TAJ - BAB 9 - PART 2





--Shah Jahan--

Aku mendengar keributan itu dan segera tahu bahwa calon pengantinku sudah tiba. Itiam-ud-daulah telah menyambutnya di perbatasan

Agra dan bergabung dengan iring-iringannya. “Seperti apa dia?” aku bertanya kepada Allami Sa’du-lla Khan.

Dia berdiri di depan jendela, menatap ke bawah. Tampaknya dia bosan dan kelelahan; aku tahu dia berharap untuk lolos dari jebakan pertanyaan ini.

“Siapa yang bisa mengetahuinya, Yang Mulia? Dia tampak kecil, rapuh. Namun aku melihat tangan-tangannya cukup cantik. Penampilannya yang lain masih menjadi sebuah misteri, yang hanya bisa dilihat oleh Anda.”

“Saat itu sudah terlambat.”

Aku terdiam. Akhir-akhir ini, aku bukan seorang teman yang baik, karena aku tidak berburu atau keluar bersama para penasihatku. Aku menolak untuk menunggang kuda, tidak mau bertarung, dan tidak merasakan kenikmatan lagi dari perempuan-perempuan lain. Aku berusaha melupakan semuanya dengan menenggak anggur banyak-banyak.

“Pergilah.”

Allami Sa’du-lla Khan menatapku dengan ragu-ragu, tidak mampu untuk menyembunyikan kelegaannya karena bisa pergi dariku. Aku melambaikan tangan menyuruhnya pergi; dia membungkuk dan terburu-buru keluar dari ruangan. Aku menggantikan posisinya di jendela, untuk menatap ke seberang harem dengan teliti. Arjumand mungkin ada di sana, dalam area pandanganku. Aku menunjukkan diriku dengan lebih terbuka, berharap dia juga sedang memandang dari seberang. Tetapi, apa gunanya hal ini? Hanya untuk saling melihat dan jari-jari kami bahkan tidak saling bersentuhan? Aku mengeluarkan sebuah puisi yang kutulis untuk Arjumand. Tidak seperti ayahku, aku bukan seorang penyair.

Angin sepoi indah pada fajar menebarkan aroma mawar.

Keharuman menguar dari bumi, di tempat kekasihku berdiri.

Semua kebahagiaan duniawi akan memudar; hai para pengkhayal, sadar

Karavan kekasihku pergi, sebelum aroma harum itu pergi.

Siapa yang bisa kupercayai untuk mengantarkan puisi ini dengan aman? Jika saja aku bisa berbicara dengannya. Tahun-tahun keheningan telah meninggalkan sungai kata-kata yang meluap dalam kerongkonganku, yang terasa mencekik dan membuatku tidak bisa bernapas. Aku berharap mereka menyerbu keluar dalam suatu banjir besar, tetapi ternyata hanya bisa keluar dalam bentuk kata-kata lemah yang tidak berkesan ini.

“Padishah ingin bertemu dengan Anda, Yang Mulia,” sang wazir membuyarkan lamunanku. Aku menyembunyikan puisi itu di dalam lipatan sabukku.

Penampilan ayahku telah berubah. Dia menjadi lebih pendiam dan murung, wajahnya semakin gelap, dan ada aura kepedihan di sekelilingnya. Dia bisa memerintahkan seluruh dunia untuk merunduk,
tetapi tidak kepada Mehrunissa. Dengan gugup, dia menarik-narik janggutnya, yang saat ini tampak kusam. Bahkan sarapa dan perhiasannya pun tampak meredup. Jika aku sendiri tidak sedang berperasaan muram, aku pasti akan tersenyum karena ironi ini. Kami sama-sama menderita karena cinta, dan kami juga sama-sama ditolak. Allah memang adil, tetapi kadang-kadang aku merasa ada kekejaman dalam keadilan-Nya.

“Apa yang kau inginkan?” dia berkata dengan tajam, menatapku, mungkin berharap aku tidak datang, karena penampilanku menggambarkan kondisinya sendiri. Aku mengingatkannya akan cintanya yang tak terbalas, seperti abangku, Khusrav, yang mengingatkannya akan pengkhianatan. Dia menghindari kami berdua, bagaikan tidak mampu menghadapi kelemahannya sendiri.

