TAJ - BAB 8






BAB 8
Taj Mahal

(1044/1634 Masehi)



Sita berpikir, aku mirip dengan Sita, istri Rama. Dia juga mengikuti suaminya menuju pengasingan. Sita bisa saja tetap tinggal di tempat tinggalnya yang nyaman, tetapi dia bersikeras untuk pergi bersama Rama ke hutan, karena itu adalah karmanya sebagai seorang istri. Aku meratap saat kami meninggalkan rumah kami, menginginkan Murthi untuk melakukan perjalanan sendiri: Sita istri Rama begitu tabah dalam kesepiannya; aku tidak.

Sita sangat kehilangan keluarganya, ibu, nenek, ayah, saudara-saudara perempuan, sepupu-sepupu, dan bibi-bibi. Dia merindukan perkampungan sederhana yang terletak di tengah sawah-sawah dengan padi hijau yang berkilauan, di mana dua lahan kecil milik keluarganya berada. Hari-hari kehidupannya yang tak terhitung dihabiskan dengan menanam, merawat, memanen, dan menjemur hasil sawahnya. Dia merindukan perjalanan bersama para perempuan lain menuju tangki air di dekat desanya. Di sana, mereka mencuci, mandi, dan berkumpul untuk sekadar bergunjing. Rasa kehilangan akan kuil kecil yang terletak di atas sebuah bukit batu, berjarak setengah hari perjalanan dari desa menyeruak dalam hatinya.

Di Agra tidak ada kuil; dan Sita hanya memiliki patung pemujaan kecil di gubuknya.

Dia memikirkan semua ini sambil menempuh perjalanannya menyusuri lokasi dengan membawa bebannya. Dia bertubuh kecil, lentur, dan langsing, tubuhnya hanya terdiri dari otot dan tulang, tidak ada yang lainnya. Dia berjalan cepat, menjunjung keranjang di kepalanya dengan sangat seimbang, di atas gulungan kain untuk melindungi tengkoraknya. Wajahnya berbentuk oval sempurna dengan tulang pipi tinggi, mata cokelat yang teduh, dan bibir yang selalu tersenyum. Dia hanya mengenakan sebuah perhiasan, yaitu thali pernikahannya. Seluruh sisa koleksi perhiasannya yang hanya segelintir, beberapa gelang emas, anting-anting hidung, dan anting-anting, terkubur di lantai gubuk mereka.

Sita berdiri dengan sabar di antrean untuk menerima beban tanah berikutnya. Saat itu di Agra sedang musim dingin, dan dia belum pernah merasakan hawa sedingin ini. Musim dingin yang lalu terasa lembut, tetapi musim dingin saat ini begitu mematikan; orang-orang tua, orang-orang lemah, orang-orang muda, orang-orang miskin, semua meninggal. Sita merasa takut jika terbangun dalam kegelapan dengan embun lembap dan dingin yang tergantung dan mengancam. Dia tidak lagi mengenakan sari, tetapi berpakaian dengan gaya Panjabi, berupa kurta dan piama, lapisan-lapisan itu telah kotor karena hawa terlalu dingin untuk mandi ataupun mencuci secara teratur. Di desanya, Sita mandi setiap hari, dan saat ini dia merasa dirinya kotor, yang membuatnya semakin tenggelam dalam kepahitan.

Para lelaki mengkhawatirkan bumi. Tanahnya keras, kering, dan kejam; mereka bertempur dengan peralatan besi yang sederhana, membuat debu kuning kecokelatan mengepul dan jatuh di serpihan tanah yang keabu-abuan. Di sekelilingnya para perempuan berceloteh, tetapi Sita tidak mengerti apa-apa. Bahasa yang aneh membuatnya semakin merasa kesepian dan membuatnya jadi ceroboh. Saat ini dia mendapatkan gilirannya kembali. Dia menyerahkan keranjangnya kepada lelaki yang berdiri di tanah. Si lelaki menumpahkannya ke dalam lubang raksasa sedalam sekitar dua ratus meter, dan menerima sebuah keranjang dari seorang lelaki lain di kedalaman bumi yang gelap.

