu. Tetapi, dia malah dipersilakan ke sebuah shamiyana, yang penuh dengan para petugas yang sedang membungkuk, menghadapi gambar-gambar. Mereka masih berdiri, terdiam, hingga salah seorang dari mereka menyadari kehadirannya.

“Saya Murthi, seorang Acharya.”

“Mari, mari.”

Mereka senang melihatnya, dan lelaki yang tadi berbicara bergeser agar Murthi bisa berdiri di sampingnya. Pria itu tinggi, cukup kurus, dengan penutup di sebelah mata dan tangan yang seperti Murthi: kuat dan bertonjolan. Dia adalah Baldeodas; berasal dari Multan.

“Pekerjaan kita hampir sama,” kata Baldeodas. “Sama-sama pemahat. Aku diberi tahu, kau memahat dewa-dewi.”

“Ya,” Murthi menjawab dengan berani. “Tapi, tidak ada yang seperti itu di sini.”

“Yang akan dibuat sama berharganya dengan itu. Apakah kau mengerti gambar?”

“Tentu saja,” jawab Murthi dengan bangga. “Aku juga mengerti pengukuran.”

“Lebih bagus. Lihat. Ini adalah jali yang akan diletakkan di sekeliling makam Permaisuri.”

Murthi mempelajari kertas itu beberapa saat, menyerap detail-detailnya. Jari-jarinya yang kuat dan gempal menyusuri garis-garis, sementara pikirannya membayangkan ukuran gambar itu.

“Ini akan memakan waktu lama,” akhirnya dia berkata. “Waktu yang cukup lama.” “Tentu saja. Dan pola-polanya?” “Ini sangat sederhana.”

“Orang-orang Muslim,” Baldeodas berbisik, “menyukai hal-hal yang sederhana. Bisakah kau merancang yang lebih bagus?”

“Ya,” jawab Murthi. “Kepada siapa aku harus menunjukkannya?”

“Kepadaku. Tapi ingat, jangan ada sosok manusia. Agama mereka melarang hal-hal seperti itu. Bunga-bunga dan dedaunan, itulah yang mereka sukai untuk monumen-monumen mereka.”

Murthi merasa sedih karena mereka membatasi diri dalam kesederhanaan seperti itu. Apa artinya bunga-bunga pada dekorasi yang indah? Mereka tidak bisa menggaungkan irama rumit dunia kosmik. Dia tetap terdiam, tidak lagi mempelajari gambar itu. Baldeodas merasakan bahwa Murthi sedang mengumpulkan keberanian untuk mengajukan sebuah pertanyaan. Pria itu memiliki ketidaksabaran dalam dirinya; keras seperti batu, tergambar dalam bentuk yang dia buat. “Ada apa?”

Murthi menatap kakinya yang telanjang dan berdebu, tumitnya pecah-pecah dan kapalan. Semua itu mengingatkannya akan pendapatannya yang rendah. Kemudian, ketika dia memikirkan karya yang harus dia ciptakan, keberaniannya meningkat tajam.

“Jika aku harus melakukan pekerjaan besar seperti ini, apakah tidak cukup penting bagiku untuk
mendapatkan bayaran lebih besar?”

“Berapa upah yang kau dapatkan?”

“Dua rupee sehari. Itu tidak cukup untuk keluargaku. Istriku juga harus bekerja, sehingga anak-anakku menderita.”

“Aku akan mendiskusikannya dengan bakshi. Hanya dia yang bisa membuat keputusan tentang upah. Apa yang telah kau kerjakan hingga saat ini?”

Murthi memang sudah mengira akan muncul pertanyaan seperti ini: “Hal-hal tetek bengek,” dia menjawab. Kemudian, dia berdiri dengan cepat, melakukan namaste, kemudian mengundurkan diri, sebelum Baldeodas mengajukan pertanyaan lain yang membuatnya tidak nyaman.