Tetapi, aku tidak begitu mengancam dibandingkan dengan Khusrav. Dia telah merusak kesempatannya menjadi sultan dengan hasrat gila kekuasaannya sendiri. Kegilaan itu telah ditanamkan dalam dirinya oleh kakekku, Akbar, yang secara tidak bijaksana telah memilih Khusrav untuk menjadi ahli waris takhta kesultanan, bukannya ayahku. Menjelang ajalnya, Akbar berubah pikiran lagi, tetapi tidak bisa mengubah takdir karena Khusrav sudah memilih jalannya sendiri.

Aku mengingat bagaimana Khusrav, sudah tentu, tidak senang dengan kenyataan bahwa ayahku yang naik takhta. Selama sesaat, takhta itu sempat berada dalam genggamannya, karena Akbar, dan ketika keinginan itu tidak tercapai, obsesi terus menguasai dirinya. Jahangir, yang waspada akan hasrat Khusrav, menahan abangku di istana, hingga dia meloloskan diri dan memimpin suatu pemberontakan. Pemberontakan itu berlangsung singkat dan dua orang yang berkonspirasi dihukum mati oleh ayahku. Ini menyebabkan suatu ketidakpercayaan antara ayah dan anak yang begitu mematikan, dan semakin memburuk ketika Khusrav berencana untuk membunuh ayahku dalam sebuah perjalanan berburu.

Rencananya adalah membunuh ayahku saat dia sedang berburu di qamargah. Dalam kebingungan dengan binatang-binatang dan orang-orang, geraman, raungan, dan jeritan hewan-hewan yang terbunuh, rencana itu akan berjalan tanpa mencurigakan. Sebuah belati bisa dengan cepat dihunus, ditusukkan, dan diayunkan. Tetapi, diwan-i-qasi-i-mamalik sempat mendengar desas-desus itu, meskipun Khusrav hanya membicarakan hal itu bersama para pendukungnya. Bahkan, jika rencana itu belum sampai di telinga Jahangir, aku pasti akan diberi tahu oleh agen-agennya, karena nyawaku sendiri pasti tidak akan lebih berharga jika rencana Khusrav berhasil. Bisakah seorang Mughal Agung membiarkan seorang saudara lelaki sepertiku hidup?

Aku tidak dapat menyalahkan ayahku akan hal yang terjadi selanjutnya. Aku juga akan bertindak cepat dan keras, tetapi karena Khusrav adalah abangku, aku merasa sedih. Dia adalah teman kecilku yang paling dekat, meskipun kami tidak lahir dari ibu yang sama. Di dalam kehidupan para pangeran yang dibanjiri perhatian dan penghormatan, kami bersahabat. Bersama-sama, kami belajar keterampilan berperang, menunggang kuda dan bergulat, dan membaca bersama-sama; suatu ikatan yang bisa sangat membebani. Aku juga memiliki adik lelaki, Parwez, tetapi kami tidak dekat. Dan ada seorang anak lelaki yang tidak berhak menduduki takhta, seorang Na-Shudari, Shahriya, yang ibunya adalah seorang budak Panjabi. Dia bukan sainganku dalam perebutan takhta. Aku bersyukur karena satu hal: Akbar tidak meracuni hidupku. Seperti halnya semua sultan lain, kekuasannya tidak sempurna.

Ayahku tidak melakukan apa-apa hingga pagi hari menjelang perburuan. Kemudian, dia menarik Khusrav, bagaikan memetik buah, keluar dari kelompok pejabat. Banyak di antara mereka adalah pendukung Khusrav secara diam-diam, dan ayahku sudah mewaspadai hal ini, tetapi dengan bijaksana memutuskan untuk tidak mengusik mereka dengan tuduhan. Khusrav sendiri yang akan menderita karena pengkhianatannya.