Pembangunan fondasi ini membutuhkan waktu bertahun-tahun. Rancangan makam berupa sebuah susunan jembatan-jembatan yang melintang di atas sumur-sumur, yang pada akhirnya akan dihubungkan dengan busur-busur kuat. Inti sumur-sumur ini akan diisi dengan serpihan batu, kemudian ruangan di antaranya diisi dengan bebatuan padat. Jembatan-jembatan ini akan menyangga beban makam yang berat, sementara sumur-sumurnya akan mencegah air Sungai Jumna menerpa bangunan itu. Batu-batu bata direndam di dalam lemak panas agar kedap air selama berabad-abad ke depan. Adukan semen yang mengikatnya juga merupakan campuran istimewa: perasan limau dan berlian, gula mentah, tanaman miju dan tepungnya, cangkang tiram dan kulit telur yang dihancurkan, serta getah pohon karet.

Sita berjongkok dan meraih salah satu sisi keranjang, sementara si lelaki memegang yang lain. Bersama-sama, mereka mengangkat dan meletakkan di kepala Sita. Dia menyeimbangkan tubuhnya, dan perlahan-lahan, dengan terkendali, dia berdiri. Itu adalah usaha yang keras. Setelah tubuhnya tegak, dia harus menyusuri jalan dalam kebingungan. Permukaan tanah bergelombang berbukit-bukit, dan Sita mengikuti sebuah jalan setapak sempit, hanya selebar kaki telanjang, menuju dinding batu penahan air. Di situlah awal sebuah jalan besar, yang sekarang hanya setinggi tiga puluh sentimeter, tetapi akhirnya akan menanjak dan terus menanjak, mengikuti ketinggian bangunan. Gajah-gajah dan kerbau-kerbau akan menapaki tanjakan yang melengkung, menghela muatan batu bata dan bebatuan. Sita menurunkan bawaannya, kemudian seorang lelaki yang berjongkok memukul-mukul tanah yang segar itu dengan balok-balok kayu besar.

Dia kembali dengan melewati rute lain. Dalam bayangan pohon banyan yang berdebu, dia melihat sekelompok anak sedang bermain. Yang paling muda masih bayi, sementara gadis tertua berusia sekitar

empat atau lima tahun. Dia yang menjaga anak-anak lain. Sita mencari Savitri dan menemukannya sedang duduk di atas tumpukan pasir dengan ceria. Sita berjongkok dan memeluk putrinya, meniup hidung Savitri, merapikan pakaiannya, kemudian kembali bergabung dalam antrean. Sita menoleh ke belakang; Savitri menangis, mengulurkan tangannya, tetapi tidak ada yang bisa dia lakukan.

Di kejauhan, dia melihat sekelompok lelaki berpakaian indah yang mendekat, dan mendengar bisikan para pekerja lain: sang Padishah, sang Padishah. Dia berdiri membeku dan melongo bersama yang lain, seperti melihat seorang dewa turun ke bumi. Sang Sultan menyeberangi tanah bagaikan kilat, para lelaki dan perempuan membungkuk rendah di hadapannya. Para prajurit mendorong dan membersihkan jalan di antara para pekerja untuk sang Padishah. Tampaknya, sang Sultan tidak memedulikan orang lain. Dia mendaki tembok batu penahan air, berdiri hingga tampak siluetnya di depan latar langit biru, terisolasi dari semua yang mengelilinginya, dan menatap bumi yang tergali. Kemudian, dia menatap langit dalam waktu yang lama dalam keheningan, dan, tampak bagi Sita, dia melihat sesuatu-sesuatu yang menjulang di atasnya, yang tidak bisa dilihat oleh orang lain. Kemudian, dia kembali ke istana.

Kelelahan, Sita berjongkok di dekat perapian. Asap membuat matanya perih dan dia menyekanya terus-menerus dengan lengan kurta yang dia kenakan. Panci-panci keramik berdesis, yang satu berisi nasi, yang lain berisi dhal, yang ketiga berisi brinjal, cukup untuk memberi mereka makan selama satu hari. Setiap pagi, dia membungkus makanan dingin dengan daun, membuat bekal makanan yang rapi untuk dirinya sendiri, Murthi, Gopi, dan Savitri.