Bagaikan bermimpi, Murthi terus memikirkan dalam-dalam bongkahan batu di kakinya. Di sebelahnya, Gopi berjongkok dengan kesabaran yang sama. Sebetulnya dia lebih memilih untuk bermain bersama teman-temannya, tetapi sudah menjadi tugasnya untuk membantu sang ayah dan mempelajari keahlian yang sudah diwariskan turun-temurun selama beberapa generasi. Dia mengerti bahwa sebuah visi hanya akan datang melalui doa-doa dan meditasi, dan ini membutuhkan waktu. Hidup ini memang tidak mudah. Ayahnya tiba-tiba berdiri dan menyuruhnya menyapu tanah di sekitar mereka hingga bersih. Dia mematuhinya. Ketika sebuah ruangan seukuran bongkahan marmer sudah dibersihkan, Murthi menggambar sebuahbingkai, kemudian, berdasarkan suatu pola, membuat titik-titik di dalam bingkai. Dia menggunakan bubuk kapur, seperti yang Sita gunakan untuk menggambar dekorasi di luar gubuknya setiap hari, setelah dia menyapu dan mencuci. Orang lain mungkin akan menggunakan kuas, tetapi Murthi dengan cepat menggambar polanya dengan bubuk kapur, menaburkan garis-garis tipis dari celah antara ibu jari dan telunjuknya. Dia bekerja selama satu jam, dan setelah menghubungkan titik-titik, dia menggambar sulur-sulur, bunga-bunga, dan dedaunan, bagaikan tanaman rambat yang melengkung dan berputar ke arah atas. Ada sebuah batang ramping di bagian pusat, tempat tanaman merambat dan melingkar ke luar bingkai. Semua garis akan terhubung kembali ke batang ini, tetapi tampak seperti terpisah. Saat pola ini selesai, dia berdiri, merasa sangat puas.

“Aku akan memanggil Baldeodas. Jagalah gambar

ini.”

Saat Baldeodas melihat hasil gambar Murthi, dia merasa puas. Dia berjalan mengitarinya, mempelajarinya dari berbagai sudut, kemudian memanggil yang lain untuk meminta pendapat mereka. Mereka semua merasa puas dengan pola untuk jali tersebut, tetapi sebelum Murthi bisa memulai tugas besarnya, rancangan itu harus ditunjukkan kepada sang Sultan. Mereka tidak bisa membawa Mughal Agung ke lokasi berdebu ini, jadi seorang seniman dipanggil untuk menggambar pola karya Murthi ke sehelai perkamen yang bagus.

Saat kemeriahan sudah mereda, Baldeodas menyeret Murthi ke pinggir.

“Bakshi akan membayarmu empat rupee per hari, saat kau mulai bekerja.”

Ini membuat Murthi gembira. Sebetulnya dia ingin meminta lebih dari itu, tetapi dia berpikir,
lebih baik bersabar sebentar. Dia mengetahui bahwa Baldeodas mendapatkan dua puluh dua rupee per hari, tetapi itu karena dia adalah seorang petugas resmi.

“Sahib,” kata Murthi. “Anda mengetahui banyak hal di sini. Apakah Anda pernah melihat Permaisuri Mumtaz-i-Mahal?”

“Belum,” jawab Baldeodas. “Tidak ada orang yang pernah melihatnya.”

Jawaban ini tidak memuaskan Murthi. Dia hanya mendengar jika sang permaisuri itu cantik, tetapi, di luar itu semua, apakah dia memang benar-benar ada?

Isa dan Mir Abdul Karim meletakkan rancangan itu di hadapan Shah Jahan. Sang Sultan duduk di ghusl-khana, sebuah ruangan sejuk yang dirancang dengan indah, menyatu dengan harem, dibangun dari marmer putih dan dihiasi relief bunga yang bertatah perhiasan. Setelah mandi, sang Sultan akan memanggil para penasihatnya ke ruangan ini, sementara para budak mengeringkan dan meminyaki rambutnya. Lebih banyak budak lagi yang berdiri, bersiap untuk membantunya berpakaian dan memasangkan turban di kepalanya. Beberapa saat, dia mempelajari gambar jali yang akan diletakkan di sekeliling sarkofagus Arjumand-nya yang tercinta. Akhirnya, dia mengangguk, menandakan persetujuan, dan memalingkan wajah dari gambar ke Abdul Karim.

“Siapa yang merancang ini?” dia bertanya.

“Baldeodas, Yang Mulia.”

“Bagus, sangat bagus.”