Satu jam setelah fajar menyingsing, kami berkumpul di diwan-i-am. Pertemuan itu begitu serius, dan tidak ada orang yang berbicara lebih keras daripada bisikan. Khusrav dan aku berdiri tepat di bawah singgasana yang bertepi emas. Di belakang kami, dan di dalam pagar perak, berdirilah wazir dan
para petinggi lain, dan seorang gurz bardar yang membawa sebuah tongkat emas. Satu langkah di bawah kami, di balik pagar kayu merah terang, para lelaki terhormat lain berdiri, dan di sebelahnya ada gurz bardar lain yang membawa sebuah tongkat perak.

Aku berdiri sejauh mungkin dengan Khusrav. Di antara kami  semua, dia tampak paling bebas dan santai. Dia tersenyum dan bercanda, tetapi terdiam saat para algojo yang memakai topeng hitam, masuk dan berbaris di depan dinding di bawah singgasana. Masing-masing membawa alat eksekusinya. Di atas mereka, kami bisa mendengar suara-suara desiran lembut dari para perempuan dan melihat wajah-wajah mereka di balik bayangan yang mengintip kami melalui celah.

Ayahku masuk, menaiki tangga ke mimbar dan duduk di singgasana. Para prajurit menjaga tangga ini, dan tidak ada seorang pun, bahkan aku, Khurrumnya, diperbolehkan mendekati sang Sultan. Di bawahnya, seorang petugas menunggu untuk mencatat peristiwa ini.

Setelah ayahku memberi isyarat, gurz bardar mendekat dan menyentuh Khusrav dengan tongkat emasnya. Khusrav maju selangkah dengan berani, mungkin memercayai ruh Akbar melindunginya, dan menatap Sultan.

“Khusrav, Khusrav, apa yang kulakukan terhadap dirimu?” Jahangir berbicara perlahan. “Aku merasa sangat pedih karena mengetahui kau menginginkan kematianku. Apakah Akbar mengajarimu untuk membunuh ayahmu sendiri? Tentu saja tidak. Bukan kebiasaannya untuk melakukan suatu tindakan iblis. Tapi, apa yang bisa kulakukan? Akbar yang menobatkan aku sebagai Padishah. Aku duduk di singgasana dengan sah. Kaulah yang tidak memiliki hak. Tanya para penasihatku, apakah ini memang benar.”

Para penasihat terhormat bergerak-gerak dengan gugup. Sang Sultan membungkuk, dengan tatapan terluka dan bingung. Khusrav tidak menjawab.

“Apa yang kugenggam dalam tanganku?” sang Sultan meneruskan berbicara dalam nada lembut yang sama. “Bukankah ini pedang Humayun? Akbar, dengan tangannya sendiri, telah menyerahkan pedang ini kepadaku pada akhir hidupnya. Dia membuka turbannya, dan meletakkannya di kepalaku. Dan dia memutuskan bahwa aku akan menjadi penggantinya. Mengapa kau menolak untuk menerima keputusannya?”

“Karena ..”

“Karena” raungan Jahangir mengagetkan burung-burung gereja, sehingga mereka beterbangan. “Karena apa? Apakah ada suatu kegilaan yang mendorongmu untuk membunuh ayahmu sendiri? Apa yang harus kulakukan agar kau bisa kembali waras?”

“Bunuh aku”

Kebodohan Khusrav mengejutkan kami semua. Kami bisa melihat jari-jari para perempuan, yang merah tua dan berhias cincin, mencengkeram kisi-kisi bagaikan ingin meraih Khusrav dan menutup mulutnya.