Sita sedang tidak enak badan; ini adalah sebuah penyakit yang sudah lama dia ketahui. Dia sudah beberapa lama tidak datang bulan dan mengetahui, dengan gembira, bahwa dia hamil lagi. Dia membisikkan sebuah doa: seorang putra, Siwa, Wishnu, Lakshmi, seorang putra. Jika ada sebuah kuil di sekitar situ, Sita akan mandi, mengenakan sari bersih, menyelipkan rangkaian melati di rambutnya, kemudian membawa sesaji sederhana bagi para dewa. Dia akan memberi sedikit koin kepada pendeta untuk mengalunkan puja istimewa, untuk bayinya yang baru tumbuh, dan berdoa diiringi alunan puja tersebut, agar mendapatkan anak lelaki.

Cepat, cepat, cepat, cepat.

Kata-kata itu berdentam seakan-akan dikatakan dengan keras; jantungnya berpacu dengan kata-kata tersebut. Shah Jahan duduk di bantal, menatap model. Tangannya, tangan khas seorang Sultan, yang lembut, pucat, dan dihiasi emas dan berlian, membelai kubah model itu. Bangunan tersebut membebaninya, menyakitkan dirinya, bagaikan tulang-tulangnya terbuat dari marmer putih, menghunjam dagingnya bagaikan luka yang tidak bisa sembuh. Hanya jika bangunan itu selesai, hilang sudah rasa sakitnya, lukanya menutup kembali, dan beban itu akan terangkat dari tubuhnya. “Ada sesuatu yang salah,” dia berbisik. “Isa, panggilkan Ismail Afandi.”

“Akan saya kerjakan, Padishah.”

Tangan Shah Jahan terus-menerus membuat gerakan membelai, mencari sebuah kesalahan. Menteri-menterinya-Diwan, Mir Saman, Mir Bakshi-berdiri membisu dan tidak bergerak, tidak ada yang berani mengganggu meditasi sang Sultan.

Akhirnya, Diwan bersuara: “Padishah”

“Ada apa?”

Sang Diwan membereskan kertas-kertasnya, menimbulkan suara gesekan. “Jika Paduka bersedia, kita harus menangani beberapa masalah. Tahun ini hujan turun terlambat dan para petani kehilangan banyak hasil panen mereka. Saya harus memberi izin untuk mengurangi pajak mereka, sebagaimana yang ditetapkan oleh Akbar. Tapi, saya pikir itu tidak mungkin. Lembaga keuangan menghabiskan jumlah yang sangat banyak untuk pembangunan makam Paduka Mumtaz-i-Mahal. Apa yang harus kita lakukan, Padishah?”

“Nanti, nanti.”

“Padishah,” Mir Bakshi berbicara. “Para pangeran Deccan memberontak secara terbuka. Kita harus mengirimkan bala tentara untuk menangani mereka. Siapa yang akan memimpin pasukan?”

“Selalu ada pembuat onar,” jawab Shah Jahan.

“Apa yang pernah berhasil kita lakukan di sana? Aku telah mencoba, Akbar telah mencoba, ayahku juga. Masalah itu bisa menunggu.” “Baik, Padishah.”

“Sekarang, pergilah. Menghadaplah kepadaku nanti.”

Menteri-menterinya membungkuk dan mengundurkan diri. Seperti seluruh kesultanan ini, mereka menahan napas mereka. Sang Mughal Agung tampaknya mencengkeramkan tangannya ke bumi, membekap para manusia dan hewan serta membekukan semua gerakan, hanya mengizinkan ribuan pekerja di sungai untuk meneruskan pekerjaan harian mereka yang menyibukkan.

Ismail Afandi, sang Perancang Kubah, menunggu hingga Shah Jahan menyadari kehadirannya yang tidak kentara. Tangan sang Sultan masih menempel di kubah. Di sisinya ada sebuah tungku yang terisi batu bara menyala, menguarkan hawa panas yang harum.