Karim tidak segera mengundurkan diri. Para menteri menunggu, dengan berkas-berkas mereka, tetapi Karim mengetahui bahwa yang akan dia ungkapkan akan lebih penting.

“Apa lagi sekarang?”

“Padishah, pekerjaannya sudah maju secara pesat. Fondasinya sudah hampir selesai. Bagaimanapun, ada satu masalah yang harus dipecahkan. Kontraktor memberi tahu kita bahwa tidak ada kayu untuk perancah bangunan.”

“Di mana-mana?”

“Tidak ada yang cocok untuk bangunan tinggi. Musim hujan telah memengaruhi hutan. Pohon-pohon jambu mete sudah semakin langka dan orang-orang menebanginya untuk kayu bakar. Kontraktor sudah mencari di mana-mana.”

Mereka menunggu Shah Jahan selesai berpakaian. Mir Bakshi perlahan-lahan membereskan kertas-kertasnya dengan perasaan tidak enak. Masalah Deccan menekannya. Akhbar yang dia terima dari agen rahasianya telah melaporkan bahwa para pangeran kecil, yang mengetahui obsesi baru Shah Jahan, sedang merencanakan pemberontakan. Lebih buruk lagi, mereka

menggerogoti bagian selatan kesultanan bagaikan tikus-tikus. Pasukan Mughal harus menghadapi mereka, tetapi dia tidak memiliki kekuasaan untuk menggerakkan kekuatan ke sana. Selain itu, Mir Saman menghadapi masalah terus-menerus dengan musim hujan yang buruk. Panen sangat buruk, ini memengaruhi perdagangan, sehingga pemasukan berkurang.

“Batu bata,” Shah Jahan berkata saat turban Kesultanan sudah diletakkan di atas kepalanya, dan menteri-menterinya melakukan kornish sebagai simbol penghormatan kekuasaan. “Bangunlah perancah dari batu bata. Bukankah itu mungkin?”

“Ya, Padishah, tapi biayanya?” Ongkos pembangunan itu menyesakkan mereka semua.

“Keluarkan, keluarkan biayanya. Simpanan harta kita penuh. Aku sudah memerintahkan agar tidak ada pengeluaran yang harus dipertanyakan, dan sekarang, kau datang kepadaku dengan masalah yang sama.”

Abdul Karim mengundurkan diri dengan terburu-buru. Batu bata Biayanya membuat dia mengerenyit. Biayanya akan sama mahalnya jika marmer yang dijadikan perancah.

Isa juga bersiap mengundurkan diri, tetapi Shah Jahan memberi isyarat agar Isa tetap tinggal, sebelum mengalihkan perhatian kepada Mir Bakshi. Dia mengalihkan pikiran untuk masalah ini, berharap jika Arjumand ada di sampingnya. Betapa seringnya Arjumand memberi saran kepada Shah Jahan dalam masalah-masalah kenegaraan. Bukankah Sultan telah memberinya simbol kekuasaan yang besar, Muhr Uzak?

“Aku telah memikirkan masalah Deccan baik-baik. Kita harus mengalahkan para pangeran pecundang itu. Aku akan memerintahkan Aurangzeb untuk memimpin pasukan. Itu akan menjadi latihan yang baik baginya. Buat rencana detailnya, kemudian bicarakan dengannya. Sekarang, apa yang bisa kulakukan dengan musim hujan? Aku bukan Tuhan.”

“Lumbung masih penuh, Padishah.”

“Kalau begitu, ini belum jadi masalah yang serius. Musim hujan berikutnya pasti akan lebih baik. Aku tahu itu.”

Secara bergiliran, dia berdiskusi dengan para menterinya. Saat mereka meninggalkan ruangan, bersama Isa dia berdiri di teras dan mengawasi aktivitas di bagian hulu sungai. Di sana, sebuah pasukan besar sedang bekerja: para lelaki, perempuan, gajah, kerbau, dan kereta-kereta menciptakan aliran pergerakan yang konstan, di antara debu dan hawa panas.
Bagikan :
+
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk "TAJ - BAB 10"

Terimakasih atas kunjungan anda. Mohon tidak copy paste artikel yg ada di blog ini, terimakasih

 
Copyright © 2015 HimE aiMe - All Rights Reserved
Template By Kunci Dunia
Back To Top