“Taktya takhta,” Jahangir berolok-olok. “Takhta atau makam, peribahasa kita, dan kau telah kehilangan singgasana yang kau inginkan, digantikan dengan sebuah makam.” Dia menggelengkan kepala, bertanya-tanya. “Tapi, bagaimana aku bisa melakukan ini? Kau adalah anak lelakiku. Humayun memaafkan saudara-saudara lelakinya karena Babur memerintahkan hal itu. Aku tidak bisa mengeksekusimu. Darahmu tidak akan hilang dari tanganku, darahmu hanya akan terserap di bawah singgasana dan menggemburkan tanah yang menyangganya. Ah Kau tersenyum karena kau tahu aku tidak akan membunuhmu. Kau membaca pikiranku dengan bijaksana, karena aku tidak akan menjadi orang pertama yang melanggar hukum Timur-jangan membunuh darah dagingmu sendiri. Lalu apa, Khusrav? Pengasingan? Wajahmu berbinar karena pikiran itu. Apakah kau percaya jika aku akan membebaskanmu agar kau bisa pergi dan mencari perlindungan dari sepupuku yang menyebalkan, Shahinshah, dan kembali bersama tentara Persia? Tidak. Aku tidak akan bisa tertidur dalam kedamaian. Tetapi, jika kau tetap di sini, aku tidak akan merasa nyaman karena tatapanmu yang penuh kecemburuan. Setiap hari, aku akan melihat matamu menatap pedang dan turban kerajaan dengan penuh nafsu. Karena itu, aku sudah memutuskan ..” Padishah menatap si pencatat dan berbicara dengan perlahan dan lebih jelas, agar tidak ada yang salah mengerti. “Kau akan tetap berada di istana selamanya, kuperintahkan seorang prajurit untuk merantaimu. Dan untuk melindungimu dari kecemburuanmu sendiri, kau akan dibuat buta.”

Tidak ada yang bisa berbicara. Sikap menantang Khusrav hancur berkeping-keping dan dia terjatuh. Para prajurit menahannya dan menyeretnya keluar. Sekarang, jari-jari para perempuan tergantung dengan lemah di antara kisi-kisi, bagaikan daun basah setelah badai. Mereka tidak berbicara kepada Sultan, sebagaimana hak mereka. Hanya suara tinggi mereka yang saat ini bisa menyelamatkan Khusrav, tetapi mereka juga memilih untuk diam. Sang petugas mencatat kalimat itu, kemudian menyerahkannya kepada Sultan. Sang Sultan membubuhkan segel kerajaan Muhr Uzak di kertas itu. Saat ini, tidak ada orang di negeri ini, bahkan sang Sultan sendiri, yang bisa menyelamatkan Khusrav.

Khusrav dijatuhkan ke tanah. Para algojo mengelilinginya, memegangi kakinya, lengannya, dan salah seorang menduduki dadanya, sementara yang lain memegangi kepalanya. Sebuah paku tajam yang panjang dan runcing dipanaskan di tungku. Saat warnanya mirip buah ceri, seorang algojo membuka mata Khusrav. Apa yang terakhir dia lihat? Bukan pepohonan, burung-burung, ataupun langit biru, hanya wajah-wajah buruk para penyiksanya. Paku panas itu ditusukkan ke salah satu matanya, kemudian matanya yang lain. Dia menggeliat dan meronta-ronta; mulutnya terbuka lebar. Darah dan air mata membasahi wajahnya, menetes ke tanah. Para algojo berdiri dan dia terbaring sambil meratap, menutup luka berdarah dengan kedua tangannya. Sang hakim berlutut, membersihkan luka dan menempelkan ramuan obat ke luka berdarah sebelum membalutnya dengan kain muslin.

Aku tidak menyalahkan Khusrav maupun ayahku karena tindakan mereka. Itu adalah kismet mereka. Tetapi, aku tidak dapat memaafkan kelemahan Jahangir dalam menjatuhkan hukuman. Khusrav masih hidup, sebagai hantu yang terantai, begitu juga ambisinya. Ayahku mungkin percaya bahwa dia tidak akan dihantui oleh ruh Khusrav yang gentayangan, tetapi aku tidak. Bayangan Khusrav masih akan menghantuiku saat aku naik takhta.

Di istana, jika ayahku melihat Khusrav berjalan-jalan belenggu rantainya, meraba-raba jalan di depannya dalam kegelapan, menyusuri koridor-koridor yang rumit, dia akan memerintahkan pengawal untuk membawa Kushrav pergi.

“Semua orang menginginkan sesuatu. Tapi, tak ada yang bisa memberikan apa yang kuinginkan.” “Itu bukan salahku, Ayah.”

“Apa lagi yang dia inginkan, tetapi belum kulakukan?”