“Model ini tidak sempurna, Afandi.” “Ya, Padishah.”

Ismail Afandi masih diam dan bersikap patuh, jawabannya bermakna ganda. Kubah itu sempurna. Bukankah dia pernah membangun sebuah kubah untuk masjid besar di Shiraz, dan kubah untuk makam sultan Turki? Keahliannya belum pernah dipertanyakan, dan kubah ini sama dengan yang lain. Bagaimanapun, hanya karena alasan politis dia setuju dengan sang Sultan.

“Di sini datar …”

“Ya, Padishah.”

“. seperti kubah di makam Humayun. Yang ini tidak boleh menampilkan bangunan lain mana pun yang pernah kau ciptakan. Apakah kau mengerti?”

“Sebuah kubah hanya memiliki satu bentuk, Padishah.”

Tatapan Shah Jahan sangat tajam, begitu menusuk. Afandi berkerenyit. Keringat membutir di wajahnya. Mengapa dia berbicara begitu? Kebanggaan yang konyol mengusiknya, mempertanyakan mengapa dia harus didikte oleh sang Sultan dalam menghasilkan suatu karya. Sang Sultan memerintah, dia membangun: pembagian keahlian yang bersih dan sangat penting. Dia tidak akan mengambil tanggung jawab dalam komisi ini jika keikutcampuran Sultan secara terus-menerus bisa diramalkan.

“Kubah ini akan berbeda,” kata Shah Jahan. “Kubah ini akan berbentuk bulat, merentang ke atas, bagaikan akan terbang.”

Telapak tangan sang Sultan melengkung di udara bagaikan sedang memegang sebuah bola yang tak terlihat. Dia mengetahui bagaimana maksudnya, bahkan jika Afandi tidak mengerti. Tatapannya terpaku kepada budak-budak perempuan dan dia memanggil salah seorang dari mereka; budak itu berlutut di hadapannya. Sang Padishah menunjukkan buah dada sang budak yang mewakili bayangannya.

“Seperti ini, Afandi, seperti ini, kau lihat”

“Ya, Padishah.”

Ismail Afandi tidak bisa menahan rasa terkejutnya. Buah dada wanita pada sebuah makam? Dia harus melupakan semua pengalaman meniru bentuk tubuh ini.

“Ukurlah perbandingan bentuknya.”

Afandi mengeluarkan jangka dan dengan hati-hati mengukur buah dada itu. Si budak perempuan tetap diam, menatap ke kejauhan sementara Afandi mencatat hasil pengukurannya.

“Tapi, di bagian dasar, aku ingin bangunan itu melebar-jadi-seperti pinggulnya.”

“Ya, Padishah.”

Semua tubuh mirip satu sama lain, pikir Shah Jahan. Raga bisa memberikan kenikmatan yang manis, tetapi ia hanya sebuah wadah. Yang kupegang tidak ada bedanya dengan milik perempuan lain, perbedaannya satu sama lain tidak begitu jauh. Bahkan dalam kegelapan, aku bisa membedakan Arjumand dengan yang lain. Sekarang, meskipun semua kenangan sudah berlalu, bentuk tubuhnya, aromanya, kelembutannya, membakar indraku. Namun, yang kucintai tidak terlihat, hal itu terletak di dalamnya. Bisikan-bisikan yang tidak bisa didengar, tawa yang mengambang dalam keabadian, yang hanya bisa terdengar oleh Tuhan, sekilas pandangan penuh arti hanya bagiku; hal-hal seperti itu memenuhiku dengan begitu penuh kenikmatan.

Oh, Tuhan, betapa singkatnya waktu kami bersama; keabadian pasti akan terasa tidak lama lagi.
Bagikan :
+
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk "TAJ - BAB 8"

Terimakasih atas kunjungan anda. Mohon tidak copy paste artikel yg ada di blog ini, terimakasih

 
Copyright © 2015 HimE aiMe - All Rights Reserved
Template By Kunci Dunia
Back To Top