Tampaknya pertanyaan itu juga terus-menerus menghantui benakku. Aku bisa saja menjawab dengan keras, tetapi aku hanya menyimpannya untuk diriku sendiri: singgasana. Dia sudah bertekuk lutut di hadapan Mehrunissa. Semakin lama Mehrunissa membuatnya menunggu, cintanya kepada Mehrunissa akan semakin dalam. Mehrunissa tidak menolak harapan Jahangir, karena dia tahu, betapa Jahangir sangat ingin lepas dari kesepian dalam kekuasaannya.

Aku tidak memedulikan kesepian Jahangir, hanya memedulikan kesendirianku. Bisakah aku memercayai Mehrunissa? Akankah dia mengubah pendirian Jahangir terhadap Arjumand, terhadapku? Aku bukannya tidak mengetahui bagaimana rapuhnya kasih sayang seorang sultan terhadap anaknya, tetapi aku bisa memanfaatkan hal itu sedikit.

“Tidak diragukan lagi, peramal bintangnya telah menyarankan agar dia menunggu waktu yang tepat.”

“Ya, ya,” sahut Jahangir dengan penuh ketertarikan. “Aku juga berpikir begitu. Siapa peramal bintangnya?”

“Aku tidak tahu. Kau memiliki kekuasaan untuk mengungkap semua rahasia. Cari tahu siapa orangnya, dan berilah imbalan yang sangat besar kepadanya untuk mengubah ramalannya.”

“Bagaimana jika itu bukan karena si peramal, tetapi hanya karena Mehrunissa? Dengar, aku menulis puisi untuknya.”

Jahangir mengambil setumpuk kertas dari meja di samping dipan. Aku melihat usahaku untuk menulis kepada Arjumand sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan hasil karyanya. Selama sesaat, dia tampaknya ingin membacakannya

keras-keras kepadaku, tetapi dia berubah pikiran dan malah menatap kata-kata itu, bagaikan sedang menatap seraut wajah. Amarahnya serasa disejukkan oleh rangkaian kata itu, karena setelah menyimpan puisi itu di meja, dia tersenyum kepadaku.

“Kau seharusnya bergairah melihat calon pengantinmu. Apakah kau lihat kuda-kuda yang dia bawa? Sangat indah. Pecundang itu berpikir bahwa dia lebih mulia daripada kita karena hanya mengirimkan seorang keponakan, bukannya putrinya sendiri. Apakah dia benar-benar yakin bahwa kita tidak cukup baik bagi kesultanan sialannya itu?”

“Itulah hal yang kuharap bisa kudiskusikan dengan Ayah.”

Aku berbicara dengan hati-hati. Tidak ada yang lebih buruk, mematikan, menyengsarakan, mengancam bagaikan terkaman macan, menghancurkan seperti amukan gajah, bahkan memusnahkan seperti bencana alam yang paling besar sekalipun, daripada kebangsawanan yang terhina. Teriakannya, geramannya, bisa melompat melewati dinding-dinding istana dan benteng, mengejutkan dan menghancurkan. Lukanya bukan luka jasmaniah, tergores oleh sebuah telwar atau jamdad, tetapi tak kasatmata, jauh di dalam; hatinya pasti berdarah-darah.

“Apakah itu harus didiskusikan?” Bukan suara Jahangir yang kudengar, tetapi bisikan di baliknya.

“Apakah kita akan mengizinkan dia menghina kita seperti ini? Aku Shah Jahan, putra mahkota
kesultanan ini, yang sama besarnya dengan kesultanan Persia. Seharusnya dia mengirimkan putrinya, bukan seorang keponakan yang tidak penting. Apa kepentingan sang keponakan bagi Shahinshah? Akbar menikah dengan putri-putri Rana Rajput, bukan dengan keponakan atau sepupu.”

“Yang kau katakan memang benar, tetapi sudah terlambat. Aku sudah menerimanya sebagai calon istrimu. Mengirimkannya kembali berarti perang.” Dia tersenyum dengan murah hati. “Aku tahu hatimu sudah terpikat kepada Arjumand. Nikahilah dia sebagai istri kedua. Aku mengizinkanmu.”

“Aku tidak menginginkan Arjumand sebagai istri keduaku. Mengapa aku harus membuatnya kurang mulia daripada seorang perempuan lain? Arjumand akan melahirkan putra-putraku.”

“Apakah kau memang keras kepala, selain bodoh? Aku memerintahkanmu untuk menikah, dan kau berdebat denganku Kegilaan sudah mencemari otakmu. Cinta akan berlalu. Kau bukan seorang pria biasa.”

“Dan Ayah sendiri?”

“Apa?”

“Aku mengatakan

“… dan aku mendengar. Aku sudah memiliki banyak putra, dan mereka berharga-kau adalah putra kesayanganku, dan lihatlah masalah yang telah kau sebabkan terhadap diriku-dan yang kulakukan saat ini tidak memengaruhi nasib kerajaan. Aku akan memperistri Mehrunissa, temanku di kala berusia senja. Dia tidak akan ikut campur dalam keputusanku akan seorang ahli waris-aku telah memilihmu.” Nada suaranya berubah serius, seperti terancam: “Mengapa kau tidak mengizinkanku menjalani cinta ini? Kau beruntung karena bisa mencintai dan dicintai. Itu bukan keberuntungan yang biasa dimiliki seorang pangeran. Aku memberikan cinta kepada ayahku, tetapi tidak berbalas. Aku mematuhinya dalam hal pernikahan juga, tidak seperti dirimu. Aku mencintaimu, Putraku. Nah, aku sudah mengatakannya. Akbar tidak pernah membiarkan kata-kata itu terucap dari bibirnya. Dia mengungkapkan itu kepada si pecundang, Khusrav, dan lihat apa yang terjadi pada dirinya-membakar otaknya sendiri. Saat ini, di ujung usiaku, aku mencintai.” Dia mendesah dengan dramatis.

Itu adalah kismetnya, nasibnya, keberuntungannya, dan hal itu membuatnya bahagia. Dia telah menemukan taman kenikmatan. Dia melihatku melunak. “Aku diberi tahu bahwa Putri Gubaldan adalah seorang yang molek. Tubuh seorang perempuan sama saja seperti tubuh orang lain. Nikmatilah dirinya.”

“Bagaimana Ayah bisa mengatakan itu sementara Ayah sendiri menginginkan Mehrunissa?”

“Badmash, jangan lagi becermin kepadaku. Aku adalah sultan. Yang harus kau lakukan adalah untuk kepentingan semua pihak, bukan hanya kepentinganmu sendiri. Pergilah.”

Dia berbalik dan membuka turban Kesultanannya. Seorang budak menerimanya dan meletakkannya dengan penuh penghormatan dan meletakkannya di meja perak. Rambut ayahku dipenuhi uban; meskipun tampak berusia lanjut, umur Jahangir baru empat puluh tahun. Dia telah menua akibat alkohol dan ketidaksabaran menanti begitu lama untuk naik takhta.

Di antara jali, sinar matahari terbenam menyelinap masuk, pecah ke dalam pola-pola yang rumit, dan menerangi diwan-i-khas dengan samar-samar. Batu merah menyerap sinarnya, menelannya, menjadikan ruangan ini redup, seperti sel-sel bawah tanah yang dikelilingi dinding di dalam benteng. Aku tidak menyukai perasaan sesak seperti ini; suasana yang suram pasti memengaruhi temperamen seorang sultan yang terperangkap di ruangan ini. Meskipun lilin-lilin dan lampu-lampu sudah dinyalakan, mereka menghasilkan kegelapan, bayang-bayang yang berkelip-kelip di dinding seberang. Aku pasti akan mengganti kurungan ini dengan sebuah ruangan yang lebih terang, disinari cahaya merah muda terang dari matahari terbit dan terbenam.

Ayahku mengabaikan kehadiranku; dia telah kembali tenggelam dalam puisinya dan wazir telah menunggu untuk mengantarku keluar. Aku membungkuk; tetapi penghormatan itu tidak dia sadari.
Bagikan :
+
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk "TAJ - BAB 9 - PART 2"

Terimakasih atas kunjungan anda. Mohon tidak copy paste artikel yg ada di blog ini, terimakasih

 
Copyright © 2015 HimE aiMe - All Rights Reserved
Template By Kunci Dunia
Back To Top